Nasional

Prof Nasaruddin Umar Ingatkan Setiap Muslim Jangan Egois ketika Berdoa

Kam, 30 Maret 2023 | 14:30 WIB

Prof Nasaruddin Umar Ingatkan Setiap Muslim Jangan Egois ketika Berdoa

Imam Besar Masjid Istiqlal Profesor KH Nasaruddin Umar saat mengisi Seminar bersama Rumah KitaB, di Jakarta, Rabu (29/3/2023). (Foto: Syifa)

Jakarta, NU Online
Imam Besar Masjid Istiqlal Profesor KH Nasaruddin Umar mengingatkan umat Muslim untuk tidak bersikap egois ketika hendak berdoa. Hal ini, kata dia, merujuk pada kisah Rasulullah saw ketika memergoki seorang sahabat yang tengah berdoa untuk dirinya sendiri dan keluarga.


"Ini memberikan contoh buat kita bahwa kalau berdoa itu jangan menggunakan bahasa generik tapi gunakanlah bahasa yang spesifik," kata Prof Nasar dalam acara Seminar bersama Rumah KitaB, di Jakarta, Rabu (29/3/2023). 


Dari kisah tersebut, terang dia, kemudian Rasul membuat redaksi doa: Allahummaghfir lil muslimina wal muslimat, wal mukminina wal mukminat, al-ahya'i minhum wal amwat, innaka sami’un qoribun-mujibu da’wat, ya khodial hajat. 


"Penggunaan bahasa yang lebih spesifik tujuannya adalah agar penekanan mudah tersampaikan, begitu," terang Prof Nasar. 


"Itu merujuk pada kaidah al umuru bi maqasidiha yaitu segala sesuatu tergantung pada tujuanya," sambungnya. 


Ucapan salam dan sejarah diksi ‘tulang rusuk’
Ia kemudian memaparkan ucapan salam: Assalamu alaikum (Keselamatan atas kalian laki-laki) tanpa perlu menambahkan: “Wa ‘alaikunna al-salam” (dan keselamatan atas kalian perempuan), karena kaidah bahasa Arab mengatakan, apabila laki-laki dan perempuan bercampur dengan laki-laki cukup menyebut jenis laki-lakinya. 


"Al-tadzkir wa al-ta'nits idza ijtama'a gulibah al-tadzkir," papar dia. 


Hal ini, jelas dia, tidak bermaksud untuk mendikotomikan antara posisi laki-laki dan perempuan. "Lafadz itu semata-mata karena ketidaklaziman dalam bahasa Arab," kata dia. 


Ia tidak menampik bahwa ucapan salam seperti itu akan menimbulkan asumsi seolah-olah melambangkan subordinasi dan cenderung negatif. Dan, tak ayal menimbulkan asumsi-asumsi liar lain, seperti perempuan sebagai tulang rusuk dan sebagainya. 

 

Padahal, kata dia, narasi tulang rusuk sama sekali tidak ditemukan dalam ayat-ayat Al-Qur'an. "Kata tulang rusuk dalam Al-Qur’an jelas tidak ada," kata dia. 

 

Faktanya, diksi tulang rusuk yang diyakini masyarakat ini, ucap dia, termuat dalam Bibel khususnya Kitab Kejadian pasal 1-23 dan kitab-kitab hadits muncul kata tulang rusuk yang dihubungkan dengan penciptaan perempuan. Salah satu hal yang sering memberikan stigma negatif perempuan (Hawa) ialah diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam).


"Jadi, ini kita perlu pahami dulu historisnya. Jangan langsung menyimpulkan," ujar dia. 


Lebih lanjut, ia mengatakan, mitos tulang rusuk juga berpengaruh secara sosial-psikologis di dalam masyarakat. Perempuan seolah-olah sebagai subordinasi laki-laki. Mitos tulang rusuk ini mengendap di alam bawah sadar sebagian besar perempuan yang memang secara teologis sejak awal tidak setara dengan laki-laki.


"Ini bukan berarti saya mempertentangkan Al-Qur'an dengan Bibel," kata Prof Nasar.


Akibatnya, terang dia, posisi kaum perempuan hampir selalu termarginalisasi di dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Bahkan asumsi teologis ini berkontribusi terhadap lahirnya teori misogoni dan patriarki.


"Pengaruh mitos tulang rusuk ini sangat universal. Bukan hanya di suku-suku tertentu di Indonesia tetapi hampir seluruh dunia. Ini semua bersumber dari persepsi teologi bahwa kaum laki-laki memang lebih utama daripada kaum perempuan, padahal sama sekali tidak," tandasnya. 


Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Kendi Setiawan