Nasional MUNAS KONBES NU 2023

Rekomendasi Munas-Konbes NU 2023 soal Politik Warga NU, Konflik Rempang, dan Problem Global

Rab, 20 September 2023 | 11:30 WIB

Rekomendasi Munas-Konbes NU 2023 soal Politik Warga NU, Konflik Rempang, dan Problem Global

Momen penutupan Munas dan Konbes NU 2023 usai Sidang Pleno Komisi, Selasa (19/9/2023) di Asrama Haji Jakarta. (Foto: Humas PBNU)

Jakarta, NU Online

Sidang Komisi Rekomendasi Munas dan Konbes NU 2023 di Jakarta menyoroti berbagai permasalahan baik di tingkat nasional maupun global.


Ketua komisi rekomendasi KH Ulil Abshar Abdalla menyampaikan secara umum, ada tiga rumpun utama yang perlu mendapatkan tanggapan NU. Rumpun pertama terkait dengan penyelenggaraan pemilu pada 2024. Rumpun isu kedua terkait dengan masalah-masalah di tingkat nasional. Dan, rumpun isu ketiga terkait persoalan global.


Sebagai perwujudan dari tanggung jawab moral Nahdlatul Ulama terhadap sejumlah perkembangan di atas, maka dirumuskan sejumlah respon dan rekomendasi dalam Sidang Pleno Munas Konbes NU 2023 di Gedung Serbaguna Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Selasa (19/9/2023).


1) Pedoman berpolitik bagi warga NU

Dalam pandangan NU, doktrin wujub nashbil imam (kewajiban mengangkat imam/penguasa) bukan sekedar bermakna tindakan memilih penguasa/kepala negara saja, melainkan lebih luas lagi: yaitu partisipasi warga secara aktif dalam politik dalam pengertian seluas-luasnya, sebagai bentuk tanggung-jawab moral seorang warga negara dalam pembangunan kehidupan umum yang lebih bermaslahah, berkeadilan, dan demokratis sesuai dengan ajaran Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah.


Menghadapi pemilu mendatang, baik pileg atau pilpres, warga NU seharusnya berpegang kepada sembilan butir pedoman berpolitik yang sudah dirumuskan dalam Muktamar NU ke-28 pada 1989 di Krapyak. 


Sembilan pedoman berpolitik warga NU

  1. berpolitik bagi NU adalah bentuk keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; 
  2. berpolitik haruslah didasarkan kepada wawasan kebangsaan untuk menjaga keutuhan bangsa; 
  3. berpolitik adalah wujud dari pengembangan kemerdekaan yang hakiki untuk mendidik kedewasaan warga guna mencapai kemaslahatan bersama; 
  4. berpolitik harus diselenggarakan dengan akhlaqul karimah sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah; 
  5. berpolitik harus diselenggarakan dengan kejujuran, didasari moralitas agama, konstitusional, dan adil sesuai dengan norma-norma dan peraturan yang disepakati; 
  6. berpolitik dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, bukan malah menghancurkannya; 
  7. berpolitik, dengan alasan apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah bangsa; 
  8. perbedaan aspirasi politik di kalangan warga nahdliyyin haruslah tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’, dan saling menghargai satu sama lain; 
  9. politik harus mendorong tumbuhnya masyarakat yang mandiri sebagai mitra pemerintah, begitu rupa sehingga penyelenggaraan negara tidak boleh bersifat state heavy, melulu dikuasai pemerintah dengan mengabaikan aspirasi masyarakat, melainkan bersifat dua arah dan timbal balik.


2) Masalah Rempang-Galang

Nahdlatul Ulama sangat memahami kepentingan pemerintah untuk menghindarkan Indonesia dari apa yang disebut middle income trap, jebakan negara-negara berpenghalisan menengah. Indonesia harus setahap demi setahap melampaui tahap negara menengah menjadi negara maju dengan penghasilan yang setara dengan negara-negara maju yang lain. Untuk menuju ke sana, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (minimal 6-7 persen setahun) harus bisa dipertahankan secara konsisten.


Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak bisa dicapai jika tidak ada prasyarat-prasyarat yang kondusif. Salah satunya ialah adanya tingkat konsumsi yang tinggi dari sudut masyarakat (aspek permintaan) dan investasi yang cukup memadai untuk menggenjot produksi barang dan jasa (aspek suplai). Dua sayap konsumsi-dan-investasi ini memang harus diusahakan agar mencapai titik yang tinggi. 


Nahdlatul Ulama sangat memahami imperatif pertumbuhan ekonomi semacam itu. Oleh karena itu, NU juga memahami usaha-usaha pemerintah untuk menaikkan tingkat investasi dan produksi. Tetapi, di sisi yang lain, NU juga amatlah sadar bahwa pertumbuhan ekonomi tidak boleh melanggar pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan dan keadilan bagi rakyat, terutama rakyat dalam strata yang paling rendah.


Pertumbuhan ekonomi pada akhirnya tidak boleh merugikan segmen masyarakat kecil yang sering menjadi korban itu. Masalah Rempang-Galang bukanlah masalah tunggal, melainkan bagian saja dari trend serupa yang terjadi di berbagai kawasan tanah air. Dalam masalah ini, sikap Nahdlatul Ulama adalah sebagai berikut:

 
  1. Perampasan tanah yang menjadi hak milik rakyat, sebagaimana diputuskan dalam Muktamar NU ke-34 di Lampung pada 2021, adalah haram hukumnya. 
  2. Penggunaan pendekatan keamanan dan kekerasan dalam sengketa tanah dengan rakyat haruslah dihindarkan. Sebaliknya, pemerintah atau pihak-pihak lain (terutama korporasi) haruslah menempuh pendekatan dialog dan persuasif.
  3. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan investasi tidak boleh dicapai dengan melanggar hak-hak rakyat kecil. Pada akhirnya, pembangunan adalah sarana saja. Yang menjadi tujuan adalah manusia itu sendiri. Karena itu kemaslahatan manusia (dalam hal ini rakyat kecil yang menjadi korban) haruslah menjadi pertimbangan pokok.
  4. Mendorong kepada semua pihak untuk “cooling down”, baik pihak pemerintah maupun masyarakat. Sementara itu, pemerintah haruslah mendengar aspirasi rakyat dengan sebaik-baiknya sehingga kepentingan investasi pada akhirnya tidak mengorbankan hak-hak mereka.
  5. Mengajak rakyat di Rempang-Galang untuk bersabar dan ters berdoa kepada Allah SWT agar bisa dicapai solusi terbaik dan membawa maslahat bagi seluruh pihak, terutama rakyat.


3) Masalah-masalah global: Pentingnya agama menjadi sumber solusi

Ada dua perkembangan penting dalam politik global saat ini. Di satu pihak, agama disisihkan dari pertimbangan-pertimbangan yang diambil oleh aktor-aktor global untuk mengatasi masalah-masalah penting yang menyangkut kepentingan warga dunia. Ini bagian saja dari gejala sekularisasi yang berlangsung secara global sejak abad ke-18 dan 19. Meskipun akhir-akhir ini terjadi “arus balik” untuk membawa kembali agama ke tengah-tengah percaturan publik, tetapi secara umum gejala peminggiran agama masih menjadi trend utama.


Di pihak lain, agama sendiri juga mengalami masalah-masalah internal yang tak kalah akut. Pemahaman-pemahaman lama yang kurang lagi relevan dengan konteks baru menimbulkan benturan antar identitas, konflik, dan kecurigaan. Ini jelas akan mengancam upaya menciptakan perdamaian di dunia.


Bagi Nahdlatul Ulama, tidak ada cara lain untuk mengatasi hal ini kecuali dengan menempuh dua hal. Pertama, melakukan otokritik dan pemahaman secara lebih kontekstual atas ajaran-ajaran agama sehingga sesuai dengan konteks terus berubah. Di pihak lain, perlu mendorong aktor-aktor global untuk memberikan kepada agama ruang yang cukup untuk dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan global.


Dua hal inilah yang dimaksudkan dengan “Fiqih Peradaban” yang akhir-akhir ini digencarkan oleh PBNU. NU beraspirasi untuk mendorong terwujudnya peradaban baru yang berlandaskan pada perdamaian, keadilan, dan penghormatan atas karamat al-insan (kehormatan manusia). Dengan tawaran fikih peradaban ini, NU hendak menjadikan agama adalah sumber solusi. Ini dilakukan sebagai koreksi atas persepsi yang berkembang di sebagian kalangan bahwa agama adalah sumber masalah. NU berkeyakinan bahwa agama adalah sumber solusi dan rahmat sebagaimana ajaran tentang Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin.


Tim Komisi Rekomendasi

Ketua Komisi Rekomendasi: KH Ulil Abshar Abdalla
Sekretaris: Muhammad Syueb
Anggota: Zastrouw Al Ngatawy