Nasional

Potret Sentra Buku Legendaris Kwitang yang Kini Sepi Pengunjung

Rab, 31 Mei 2023 | 14:30 WIB

Potret Sentra Buku Legendaris Kwitang yang Kini Sepi Pengunjung

Para penjaja buku di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat, Selasa (30/5/2023). (Foto: NU Online/Indi)

Jakarta, NU Online

Sentra buku Kwitang di bilangan Senen, Jakarta Pusat kian meredup. Hanya tumpukan buku yang menjulang hingga ke langit-langit toko. Kini, kawasan pusat penjualan buku yang sudah ada sejak tahun 1980-an itu sepi pengunjung seiring perkembangan teknologi digital yang turut mengalihkan pembeli dari offline ke online.


Kawasan pertokoan buku jadul ini sempat hits di eranya, tepatnya pada tahun 1990-an. Kwitang telah menjadi rujukan para peminat buku lintas usia. Eksistensi sentra buku ekonomis ini kian moncer, setelah munculnya adegan Rangga (Nicholas Saputra) mengajak Cinta (Dian Sastrowardoyo) menyusuri kawasan sentra buku Kwitang dalam film ‘Ada Apa Dengan Cinta’ yang rilis di awal 2000-an.


Namun, Kwitang sebagai sentra buku legendaris kini dalam kondisi penjualan yang memprihatinkan. Penjualan buku di kawasan tersebut tiap tahun terus mengalami penurunan. Puncaknya, yakni saat pandemi Covid-19 melanda.


Hal ini dirasakan Ulfah (24) yang sudah sejak lama berlapak di sana. Ulfah mengaku, untuk mendapatkan untung ideal dari berjualan buku di Kwitang susahnya bukan main. Perubahan perilaku transaksi belanja dari offline ke online selama pandemi masih melekat dengan konsumen hingga saat ini.


“Mulai dagang buku dari tahun 90-an. Nyewa kios tahun 2011. Apalagi sekarang musim online, ini biasanya tahun ajaran ramai, tapi sekarang sepi. Benar-benar nggak ada yang beli,” keluh Ulfah ditemui NU Online, Selasa (30/5/2023).


Kesulitan mendapatkan penghasilan dari penjualan offline tak lantas membuatnya beralih ke ranah online. Sengitnya persaingan harga jual buku di platform digital yang kerap tidak masuk akal, membuatnya kesusahan.


“Saya nggak main di online. Kalau di online mainnya kuat-kuatan harga, di online harganya murah banget. Kalau di sini nggak bisa, belum nutup. Modalnya nggak nyukup,” tutur perempuan yang tinggal di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat itu.


Kini, ia hanya mengandalkan keuntungan dari pembelian para pelanggan setia yang jumlahnya kian berkurang dan pembeli yang mampir.


Selapak senasib

Hal serupa juga dirasakan pelapak buku Kwitang lainnya, Zulham (47). Pria asal Tambun, Bekasi tersebut mengaku sekali waktu tidak kedatangan penglaris selama tiga hari. Penurunan omset bahkan nyaris 90 persen.


“Setelah Covid-19 jualan sepi, penurunan omset hampir 90 persen. Perhari bisa minimial 100-200 kalau dulu pas normal. Sekarang boro-boro, yang datang kadang satu atau dua orang. Pernah tiga hari kosong,” ungkap Zulham.


Berbeda dengan Ulfah, pria yang harus menghidupi seorang istri dan tiga anak yang masih bersekolah itu sempat melirik platform jualan digital untuk memasarkan buku-bukunya.


Namun sebagai pedagang kecil, ia tak dapat berbuat banyak. Tak ada modal besar yang mampu ia alokasikan untuk membuat promo dan memangkas harga jual buku miliknya. Belum lagi ia harus bersaing dengan juragan buku di platfrom digital yang kerap menawarkan buku di bawah harga wajar. Ia kembali kepusingan


“Sebelum pandemi, sekitar tahun 2017 saya jual juga di Bukalapak. Lumayan omsetnya, tapi sekarang, aduh, susah. Terus 2021 baru saya main di Tokopedia. Itu juga kadang omsetnya ya begitu, sehari cuma masuk 1-2,” jabar Zulham.


Belum lagi jika tenggang waktu pembayaran sewa ruko yang kian mendekat. Zulham dan kawan sejawat pelapak buku lainnya mau tak mau harus meminta keringanan pemilik gedung untuk menunda pembayaran. “Kadang-kadang kita nego sama yang punya gedung, ditangguhkan dulu bayarnya,” tutup Zulham.

 

Kondisi salah satu toko buku di Kwitang, Selasa (30/5/2023). Para penjual mengeluh kondisi toko yang semakin sepi pembeli. (Foto: NU Online/Indi)

 

Para penjual buku di kawasan Kwitang sempat difasilitasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk pindah lapak. Bantuan Pemprov pun tidak tanggung-tanggung mulai tempat yang lebih nyaman, bantuan sewa, dan lain-lain. Dari Kwitang, mereka pindah ke Thamrin City, Blok M, dan Pasar Kenari. Namun, toko buku mereka kini bernasib sama, sepi pembeli.

 

Dahulu, Kwitang berjaya bersamaan dengan hadirnya Toko Buku Gunung Agung. Toko Buku Gunung Agung merupakan usaha toko buku dan alat tulis yang didirikan pada tahun 1953 oleh Tjio Wie Tay atau dikenal Haji Masagung di Kwitang. Toko yang mulanya hanya kios sederhana ternyata berkembang pesat menjadi tempat penjualan buku, surat kabar, dan majalah, serta jasa percetakan, penerbitan, distribusi, hingga berbagai pesanan yang mereka terima dari luar Jakarta.


Gunung Agung merupakan toko buku populer pertama yang menggelar pameran perbukuan bertajuk "Pekan Buku Indonesia 1954". Melalui pameran tersebut, menghasilkan buku setebal 331 halaman dengan judul yang sama. Hal ini membuat Gunung Agung menjadi salah satu toko buku yang mengenalkan kepada masyarakat mengenai informasi lengkap dunia penerbit dan percetakan buku di Indonesia.


Kini, toko buku bersejarah tersebut menemui nasib yang sama dengan para pelapak buku lain di Kwitang. Bahkan, Toko Buku Gunung Agung akan menutup gerainya di seluruh Indonesia pada akhir tahun 2023.


Sejak pandemi Covid-19, manajemen Toko Buku Gunung Agung melakukan efisiensi dengan menutup gerai yang berada di sejumlah kota seperti Jakarta, Bogor, Bekasi, Magelang, Semarang hingga Gresik dan Surabaya. Hingga saat ini, toko buku yang masih bertahan berjumlah lima gerai.


Pewarta: Nuriel Shiami Indiraphasa

Editor: Fathoni Ahmad