Nasional

Potret Kehidupan Lorong Kerukunan Antarumat Beragama di Kampung Baru Tana Toraja

Ahad, 30 Oktober 2022 | 09:00 WIB

Potret Kehidupan Lorong Kerukunan Antarumat Beragama di Kampung Baru Tana Toraja

Ilustrasi kerukunan masyarakat di Tana Toraja. (Foto: Wikimedia Commons/WiDi)

Hidup di tengah keberagaman keyakinan tidak mudah dijalankan jika tidak memiliki prinsip kemanusiaan yang kuat untuk membangun kehidupan yang lebih baik antarumat beragama. Seperti yang dihadapi Herman Tahir bersama keluarganya di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Di daerah ini, penduduk mayoritas memeluk agama Kristen Protestan dan Katolik. Namun, Herman dan keluarganya hidup rukun dengan tetangga-tetangganya yang Kristen.


Data dari Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2019, berdasarkan jumlah penganut agama, Tanah Toraja termasuk wilayah yang jumlah penduduknya paling banyak beragama Kristen yaitu 184.875 jiwa, disusul Katolik (50.158 jiwa), Islam (34.275 jiwa), Hindu (10.214 jiwa), dan Buddha 19 jiwa. Namun, tidak semua penganut agama Hindu berasal dari Bali. Ada juga orang Toraja yang secara administratif (KTP) tertulis agama Hindu, tetapi sebenarnya mereka menganut keyakinan Aluk Tudolo. Sedangkan di Toraja Utara, bila dipresentasikan, pemeluk Kristen sebanyak 72,46 persen, Katolik (20,97 persen), dan Islam 6,57 persen.


Muhammad Irfan Syuhudi dari Balai Litbang Agama Makassar seperti dikutip dari laman balitbangdiklat.kemenag.go.id menjelaskan bahwa Herman Tahir merupakan imam Masjid Taqwa di Kampung Baru, Tana Toraja. Ia adalah tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama yang cukup disegani di Tana Toraja. Bersama istrinya, ia menjadi penggerak utama membangkitkan beragam kegiatan di Masjid Taqwa. Karena kepengurusan masjid belum berjalan seperti masjid-masjid pada umumnya, maka Herman untuk sementara ini, yang sering mengambil alih semuanya. Termasuk menjadi khatib Jumat dan imam masjid.


Selama berdomisili di Tator, ia mendapat banyak pengalaman berharga, terutama dalam menjalin keakraban, dan membangun relasi sosial dengan orang yang berbeda keyakinan. Herman tinggal di rumah mertuanya di sebuah lorong, di mana ia menjadi minoritas di situ. Hampir semua tetangganya memeluk Kristen. Bahkan, ada satu sumur umum yang sebagian besar warganya melakukan aktivitas mandi dan mencuci sejak dulu sampai sekarang. Termasuk keluarga besar Herman.


Saat mertuanya masih hidup, Herman sering menjadikan rumahnya sebagai tempat beragam aktivitas dan berkumpulnya orang-orang dari berlainan agama dan etnis. "Bahkan, pada saat Natal, banyak tetangga Kristen yang memasak di rumah untuk persiapan Natal. Kami selalu bantu-bantu sampai sekarang," kata Herman.


Sebab itu, Herman dan istrinya ingin melanjutkan tradisi orang tua mereka yang dipandang positif dalam melakukan interaksi dengan orang yang berbeda agama dengan mereka. "Kami sejak dulu sudah hidup rukun dan akrab dengan tetangga dan orang-orang yang berbeda agama. Makanya, saya dalam berbagai kesempatan selalu menyampaikan indahnya menjaga kerukunan antarumat beragama," ujar Herman.


Seorang tokoh adat Toraja, Cornelius Pasulu menyatakan, kerukunan antarumat beragama yang terbangun di Toraja adalah salah satu warisan leluhur mereka yang ingin melihat masyarakat Toraja hidup dalam kedamaian. Makanya, meski di antara mereka ada yang berbeda keyakinan semua tetap dianggap bersaudara.


"Masih sering ditemui di Toraja ada tiga keluarga dengan tiga agama (Kristen, Islam, Aluk Todolo), tinggal dalam satu rumah dan mereka rukun-rukun saja," kata Cornelius.


Di Toraja, sejak dulu sampai sekarang, orang berbeda agama dan etnis selalu hidup damai. Tak pernah sekalipun terdengar ada perkelahian, apalagi konflik, yang membawa-bawa nama agama maupun etnis. Jangankan relasi antartetangga yang berbeda keyakinan, relasi antarkeluarga pun demikian. Mereka saling bantu, saling menyemangati, dan saling mendoakan satu sama lain.


Seorang pendeta di Tana Toraja bercerita, ayah kandungnya seorang muslim. Hubungan ia dan ayahnya tetap baik-baik saja hingga ayahnya meninggal. Ayahnya sering mengingatkan dan memarahi bila ia tidak pergi gereja. "Kalau memeluk agama itu harus total. Itu bentuk pertanggungjawaban kita nanti dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Beribadah itu salah satu ciri orang yang beragama," pesan ayahnya.


Kepala Bagian Pemerintah Kabupaten Tana Toraja, Rudi Irwan Suhadi yang hampir 20 tahun menetap di Tana Toraja dan punya banyak keluarga Kristen dari istrinya mengaku bahwa relasi ia dan keluarga besar istrinya tetap harmonis. "Justru, kami heran kalau misalnya ada orang yang ribut, dan lantas bawa-bawa nama agama. Di Toraja tidak berlaku seperti itu," kata Rudi.


Di samping rumah Rudi di Makale, ada sebuah tongkonan besar peninggalan mertuanya. Setiap kali ada acara keluarga penting, termasuk perayaan keagamaan, Idul Fitri dan Natal, tempat itu sering dijadikan ajang ngumpul-ngumpul keluarga.


Bukan sebuah pemandangan aneh melihat seorang muslim menjadi panitia Natalan dan pembangunan rumah ibadat di Toraja. Yunus Tajuddin, seorang muslim, sering dipercaya menjadi panitia perayaan Natal di kampungnya. Kebetulan, keluarga dan kerabat Yunus banyak yang memeluk Kristen. Demikian pula sebaliknya. Upacara adat kematian Toraja, Rambu Solo yang dilakukan umat Kristen selalu dihadiri umat Islam.


Bagi orang Toraja, relasi antarumat beragama sudah melebur cair. Nyaris tak ada sekat-sekat lagi. Itu adalah warisan berharga peninggalan leluhur mereka, yang terus dilanjutkan dan kemudian diwariskan oleh generasi berikutnya. Juga hampir semua perumahan penduduk dan kompleks perumahan dihuni orang-orang berbeda identitas sosial keagamaan.


Menurut Pendeta Daud Sangka Palisungang, kerukunan antarmasyarakat dan antarumat beragama di Toraja diambil juga dari filosofi rumah Tongkonan. Dalam satu tongkonan misalnya, biasa tinggal lebih dari satu kepala keluarga. Dalam satu keluarga di rumah Tongkonan itu, mereka memeluk agama yang berbeda.


Meski hampir tidak ada lagi yang menetap di dalam Tongkonan, seperti dilakukan leluhurnya ratusan tahun lalu, namun orang Toraja tetap memperlakukan Tongkonan sebagai peninggalan leluhur yang mesti dijaga, dilestarikan, dan dirawat baik-baik.


Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Kendi Setiawan

 

=========================

Liputan ini hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI