Nasional

Regulasi Pajak Emisi Karbon Menuju Disahkan DPR

Kam, 7 Oktober 2021 | 09:30 WIB

Regulasi Pajak Emisi Karbon Menuju Disahkan DPR

NU menekankan pentingnya regulasi tentang nilai ekonomi karbon (NEK). Hal tersebut menjadi instrumen untuk mengurangi emisi karbon yang menyebabkan pemanasan global.

Jakarta, NU Online

Pemerintah memasukkan emisi karbon sebagai objek pajak baru dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang telah disetujui Komisi XI DPR dan disahkan pada hari ini, Kamis (7/10/2021).


Ketentuan tersebut mengatur mulai dari subjek pajak hingga skema tarif pajak karbon, dilansir dari laman resmi dpr.go.id, penerapan pajak karbon harus disertai peta jalan yang komprehensif. 


Hal ini diperlukan sebagai bentuk komitmen penanganan perubahan iklim untuk menciptakan ekosistem industri nasional yang berkelanjutan. Mengingat, pajak karbon adalah salah satu ketentuan yang termuat dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP).

 
Oleh karenanya, Instrumen pajak karbon diperjuangkan sebagai bukti komitmen Indonesia menuju ekonomi hijau dan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebanyak 29 persen pada 2030 sesuai Perjanjian Paris. Penerimaan pajak ini nantinya juga dapat mendukung pendanaan untuk upaya pengendalian perubahan iklim. 


Namun, agar tepat dan tercapai, pemerintah harus menyiapkan peta jalan yang jelas dan terarah sebagai pedoman implementasi. Sebab, jika tidak terarah, justru akan dapat menghambat pencapaian target dan adaptasi industri atas kebijakan ini. 


Berdasarkan draf RUU HPP, penetapan tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan besaran tarif harga karbon di pasar per kilogram CO2 ekuivalen. Tarif minimum pajak karbon dalam RUU tersebut ditetapkan Rp 30 per Kg CO2 ekuivalen.


"Dalam hal tarif harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp30 per kilogram CO2 ekuivalen, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp30 per kilogram CO2 ekuivalen," tulis dalam RUU HPP BAB IV tentang Pajak Karbon pasal 13 ayat (9). Tarif ini jauh di bawah yang diusulkan pemerintah sebelumnya yakni sebesar Rp 75 per Kg CO2 ekuivalen.


Beleid tersebut juga mengungkap wajib pajak (WP) dapat memperoleh pengurangan pajak karbon dan perlakuan khusus lainnya apabila berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon, pengimbangan emisi karbon atau mekanisme lainnya. Sementara WP dalam skema pajak ini yaitu orang pribadi atau badan. 


Pajak karbon akan berlaku ketika WP membeli barang yang mengandung karbon. Selain itu pajak juga akan dikenakan untuk aktivitas WP lainnya yang menghasilkan karbon dan penghitungannya dilakukan pada akhir periode tahun. 


"Penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim," demikian tertulis dalam dokumen tersebut. 


Penerapan skema perpajakan baru ini akan memperhatikan dua aspek penting, yakni peta jalan pajak karbon dan pasar karbon. Kedua peta jalan ini adalah strategi yang dibuat pemerintah terkait rencana penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan (EBT) serta keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya. 


Meski sudah ditetapkan mengenai subjek hingga tarifnya, sejumlah ketentuan masih akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP). 


Ketentuan yang akan diatur melalui PP antara lain, skema perubahan tarif, penetapan subjek dan penambahan objek pajak karbon, alokasi penerimaan dari pajak karbon untuk pengendalian perubahan iklim, serta dasar pengenaan pajak. 


Sementara ketentuan perhitungan, pemungutan, pembayaran, pelaporan dan mekanisme pajak serta pengurangan pajak akan diatur secara terpisah oleh Kementerian Keuangan.


Melansir laman resmi Kementerian Keuangan, Komisi XI DPR RI telah merestui Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang kini berubah nama menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP). 


Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, RUU ini merupakan upaya pemerintah untuk mendorong reformasi struktural di bidang perpajakan. "RUU ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rangkaian panjang reformasi perpajakan yang, baik reformasi administrasi maupun kebijakan,” ujar Sri Mulyani.


Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui forum Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2021 di Jakarta sepakat mendukung skema perdagangan karbon dan pajak karbon untuk menjawab tantangan perubahan iklim dan pelestarian lingkungan hidup.


Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam NU) Marzuki Wahid mengatakan, hasil Bahtsul Masail Qanuniyyah menekankan pentingnya regulasi tentang nilai ekonomi karbon (NEK). Hal tersebut menjadi instrumen untuk mengurangi emisi karbon yang menyebabkan pemanasan global.


"Penyelenggaraan NEK dapat berupa bentuk pajak karbon, perdagangan karbon, dan pembayaran berbasis kinerja atas capaian kawasan pengurangan emisi," katanya pada Munas dan Konbes NU di Jakarta beberapa waktu lalu.


Kontributor: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad