Nasional

Pesantren, Lahan Subur Tumbuhnya Toleransi Beragama

NU Online  ·  Senin, 2 Juni 2014 | 19:20 WIB

Sleman, NU Online
Pesantren merupakan lahan subur bagi tumbuhnya toleransi beragama. Selama ini pesantren sangat menghargai kemajemukan yang ada, karena keragaman merupakan sunnatullah, hukum alam.
<>
Demikian disampaikan Kiai Mustafid, Direktur Pesantren Aswaja Nusantara Mlangi, di sela-sela acara kunjungan dari Sekolah Lintas Iman (SLI) Yogyakarta, Sabtu (31/05), di aula Pesantren Aswaja Nusantara Mlangi, Sleman.

“Dengan begitu, pesantren merupakan bagian dari kekuatan bangsa yang memberikan dasar bagi pluralitas kebangsaan,” tambahnya.

Sebenarnya, lanjutnya, ide toleransi bukan merupakan barang baru di Indonesia, karena sejak dahulu bangsa kita dari Sabang sampai Merauke dikenal sebagai bangsa toleran dan terbuka. Namun kenyataannya akhir-akhir ini sendi-sendi toleransi mengalami pelapukan. Lalu apa yang salah dari kultur toleransi di negeri ini?

Di sinilah Pesantren Aswaja Mlangi tertarik menyertakan dua gagasan model toleransi Nabi Muhammad dalam Piagam Madinah (Watsiqah al-Madinah) dan John Locke dalam Epistola de Tolerantia (A Letter on Tolerantion) pada Jurnal Mlangi Volume 4 nanti.

Kunjungan yang berlangsung dari pagi hingga siang hari tersebut diikuti sekitar 30 peserta dari berbagai universitas di Yogyakarta yang tergabung dalam SLI, seperti UIN Sunan Kalijaga, UGM, Universitas Sanata Dharma (USD), dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), serta santri Pesantren Aswaja Mlangi.

Selain diisi dengan diskusi dan refleksi tentang pentingnya toleransi  antar umat beragama, peserta juga mendapatkan pengenalan akan dunia pesantren, dimana pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan islam yang telah menanamkan rasa toleransi kepada santri sejak dini.

Wening, salah satu panitia kegiatan tersebut mengatakan bahwa alasan dipilihnya pesantren sebagai tempat adalah untuk mengenalkan pesantren kepada peserta yang mayoritas non muslim itu. “Sebelumnya, kami juga sudah mengadakan kunjungan ke Hindu, Budha, dan sekarang kami memilih pesantren yang mewakili Islam,” tambahnya.

Kristoforus Rheza, salah satu peserta mengatakan acara seperti itu menarik, karena mencoba untuk menggabungkan solusi untuk difikirkan bersama. “Kalau saya sendiri semakin tertantang dengan ide-ide yang dimunculkan, dan semakin memiliki tanggungjawab bersama dalam membina kerukunan,” ungkap mahasiswa tingkat akhir Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta kepada NU Online. (Dwi Khoirotun Nisa/Mahbib)