Nasional Muktamar Ke-34 NU

Rais Aam PBNU Tegaskan Nahdliyin Harus Berkarakter Mandiri 

Rab, 22 Desember 2021 | 11:20 WIB

Rais Aam PBNU Tegaskan Nahdliyin Harus Berkarakter Mandiri 

Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar saat menyampaikan khutbah iftitah pada pembukaan Muktamar Ke-34 NU di Pondok Pesantren Darussa'adah, Gunung Sugih, Lampung Tengah, Rabu (22/12/2021).

Lampung, NU Online

Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar menagaskan bahwa warga Nahdliyin harus menjadi umat Muslim yang memiliki karakter mandiri. Bersikap plin-plan hanya akan menjadikan NU sebagai organisasi yang mudah terombang-ambing dan terpecah belah, sehingga rawan dirongrong oleh kelompok lalin yang tidak seideologi. 


Hal itu ia katakan saat menyampaikan Khutbah Iftitah Muktamar Ke-34 NU di Pondok Pesantren Darussa'adah, Gunung Sugih, Lampung Tengah, pada Rabu (22/12/2021). 


“Kader Nahdlatul Ulama harus mampu menunjukkan kepribadian dan semangat menuju kebaikan serta menjaga idealisme dan kemandirian dalam bersikap. Ikut-ikutan orang lain dan menjadi latah, hanya akan membuat kita terpecah belah, terombang-ambing dan menjadi bulan-bulanan,” katanya. 


Mendasari paparannya, kiai kelahiran Surabaya, Jawa Timur itu mengutip salah satu hadits Nabi yang artinya, ‘Janganlah kalian menjadi orang yang plin-plan dan latah. Kalian mengatakan, ‘Jika orang-orang berbuat baik, kami juga ikut baik. Dan jika mereka berbuat zalim, kami pun ikut zalim’. Namun, mantapkanlah jiwa kalian; jika masyarakat berbuat baik, kalian tetap melakukan kebaikan, dan jika mereka melakukan kejahatan, maka jangan ikut berbuat zalim.’ (HR At-Tirmidzi) 


Lebin lanjut, Pengasuh Pondok Pesantren Miftsachussunnah, Surabaya itu memaparkan, jika NU mudah terombang-ambing, maka berikutnya organisasi masyarakat terbesar ini akan mudah dipecah belah. Sebab, jika hati seseorang telah berselisih dan hawa dipermainkan oleh nafsu, perilaku seseorang tidak akan mengarah pada kemaslahatan lagi dan cenderung bersikap egois. 


“Mereka (yang terpecah belah) tidak akan menjadi bangsa yang bersatu, tapi hanya individu-individu yang berkumpul dalam arti jasmani belaka. Hati dan keinginan mereka saling selisih. Engkau mengira mereka menjadi satu, padahal hati mereka berbeda-beda,” ujar Kiai Miftach. 


Selanjutnya, Kiai Miftach mengutip salah satu nasihat Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah yang berbunyi, ‘Dengan perpecahan, tidak ada satu kebaikan yang akan dianugerahkan Allah kepada seseorang, baik dari orang-orang terdahulu maupun orang-orang yang datang belakangan.’ 


Menurutnya, kekuatan jamiyah NU sebenarnya sangat luar biasa. Namun selama ini masih banyak warganya yang hanya memposisikan diri sebagai jamaah. Padahal, lanjutnya, dirinya belum ber-jamiyah


“Inilah yang perlu kita jamiyah-kan. Jangan sampai nantinya warga tercerai berai hanya karena kepentingan-kepentingan sesaat. Mereka harus mengikuti satu komando, yang dikomando dari PBNU dan didukung oleh para mustasyar,” imbuh Kiai Miftach. 


Dalam pandangannya, Kiai Miftach menegaskan bahwa menumbuhkan jiwa persatuan organisasi dalam tubuh para Nahdliyin merupakan tugas paling pokok sebelum tugas-tugas NU lainnya. Sebab, jika persatuan sudah tercipta dengan kokoh, akan menjadi potensi raksasa bagi NU ini. 


“Men-jamiyah-kan jamaah dengan segala potensinya yang berkekuatan raksasa ini, menjadi pekerjaan rumah terpenting dari sekian pekerjaan rumah yang lain. Sebab, potensi raksasa ini, kalau tidak dikelola dengan baik dan benar, justru akan menjadi beban dan terpecah belah. Menjadi bulan-bulanan dan diperebutkan oleh kelompok-kelompok lain,” tandas Kiai Miftach. 


Kontributor: Muhamad Abror
Editor: Syakir NF