Jakarta, NU Online
Membahas mengenai statemen “Al Ulama Warotsatul Anbiya” Muhammad Zein Kepala Puslitbang LKKMO dalam Kajian Islam Nusantara Center (INC) melemparkan sebuah pertanyaan mengenai siapakah ulama Nusantara yang kira-kira merepresentasikan sosok Nabi?
“Pertanyaan tersebut cukup meresahkan,” kata Zein dalam diskusi INC yang digelar di rumah HAbdurrahman Mas’ud, Kepala Badan Litbang & Diklat Kemenag RI, Cipayung, Jakarta Timur (1/12).
Dari pertanyaan tersebut, ia menyambungkan lagi pada pertanyaan sejak kapan dalam diskursus keislaman terdapat larangan tertawa? Yang kemudian ia temukan sebuah jawaban dalam dua buku yang berjudul Humor in Early Islam dan Laughter in Islam.
Dalam buku tersebut ia menyebutkan terdapat beberapa sejarah humor dalam Islam. Pada masa Nabi, tertawa adalah sesuatu yang inheren, humor adalah bagian kontruksi sosial kehidupan sehari-hari dalam Islam.
“Bahkan kita pernah membaca Hadits, Nabi juga pernah tertawa sampai terlihat rahangnya, beliau tertawa lepas tapi tidak terbahak-bahak,” ungkapnya.
Kemudian, lanjutnya, mulai abad 20 muncul larangan-larangan untuk tertawa, yang mana bebarengan dengan munculnya suatu madzhab di Saudi. “Jangan-jangan di negara tertentu selalu terjadi ketegangan karena larangan tertawa ini,” prediksinya.
Ia melihat bahwa ulama NU, adalah ulama yang paling merepresentasi Nabi dari sisi humor. Tidak ada cerita yang paling kaya mengenai humor kecuali ulama NU. "Itu sebabnya apabila terjadi kerumitan dalam negara itu selalu clear, karena dihadapi dengan santai," jelasnya.
Dalam buku Laughter in Islam, Zein mengkisahkan bahwa dalam setiap abad ke abad selalu ditemukan tokoh-tokoh jenaka, katkanlah pada masa Harun Ar-Rasyid dengan Abu Nawasnya, di Turki ada Nasruddin, kalau di Jawa ada Mukidi dan lain sebagainya.
“Meskipun begitu, kalau tertawa jangan sampai terbuka sekali,” pesannya. (Nuri Farikhatin/Muiz)