Nasional

Potret 3 Agama di Ngepeh, Cerita Orang Kristen Dapat Hadiah di Malam Takbiran hingga ke Gereja Pakai Kopiah

Jum, 21 Oktober 2022 | 16:00 WIB

Potret 3 Agama di Ngepeh, Cerita Orang Kristen Dapat Hadiah di Malam Takbiran hingga ke Gereja Pakai Kopiah

Pura Amerta Buana di Dusun Ngepeh, Desa Rejoagung, Ngoro, Jombang. (Foto: NU Online/Rifatuz Zuhro)

Jombang, NU Online

Ngepeh merupakan sebuah dusun di Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro yang terletak di ujung selatan Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Ngepeh seringkali disinggahi dan dijadikan rujukan penelitian terkait potret kerukunan antarumat beragama baik dalam maupun luar negeri. Karena kemajemukannya itulah warga dusun ini dapat hidup rukun dalam perbedaan dan jauh dari konflik.


Meskipun pada umumnya Jombang lebih dikenal dengan sebutan kota santri, namun agama yang dipeluk masyarakat Jombang sangat beragam. Seperti halnya di Dusun Ngepeh ini, sebanyak 3 pemeluk agama berbeda dapat hidup rukun berdampingan. Bahkan, letak rumah ibadahnya juga sangat dekat. 


Letak Masjid Raya Quba tidak sampai berjarak 200 meter dengan Gereja GPdI Jemaat Sejahtera dan Pura Amerta Buana. Sedangkan Gereja dan Pura hanya dipisahkan aliran sungai kecil di mana Gereja GPdI berada di seberang depan Pura. Terdapat pula Gereja Bethel Allah Baik yang terletak di sebelah barat Pura hanya berjarak sekitar 250 meter.


Hal tersebut dibenarkan oleh Kepala Dusun Ngepeh, Sungkono bahwa perbedaan keyakinan di dusunnya sudah terjadi sejak lama, namun hal itu justru menjadikan warganya guyup rukun.


"Di sini ada Kristen, Hindu, Islam, dulu ada pemeluk Budha juga, tapi sudah meninggal. Karena di sini tetangga, warga juga kebanyakan masih sanak keluarga jadi tidak heran apabila satu keluarga ada yang Islam, ada yang Kristen, itu sudah biasa. Di sini terdapat Pura, depan Pura itu ada Gereja Pantekosta, di sebelah barat sana juga ada Gereja Bethel, tidak jauh kok," jelas Sungkono pada NU Online, Selasa (18/10/2022).

 

Masjid Quba di Dusun Ngepeh. Letak Masjid Quba tidak sampai 200 meter dengan Gereja GPdI Jemaat Sejahtera dan Pura Amerta Buana. (Foto: NU Online/Rifatuz Zuhro)

 

Saat ditemui di kediamannya yang tidak jauh dari Pura Amerta Buana. Dengan antusias, pria yang akrab disapa Pak Wo (Kamituwo, red) ini menjelaskan keunikan di tempat kelahirannya itu. Seperti halnya ketika terdapat perayaan keagamaan, semua warga iku berpartisipasi dan mendukung. 


"Malam takbiran saja yang dapat hadiah itu orang Kristen. Begitu pun juga kalau orang Islam mau mengadakan pengajian, mereka juga menyumbangkan nasi bungkus atau berkat, kalau tidak diajak sumbangan, justru komplain," terangnya.


Sebaliknya, ketika Hari Raya Natal, lanjutnya, yang muslim juga ikut membantu menjaga ketertiban seperti menjaga parkir orang-orang yang hendak beribadah ke Gereja maupun Pura.


"Kalau Natalan ya saya selaku Kepala Dusun muslim juga ikut Natalan, dalam artian bukan saya ikut Kristen bukan, namun saya ikut memberikan dukungan untuk warga yang sedang merayakan Hari Besar keagamaannya, saya ikut ke gereja, yo meneng ae lungguh (ya diam saja, hanya duduk-duduk). Lalu yang jaga parkiran ya anak-anak muda sini, orang-orang Islam. Begitu juga kalau Hari Raya Nyepi ya orang Islam ikut jaga parkir mobil atau sepeda motor orang yang mau datang ke Pura," terang Sungkono.


Begitu juga jika ada warga yang meninggal dunia, lanjutnya, tidak ada yang membeda-bedakan, bahkan kompleks pemakaman juga satu lahan.


"Kalau ada orang meninggal kita tidak membedakan, misalnya orang Islam yang meninggal, orang Kristen dan Hindu juga datang. Begitu juga sebaliknya, jika orang Kristen ada yang wafat ya yang muslim ikut bantu-bantu menyiapkan peti, dan lainnya. Karena di sini semuanya saudara," tuturnya.


Disinggung adanya isu-isu keagamaan yang merebak di media sosial, fanatisme agama yang sering dijadikan alat politik maupun mobilisasi massa untuk kepentingan dan keuntungan golongan tertentu, hal tersebut menurut Sungkono tidak berpengaruh sama sekali di Ngepeh.


"Di sini tidak ada istilah kagetan karena beda agama, jadi kalau ada pendatang baru yang ngompor-ngompori itu tidak berpengaruh sama sekali. Contohnya, di mushala sini yang sebelumnya belum pasang listrik, tetangga mushala itu orang Kristen, jadi nyalur listrik itu ya di tempatnya orang Kristen itu," tambahnya.


Ada cerita menarik, lanjut Sungkono, dahulu ia pernah mengantar kakek istrinya yang beragama Kristen untuk pergi ke Gereja dekat Kawedanan Ngoro, ia menuturkan jika kakeknya tersebut menganut Kristen Kejawen, sehingga ia berangkat ke Gereja pun juga menggunakan songkok (peci/kopiah) hitam.


"Kakeknya istri saya itu Kristen tapi Kristen Kejawen, jadi kalau ke Gereja itu pakai kopiah, songkok hitam," jelasnya sambil tertawa kecil.


Ibu Yanti, Warga Kristen Dekat Pura

Saat berjalan pulang setelah mengunjungi Pura Amerta Buana, penulis bertemu dengan Ibu Yanti, tetangga dekat Pura yang menyapa kami dan mempersilakan kami masuk ke dalam rumahnya. Perempuan berusia 66 tahun ini mengaku senang berada di lingkungan heterogen yang berada di Dusun Ngepeh.


"Di sini warganya baik-baik, tetangga sebelah saya Hindu, kita Kristen, sebelahnya lagi Islam, ini Pura depannya Gereja, di sebelah sana ada masjid besar," ujarnya.


Ia mengungkapkan bahwa kerukunan umat beragama di Dusun Ngepeh juga nampak ketika terdapat perayaan keagamaan oleh salah satu pemeluk agama. "Di sini bagus, kalau orang Hindu punya acara, orang Hindu juga ada yang berkunjung ke sini juga, kalau ada Natal orang Muslim juga datang, kalau Idul Fitri juga banyak yang ke sini, saling antar makanan juga, di sini bagus kerukunan beragamanya. Kalau ada yang sembahyang ke Pura hari Selasa atau Jum'at legi, saya kasih lampu di jalan depan mbak, karena kasian malam," paparnya.


Ia berharap kerukunan yang sudah terjalin sejak zaman nenek moyang Dusun Ngepeh ini dapat dirawat dengan baik supaya menjadi contoh dan teladan untuk generasi ke depan jika perbedaan bukanlah suatu permasalahan.


"Jangan sampai ada problem, kita nggak percaya yang seperti itu, kita yang sabar aja. Di sini, saya punya keponakan Islam, saya mengingatkan dia untuk sholat, kalau dia puasa ya kita yang layani, kalau kami ada acara perkumpulan, dia juga bantu masak," jelasnya lebih lanjut.


Mempunyai keluarga yang harmoni menjadikan Ibu Yanti juga membebaskan anak dan cucunya untuk memeluk agama yang diyakininya. "Saya bebas mbak, tidak apa-apa, saya punyak cucu juga saya bebaskan, karena iman dari kita sendiri ya mbak," pungkasnya.


Belajar dari Ngepeh

Belajar dari Ngepeh adalah belajar untuk lebih sederhana dalam memandang perbedaan, lebih khusus perbedaan agama. Apalagi kondisi di Ngepeh adalah kondisi realita yang dapat diteladani untuk banyak tempat, kelompok, komunitas, golongan yang lebih besar daripada jumlah penduduk Ngepeh. Jumlah penduduk Ngepeh sendiri sekitar 2500 jiwa.


Dari Buku Ngepeh, Kerukunan Beragama dan Keluarga Pelangi karya Qurrotul Ainiyah, dkk menjelaskan adanya faktor yang mendukung kerukunan umat beragama di Ngepeh selain adanya hubungan kekerabatan, kesamaan Budaya Jawa, juga karena memiliki kesamaan tujuan hidup.


"Rasa memiliki dan kesamaan tujuan untuk hidup secara harmonis juga diakui menjadi unsur perekat bagi interaksi sosial di Ngepeh. Sebagai sesama warga yang tinggal di Dusun Ngepeh, penduduk yang tinggal merasa bertanggungjawab menjaga keharmonisan dan kerukunan yang sudah tercipta," jelas di buku tersebut. 


Karena itu kerukunan antar umat beragama di Dusun Ngepeh tidak serta merta merupakan warisan dari nenek moyang mereka. Namun seluruh elemen masyarakat Dusun Ngepeh juga turut berupa merawat peninggalan tersebut dan terus mempelopori hidup dengan kerukunan.


Seperti yang diutarakan Kepala Dusun Sungkono, yang menyebutkan adanya upaya warga setempat untuk membentuk kerukunan dengan berdirinya Paguyuban Budi Luhur dan Radio Suara Budi Luhur. Pendirian radio komunitas tersebut memang bertujuan untuk menjalin kerukunan antar umat beragama.


"Ada komunitas Radio SBL (suara budi luhur), ada Kristen, ada Islam, ada Hindu, yang isinya ya bermacam-macam seperti siraman rohani, ya bergilir pengisinya," jelasnya.


Di Dusun Ngepeh, selain terdapat perbedaan 3 agama, yang mayoritas umat Muslim pun juga tidak hanya datang dari warga NU, melainkan juga terdapat warga Muhammadiyah dan Wahidiyah. Namun, semuanya hidup rukun berdampingan.


Ngepeh adalah satu dari sekian banyak potret Indonesia kecil yang benar-benar ada dan hidup di Indonesia yang besar ini. Potret kerukunan antar umat beragama jangan sampai padam dengan banyaknya ragam pemberitaan yang profokatif. Menjaga kerukunan antar umat beragama sudah jelas menjadi tugas kita bersama baik di akar rumput maupun dalam isu-isu nasional.


Penulis: Rifatuz Zuhro

Editor: Fathoni Ahmad

 

=================

Liputan ini hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI