Nasional MUNAS-KONBES NU 2021

Rencana Pajak Emisi Karbon Menjadi Bahasan di Munas Alim Ulama 2021

Kam, 23 September 2021 | 11:00 WIB

Rencana Pajak Emisi Karbon Menjadi Bahasan di Munas Alim Ulama 2021

Ilustrasi Emisi Karbon

Jakarta, NU Online
Rencana pemerintah soal pajak emisi karbon menjadi salah satu pembahasan di Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) yang diselenggarakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, pada 25-26 september 2021.


Isu ini menurut Steering Committee (SC) KH Ishomuddin, merupakan hal yang sedang hangat daya tariknya di kedua kubu, pemerintah dan pihak pengusaha. Pemerintah ingin menerapkan pajak karbon atau carbon tax, sementara para pengusaha merasa keberatan atas usulan itu.


Kiai Ishom sapaan akrabnya, berharap melalui Munas dan Konbes nanti, ditemukan benang merah kesepakatannya. “Saya kira dengan bantuan Munas Alim Ulama nanti mudah-mudahan DPR RI mau mendengar usulan-usulan para alim ulama di jajaran Syuriyah di seluruh Indonesia,” harapnya pada Konferensi Pers Munas-Konbes NU 2021, Kamis (23/9).


Pemerintah menyatakan pengenaan pajak karbon dimaksudkan untuk mewujudkan komitmen Indonesia dalam mengendalikan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai Paris Agreement yang dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) serta meningkatkan penerimaan negara.


Sebagaimana tertulis dalam Naskah Akademik (NA) RUU KUP, untuk mengakselerasi penurunan emisi GRK serta untuk mendukung pencapaian NDC, diperlukan upaya agresif dari sisi regulasi.


Pemerintah juga menyatakan perlunya meningkatkan partisipasi swasta dan masyarakat untuk mengendalikan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Terlebih, di tengah keterbatasan APBN, pemerintah membutuhkan tambahan pendanaan untuk dapat stay on track sesuai dengan program penurunan emisi yang telah tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC).


“Saya dukung adanya pajak karbon untuk tambahan APBN dalam jangka panjang, meskipun itu bukan alasan utama,” terang Kiai asal Lampung itu dalam acara Bahtsul Masail, Senin (20/9) kemarin.


Setidaknya terdapat 6 pertimbangan pemerintah dalam mengenakan pajak karbon.


Pertama, penerapan prinsip polluters pay principle. Artinya, melalui pajak karbon, pemerintah ingin membebankan biaya kerusakan lingkungan akibat emisi karbon kepada pihak yang mengeluarkan emisi karbon.


Kedua, pajak karbon sebagai upaya mencapai target penurunan GRK dengan kemampuan sendiri. Dalam UU No.16/2016, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional.


Ketiga, sumber baru pembiayaan pembangunan. Pemerintah telah menetapkan prioritas pembangunan dalam dokumen RPJMN 2020-2024. Selain itu, pertimbangan pandemi juga menetapkan prioritas utama pada sektor kesehatan dan pemulihan ekonomi.


Prioritas kesehatan dan pemulihan ekonomi tersebut menambah keterbatasan fiskal pemerintah. Untuk itu, pendapatan negara dari pajak karbon dicanangkan sebagai sumber baru bagi pembiayaan pembangunan atau menambah fiscal space.


Keempat, mengisi gap pembiayaan perubahan iklim. Berdasarkan pada data climate budget tagging, kemampuan APBN untuk memenuhi kebutuhan pendanaan perubahan iklim hanya sekitar 34 persen dari kebutuhan. Untuk itu, penerimaan dari pajak karbon akan menutupi gap pembiayaan perubahan iklim tersebut.


Kelima, sumber investasi energi ramah lingkungan dan terbarukan. Investasi energi ramah lingkungan dan terbarukan memerlukan dana yang sangat besar. Dengan adanya pajak karbon, pemerintah dapat melakukan earmarking (penyisihan) atas pajak karbon untuk mendukung investasi ramah lingkungan dan terbarukan.


Keenam, sumber pembiayaan untuk mendukung masyarakat berpenghasilan rendah. Pengenaan pajak karbon dapat berdampak pada masyarakat berpenghasilan rendah, terutama pascapandemi Covid-19. Untuk itu, pendapatan dari pajak karbon dapat dialokasikan pada masyarakat berpenghasilan rendah guna mengurangi dampak regresifitasnya.


Dalam NA RUU KUP tersebut, pemerintah juga menyatakan kebijakan mengenai pajak karbon akan cenderung mengarah pada pembentukan pajak baru. Pasalnya, secara konsep, pemungutan pajak karbon berbeda dengan PPh atau PPN atau pungutan lain yang berlaku saat ini.


Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Muhammad Faizin