Nasional

Persamaan Perjuangan Isra Miraj dengan Perlawanan terhadap Kolonialisme

Kam, 11 Maret 2021 | 12:18 WIB

Persamaan Perjuangan Isra Miraj dengan Perlawanan terhadap Kolonialisme

Di fase ini Nabi secara kemanusiaan mendapatkan ujian yang cukup luar biasa, di mana tahun tersebut disebut sebagai tahun huzni (tahun kesedihan nabi). Tapi pada tahun kesedihan Nabi ini, beliau kemudian mendapatkan hadiah yaitu peristiwa Isra' dan Mi'raj itu

Jakarta, NU Online
Isra' mi'raj merupakan sebuah peristiwa yang sangat monumental dalam sejarah agama Islam. Selain itu, kejadian ini merupakan peristiwa yang memiliki makna luas yang kontekstual, termasuk makna perjuangan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dan dinilai menginspirasi perjuangan umat Islam pada masa selanjutnya.


“Sehingga kalau dikaitkan dengan bangsa Indonesia, hikmah Isra' mi'raj ini memiliki kesamaan dalam perjuangan dulu melawan kolonialisme, yang membuat kondisi masyarakat Indonesia ini selalu dihantui dengan kecemasan dan ketakutan. Alhamdulillah, hasil dari perjuangan para santri, para kiai dan para tokoh masyarakat di Indonesia, Allah memberikan suatu anugerah, yaitu kemerdekaan,” ujar Ketua Pengurus Wilayah Mahasiswa Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyin (MATAN) DKI Jakarta KH Ali M. Abdillah di Jakarta, Rabu (10/3).


Kiai Ali menambahkan bahwa semua kesulitan sebelum Isra' mi'raj tersebut dirasakan oleh Nabi pada periode perjuangan dakwah di Makkah. Di mana pada akhir periode di Makkah ini, nabi diuji oleh Allah SWT karena dua orang yang selama ini mem-backup (mendukung) perjuangan nabi yaitu pamannya, Abu Thalib dan istri tercintanya, Siti Khadijah meninggal dunia.


“Di fase ini Nabi secara kemanusiaan mendapatkan ujian yang cukup luar biasa, di mana tahun tersebut disebut sebagai tahun huzni (tahun kesedihan nabi). Tapi pada tahun kesedihan Nabi ini, beliau kemudian mendapatkan hadiah yaitu peristiwa Isra' dan Mi'raj itu,” terang Kiai Ali.


Oleh karena itu menurutnya, perstiwa Isra' mi'raj ini hadiah dari Allah kepada nabi setelah berjuang selama kurang lebih 13 tahun di Makkah hingga istrinya meninggal dunia. Maka menurut peristiwa tersebut harusnya dipahami oleh generasi penerus bangsa Indonesia untuk menghargai perjuangan nabi dahulu sebagaimana perjuangan bangsa Indonesia menghadapi penjajahan di masa lalu. Terutama dalam melawan radikalisme dan terorisme yang ingin merusak keutuhan bangsa.


“Sudah tugas kita sebagai generasi penerus bangsa untuk menjaga warisan kemerdekaan ini dari para pendiri bangsa. Karena dengan menjaga NKRI, Pancasila dan UUD 1945 inilah perekat seluruh elemen bangsa. Jangan sampai hal ini dikhianati, apalagi dengan mengambil ideologi dari orang luar yang belum pernah teruji kemudian di uji coba di sini,” jelas pria yang juga Wakil Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitan Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.


Apalagi menurutnya, jika dilihat lanjutannya pada saat peristiwa Isra' dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa di Palestina dan kemudian ke Sidratul Muntaha. Ini adalah peristiwa spiritual yang dialami oleh nabi, yang mana nabi kemudian mendapatkan tugas dari Allah untuk membawa perintah shalat lima waktu.


“Shalat 5 waktu ini sebagai sebuah sistem yang turun di malam Isra' mi'raj untuk menata kehidupan masyarakat di dunia untuk sebagai bekal menuju akhirat. Karena dengan sistem shalat 5 waktu ini kita bisa menjaga keseimbangan antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat,” ucap Ali.


Ia mencontohkan dari subuh kita disuruh shalat, kemudian pagi persiapan bekerja, kemudian dari pagi sampai siang kita kerja, terus Zuhur istirahat kemudian kerja lagi, masuk ashar kita salat lagi. Sehingga di sini Allah mengatur sedemikian rupa supaya hambanya ini memiliki kesadaran bahwa dunia dan akhirat ini harus bisa diraih dengan kesuksesan. Jangan sampai orientasi hidupnya hanya sebatas mengejar dunia, karena di akhirat nanti ada kehidupan yang lebih panjang.


“Sistem shalat ini ada untuk menjaga keseimbangan rotasi waktu 24 jam antara keseimbangan duniawi dan rohani bahwa itu harus simestris. Dan pasca Isra' mi'raj ini nabi melakukan sebuah proses hijrah ke Madinah,” ujarnya.


Kiai Ali menyebut bahwa di Madinah inilah nabi membuat sebuah aturan berbangsa dan bernegara. Yang di mana masyarakat Madinah saat itu terdiri dari berbagai suku dan agama. Nabi mampu menjadi pemimpin yang bisa diterima oleh semua rakyatnya baik yang beragama Yahudi, Nasrani maupun Majusi. Dan dapat diterima dengan baik oleh para kepala suku yang ada di sana.


“Rasulullah menunjukkan diri sebagai seorang pemimpin yang bisa hadir di tengah-tengah masyarakat. Konsep yang dilakukan oleh Rasulullah yaitu, konsep Piagam Madinah yang dalam konteks Indonesia ini kemudian diadopsi dengan bentuk Pancasila,” jelasnya


Oleh karena itu, menurutnya, Pancasila ini adalah model Piagam Madinah yang dicetuskan oleh para ulama dan para pendiri bangsa Indonesia. Karena semua umat beragama, suku, semua dinaungi di bawah NKRI. Sistem dalam Piagam Madinah adalah sistem yang menghormati kebhinekaan, menghormati kelompok lain yang tidak sejalan. Termasuk terhadap umat Nasrani, Majusi dan Yahudi semua diberikan penghormatan dan juga hak-haknya.


“Karena itu, kalau kita belajar dari sikap nabi setelah Isra' dan Mi'raj, kemudian nabi membangun kota Madinah dengan Piagam Madinah ini artinya bahwa nabi meletakkan dasar berbangsa dan bernegara yang bisa mengayomi semua anak bangsa, baik yang berbeda agama maupun berbeda suku,” jelasnya.


Pewarta: Ahmad Rozali
Editor: Muhammad Faizin