Nasional

Sarbumusi: Rakyat Indonesia Jangan Jadi Penonton di Negeri Sendiri

Rab, 26 Agustus 2015 | 17:01 WIB

Jakarta, NU Online
Masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia, mau tidak bisa menghindari proses globalisasi dan tatanan kehidupan global. Berkaitan dengan itu, badan otonom NU, Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (DPP K-Sarbumusi), mengingatkan agar masyarakat bangsa Indonesia tidak menjadi penonton di negerinya sendiri.
<>
"Khususnya yang berkaitan dengan bidang ekonomi. Arus sumber daya ekonomi yang meliputi barang dan jasa, tenaga kerja, serta teknologi dan informasi semakin cepat dan bebas masuk ke wilayah Indonesia. Bila tidak disikapi dengan kebijakan yang serius dan direspon dengan persiapan yang matang maka Indonesia akan menjadi penonton di negara sendiri, kedaulatan dan NKRI hanya menjadi pajangan dan 'ornament using' penyemangat anak-anak di bangku sekolah," ujar Presiden DPP K-Sarbumusi HM Syaiful Bahri Anshori di Jakarta, Rabu (26/8).

Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia bersama-sama dengan sembilan negara yang lain sepakat untuk membentuk kerjasama yang dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA. MEA beranggotakan Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

"Komitmen MEA adalah mewujudkan masyarakat ASEAN menjadi 'satu visi, satu identitas, satu komunitas'. Hal ini disepakati terwujud pada tahun 2025, namun mulai berlaku tahun 2015. Pertanyaan yang sering muncul apakah Indonesia sudah siap menghadapi MEA 2015? Terutama sumber daya manusia dan terkait daya saing yang harus dipercepat yakni tenaga kerja Indonesia," papar Syaiful didampingi Sekretaris Jenderal Sukitman Sudjatmiko.

Ia menambahkan, buruh merupakan bagian dari masyarakat ekonomi yang sangat terasa imbasnya terkait dengan liberalisasi dan terbukanya ekonomi Asean dan Tenaga Kerja Asean.

"Masyarakat Ekonomi Asean  atau Pasar Bebas Asean yang akan efektif berjalan di Indonesia pada Desember 2015 nanti yang digembar-gemborkan oleh pemerintah Jokowi – JK sebagai kesempatan Indonesia dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui bangkitnya usaha kecil dan menegah masyarakat Indonesia pada kenyataanya tidak lain adalah program liberalisasi yang akan semakin menghilangkan kedaulatan negara dan batas batas NKRI," paparnya.

MEA hadir dengan tema pasar tunggal dan hubungan produksi ASEAN, yang hendak menjadikan Indonesia sebagai basis pasar dan basis produksi dengan menggantungkan pada melimpahnya jumlah populasi, tenaga kerja produktif dan murah, serta sumber- sumber kekayaan alam.

Pembentukan MEA mendorong pembukaan pasar bebas yang menghilangkan batas – batas antar negara melalui penghapusan tarif bea masuk dan menghapus pembatasan investasi asing hingga 100 persen diseluruh sektor ekonomi.

"Beberapa agenda liberalisasi dalam MEA adalah liberalisasi perdagangan barang, akan menghapus tarif bea masuk untuk seluruh jenis barang sehingga memudahkan masuknya barang impor baik berupa impor bahan baku maupun impor barang konsumsi. Liberalisasi jasa, akan mendorong pendominasian industri jasa asing seperti sektor keuangan, kesehatan, konstruksi, teknologi informasi dan lain-lain," kata Sukitman menambahkan.

Menurut Sukitman lagi, liberalisasi investasi akan memudahkan pergerakan modal asing yang dimungkinkan kepemilikanya hingga 100 persen. Liberalisasi tenaga kerja akan mendorong terjadinya pergerakan tenaga kerja asing yang memiliki keahlian khusus. Kedepan bila tidak ada kebijakan yang berpihak kepada tenaga kerja Indonesia, maka tenaga kerja Indonesia akan kalah bersaing dengan tenaga kerja-tenaga kerja Asean yang masuk ke Indonesia dan sudah melakukan persiapan untuk menghadapi pasar bebas tenaga kerja tersebut.

"Bahwa investasi modal asing masuk ke Indonesia sebagai keniscayaan dari liberalisasi ekonomi harus disikapi dengan bijaksana dengan tidak mengorbankan kedaulatan negara dan kepentingan masyarakat Indonesia," papar Sukitman. (Gatot Arifianto/Mahbib)