Nasional

Penyusunan RPP Jaminan Produk Halal Harus Libatkan Ormas Keagamaan

Sen, 25 Januari 2021 | 11:15 WIB

Penyusunan RPP Jaminan Produk Halal Harus Libatkan Ormas Keagamaan

Ketua Lakpesdam PBNU H Rumadi Ahmad menyampaikan bahwa penyusunan RPP Jaminan Produk Halal harus dilakukan secara transparan dan terbuka dengan melibatkan organisasi-organisasi keagamaan. (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online

Pemerintah saat ini tengah menyusun regulasi turunan dari UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) yang di antaranya mengubah ketentuan dalam UU No. 33 Tahun 2014. Salah satu regulasi turunannya adalah RPP Jaminan Produk Halal (RPP JPH) sebagai perbaikan dari PP No. 31 Tahun 2019.

 

Terkait dengan hal tersebut, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PBNU menyampaikan bahwa penyusunan RPP Jaminan Produk Halal harus dilakukan secara transparan dan terbuka dengan melibatkan organisasi-organisasi keagamaan.

 

"Tidak boleh ada organisasi keagamaan yang mempunyai kedudukan diistimewakan dalam proses penyusunan RPP tersebut," ujar Rumadi Ahmad, Ketua Lakpesdam PBNU, melalui keterangan tertulis pada Senin (25/1).

 

Penyusunan RPP JPH juga, lanjutnya, harus diarahkan untuk memperkuat Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH), baik terkait dengan otoritas yang dimiliki maupun kelembagaan BPJPH, bukan hanya di pusat tapi juga di daerah.

 

Hal ini, menurutnya, penting untuk mendekatkan pelayanan BPJPH dengan masyarakat dan memastikan pelayanan bisa berlangsung dengan cepat, maksimal 21 hari kerja seperti terdapat dalam UU CK.

 

Ia juga mengatakan bahwa kewenangan BPJPH dalam melakukan akreditasi Lembaga Penjamin Halal (LPH) dan sertifikasi auditor halal sebagaimana diamanatkan dalam UU CK, harus tetap menjadi kewenangan BPJPH.

 

Sebelumnya, kewenangan tersebut diberikan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hal demikian membuat lembaga tersebut mempunyai tiga fungsi sekaligus, yaitu (1) melakukan akreditasi LPH; (2) melakukan sertifikasi auditor halal; dan (3) penetapan kehalalan produk.

 

"Dengan UU CK, kewenangan MUI yaitu penetapan produk halal melalui fatwa. Kewenangan yang lain diberikan kepada kepada BPJPH," tegasnya.

 

Adapun kewenangan BPJPH terkait akreditasi LPH dan sertifikasi auditor halal penting terus diperkuat dan tidak diserahkan ke MUI. Hal ini guna mempercepat produksi tenaga auditor halal dan mempercepat berdirinya LPH, serta menghindari kewenangan ganda yang sarat konflik kepentingan, membingungkan, dan memperpanjang proses sertifikasi auditor halal dan pendirian LPH.

 

Rumadi juga menyampaikan bahwa RPP JPH perlu membuka peluang kepada alumni pondok pesantren dan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKI) agar bisa menjadi auditor halal. Sebab, persyaratan menjadi auditor halal hanya diberikan kepada lulus S1 bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, kedokteran, tata boga, atau pertanian.

 

"Hal ini penting agar alumni pondok pesantren dan PTKI juga mempunyai akses untuk menjadi auditor halal," kata dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

 

Di samping itu, Lakpesdam juga menggarisbawahi terkait dengan pendampingan UMKM untuk mendapatkan sertifikasi halal secara gratis. Itu harus dilakukan dengan mudah dan sederhana.

 

"Semua organisiasi keagamaan dan perguruan tinggi diberi ruang untuk melakukan pendampingan UMKM," pungkasnya.

 

Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan