Nasional

Perlu Kreatif dan Inovatif untuk Majukan Madrasah

Sel, 10 November 2020 | 14:15 WIB

Perlu Kreatif dan Inovatif untuk Majukan Madrasah

Kabid Litbang RA dan Madrasah Puslitbang Penda Balitbang Diklat Kemenag, Rijal Ahmad Rangkuty, sedang memberi sambutan dalam seminar hasil penelitian. (Foto: NU Online/Musthofa Asrori)

Jakarta, NU Online
Eksistensi madrasah semakin hari semakin kuat. Hal ini ditandai lahirnya UU No tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) 2003 yang memberikan kepastian tentang persamaan dan kesetaraan madrasah dengan pendidikan lainnya di Indonesia. Meski demikian, perlu langkah kreatif dan inovatif untuk semakin memajukan madrasah.


Kepala Bidang Litbang Raudlatul Athfal dan Madrasah Puslitbang Penda Balitbang Diklat Kemenag, Rijal Ahmad Rangkuty, mengatakan hal tersebut saat memberi sambutan sekaligus membuka resmi seminar hasil penelitian Manajemen Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah yang dihelat di Jakarta, Senin (10/11).  


"Hal ini diperkuat dengan PMA No 90/2013 yang mengatakan bahwa madrasah merupakan lembaga pendidikan berciri khas Islam yang memiliki kedudukan sejajar dengan lembaga pendidikan lainnya di Indonesia," kata Rijal. 
   

Secara umum, lanjut dia, hal itu menjadikan kita berbahagia dan semakin bersemangat untuk berpacu dengan lembaga lain. Meski secara realitas kita menemukan kondisi-kondisi di mana madrasah belum sampai ke titik yang diharapkan. 


"Misalnya, di data EMIS, dari 82 ribu madrasah yang mana 25 ribu sekian merupakan bagian dari MIN, tentu harus berpikir lebih kreatif dan inovatif di tengah banyaknya lembaga pendidikan yang mayoritas adalah swasta," ujarnya.


Alumnus Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta ini menambahkan, keberadaan sekolah dasar Islam terpadu (SDIT) kini menjadi ‘pesaing’ baru dalam merebut pasar siswa di tingkat dasar. Bahkan, mereka pun memprogramkan hafalan Al-Qur’an sebagai nilai tambah bagi siswa.


"Padahal jauh sebelumnya sekitar tahun 2000, MI sudah menerapkan tahfidz. Nah, ini merupakan fenomena yang harus ditangkap para guru dan pengelola madrasah," tandas pria asal Medan Sumatera Utara ini.


Oleh karena itu, lanjut Rijal, fenomena tersebut tentu membuat kita harus berpikir kreatif dan inovatif untuk memajukan MI di seluruh Indonesia. "Jumlah 24 ribu madrasah yang mayoritas swasta membuat kita harus memperbaiki banyak hal terkait tatanan yang ada," ujarnya.


Pihaknya mendorong madrasah terus berpikir kreatif untuk memajukan madrasah di tengah persaingan yang sangat ketat. Terutama lahirnya SDIT yang semakin berkembang. "Kita harus melihat realitas hadirnya sekolah-sekolah berkonsep fullday bercirikan Islam yang ada di luar madrasah," pintanya.  


Secara realitas, lanjut dia, harus diakui bahwa pilihan orang tua atau masyarakat ketika anak-anak mereka tidak masuk di madrasah ibtidaiyah negeri (MIN) maka jatuh ke SDIT. “Ini harus kita pahami sebagai sebuah kompetisi atau fastabiqul khairat,” tandas Rijal.

 
Manajemen madrasah
Koordinator penelitian, Wahid Khozin, dalam paparannya mengatakan bahwa penelitian ini bertujuan untuk menggali dan menganalisis implementasi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan madrasah sehingga mampu memberikan layanan pendidikan secara optimal. 


"Konteks penelitian tata kelola pendidikan madrasah ibtidaiyah ini untuk meningkatkan mutu MI. Dari berbagai diskusi, kita menemukan bahwa masih banyak yang perlu ditingkatkan mutunya. Ini konteksnya secara nasional, bukan untuk Jabodetabek," ujarnya.


Dalam catatan Wahid, sejak ada Basic Education Project (BEP) hasil kerja sama dengan Islamic Development Bank (IDB) sudah dirancang beberapa skenario untuk meningkatkan mutu madrasah. Ada penguatan tenaga pendidikan yang dikirim ke luar negeri dalam rangka meningkatkan mutu madrasah. 


"Tadi bagus sekali yang dikatakan Pak Kabid Rijal, bahwa mungkin madrasah sudah meningkat. Akan tetapi, pesaingnya lebih cepat. Kalau tahun-tahun 1980-an sulit sekali menemukan siswi SMA yang menggunakan jilbab. Namun, mulai 1990-an sulit membedakannya dengan siswi Aliyah," kata Wahid.


"Realitasnya kini siswi SMA lebih agamis daripada siswi madrasah. Sehingga nuansa agamanya kalau tidak lebih ya mirip dengan suasana di madrasah.  Semakin ke sini ternyata terjadi penguatan keagamaan di sana," sambungnya.


Seminar hasil penelitian yang dimoderatori ahli peneliti utama, Imran Siregar, ini menghadirkan dua narasumber, yakni Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan perwakilan Biro Kepegawaian Setjen Kemenag. Diskusi yang cukup strategis ini dihadiri 60 peserta terdiri dari para kepala madrasah, pengawas, dan guru MI di DKI Jakarta dan sekitarnya.


Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Kendi Setiawan