Brebes, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Subhan Makmun menjelaskan, melewati Ramadhan maka menginjak bulan Syawal, bulan peningkatan.
Semasa Ramadhan dituntun oleh Allah SWT menjadi orang yang takwa melalui puasa. Orang beriman yang telah mencapai derajat takwa, di antaranya ketika menjalani kehidupannya selalu berhati-hati. "Puasa pada umat yang dahulu juga ada, tiada lain dengan tujuan untuk mencapai derajat takwa," kata Pengasuh Pesantren Assalafiyah Luwungragi Brebes pada Halal Bi Halal dan Pembinaan Mental PNS Brebes, di Pendopo Bupati, Jumat (14/6).
Kiai Subhan menerangkan, dalam tafsir Ibnu Kasir, bahwasanya Sahabat Umar mengambil sikap apa yang harus dilakukan ketika berjalan di jalan yang banyak durinya, tentu bersiaga dan berhati-hati. Kalau orang takwa, cirinya ketika berjalan berhati-hati. Yakni mementingkan keselamatan diri sendiri dan orang lain tidak serampangan, apalagi sembrono.
"Seperti halnya Lebah, ketika hinggap di dahan mana saja, tidak merusaknya," ujarnya memberi contoh.
Dikatakan, seorang mukmin orang yang bertakwa pun demikian, harus pandai mewujudkan kehidupan yang bermanfaat. Khoirunas anfauhum linas, bukan khoirunas anfauhu lahu. Manfaat untuk semua manusia, bukan untuk lahu atau golongannya sendiri saja.
"Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain, Nas itu, majemuk, untuk siapa saja baik itu orang nasrani, hindu, budha dan manusia lainnya," tandas Kiai Kharismatik tinggal di Brebes ini.
Bila pemahaman Islamnya dangkal, lanjutnya, tentu akan ada pemaksaan kehendak. Seakan-akan dunia miliknya sendiri, tidak rahmatan lil alamin.
"Orang yang bertakwa akan selalu mendatangkan kebaikan kepada orang lain. Punya ilmu diamalkan ke orang lain, maka ilmu tersebut bermanfaat. Bupati yang menetapkan kebijakan yang mendatangkan kebaikan orang lain, maka bupati bermanfaat. Demikian juga dengan karyawan bila membawa kebaikan kepada orang lain juga artinya kedudukannya bermanfaat," jelasnya.
Kiai Subhan mengungkapkan, kalau halal bi halal tidak menjadi tradisi di zaman Nabi Muhammad. Tetapi pada intinya ada pada saat zaman Rasulullah terbukti Nabi menegaskan kalau kedua muslim berjabat tangan, maka akan diampuni dosa-dosanya kedua orang tersebut. Dan juga tidak boleh ada pertengkaran hingga tiga hari lamanya, termasuk penghormatan kepada tetangga dan kepada tamu-tamu.
"Di Makkah tidak ada takbiran seperti di Indonesia saat Idhul Fitri, di Maroko juga tidak ada malam takbiran. Saudi dan Maroko tidak ada takbiran," paparnya.
Maka jangan bangga dengan Arabnya, karena kebudayaan Islam di Indonesia lebih hebat. Masyarakat Islam Indonesia mampu mengejawantahkan kebudayaan Islam. "Kalau sumber ilmu ada di Makkah, gudang ilmu ada di Mesir sedangkan amaliyah ada di Indonesia," tandas Kiai Subhan.
Contoh lain, muliakanlah tamu, tetapi di Arab tidak ada istilah tamu. Sangat mulia sekali kebudayaan Islam yang ada di Indonesia dalam hal menghormati tamu. Sampai-sampai anak-anak Pramuka yang lagi jambore pun ketika membutuhkan sarana mandi, langsung dipersilahkan oleh masyarakat setempat.
Halal bi halal juga telah dicontohkan Nabi Yusuf ketika mengumpulkan keluarganya di singgasana kerajaan ketika Nabi Yusuf sudah menjadi raja, Meskipun dahulu di dzalimi oleh saudara-saudaranya, namun Nabi Yusuf memberi contoh untuk saling meminta maaf, tidak ada lagi dendam. "Tidak ada saling salah menyalahkan, hari ini mari kita lupakan. Kita saling maaf memaafkan," ujar Yusuf dengan rendah hatinya.
Bupati Brebes Hj Idza Priyanti memohon maaf lewat halal bi halal di Pendopo. Diharapkan tali silaturahim antara atasan dan bawahan atau pimpinan dengan staf maupun antara staf dengan staf saling maaf dan memberi manfaat sesuai tugas dan kewajibannya masing-masing. (Wasdiun/Muiz)