Nasional

Sarbumusi: Buruh Indonesia Perlu Regulasi Jelas

NU Online  ·  Ahad, 31 Juli 2016 | 09:30 WIB

Jakarta, NU Online
Wakil Presiden Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (DPP K Sarbumusi) Nahdlatul Ulama, Sukitman Sudjatmiko, di Jakarta, Ahad (31/7) menyatakan, persoalan buruh di Indonesia bisa diurai dengan regulasi jelas yang berpihak pada buruh sebagaimana petani Thailand dan Jepang mendapat proteksi dari pemerintah mereka.

"Persoalan perburuhan saat ini selain perjuangan dan kondisi hak normatif yang terus dilanggar oleh pengusaha adalah buruh Indonesia menghadapi persoalan perburuhan. Kalau kita petakan, ada sekitar lima," kata dia.

Pertama, persoalan ekonomi kapitalisme digital. Kedua terkait penerapan teknologi informasi digital yang berimbas pada hubungan kerja lebih fleksible dan menyebabkan posisi tawar buruh terhadap pemilik teknologi menjadi lemah sehingga hak-hak normatif buruh terlanggar. Ketiga, implementasi masyarakat ekonomi ASEAN atau MEA yang secara prinsip, pemerintah Indonesia tidak melindungi buruh.

"Malah paket kebijakan ekonomi diarahkan meliberasi buruh, contoh diizinkannya outsourcing (alih daya) tenaga kerja asing di Indonesia dengan izin prinsip dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sementara ini, izin perusahaan outsourcing Indonesia ada di Dinas Tenaga Kerja (Dsinaker) Provinsi," ujar dia lagi.

Pertanyaannya, imbuh Sukitman, siapa yang mengawasi? Permenaker 19/2015 dan Permenaker 35/2015 yang lebih fleksible terhadap tenaga kerja asing dan PP pengupahan sebagai kebijakan upah murah?

"Itu sama saja Indonesia melepas buruhnya di pangsa pasar MEA, analoginya seperti menghadapkan anak ayam dengan harimau. Keempat tidak seriusnya pemerintah dalam merevitalisasi fungsi balai latihan kerja di seluruh Indonesia yang tidak dibarengi dengan dukungan anggaran (APBN) memadai," paparnya.

Persoalan kelima adalah Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) yang masih dipaksakan otonomi daerah terhadap Disnaker. Hal tersebut membuat kontrol Kemnaker terhadap Disnaker dalam fungsi pengawasan yang sama sekali tidak maksimal dan terkoordinasi dengan baik.

"Fakta di lapangan, penyelesaian perselisihan hubungan industrial terkendala carut marut politik lokal sehingga Kepala Disnaker lebih tunduk pada bupati/walikota daripada Menteri Tenaga Kerja. Persoalan-persoalan tersebut bisa diurai dengan regulasi jelas yang bisa melindungi dan memproteksi buruh," pungkasnya. (Gatot Arifianto/Mahbib)