Nasional

Seribu Satu Jalan Pemerintah dalam Pemberantasan Terorisme

Jum, 29 Maret 2019 | 07:30 WIB

Jakarta, NU Online

Pada prinsipnya tidak ada satu pemerintahpun yang berani menjamin bahwa tidak akan ada aksi terorisme di negaranya. Itu merupakan pesan penting dari aksi terorisme yang terjadi di Selandia Baru, sebuah negara yang mendaku sebagai salah satu negara teraman di dunia. Pemerintah lengah mengantisipasi adanya penembakan teroris dari kelompok sayap kanan pada komunitas beragama Islam saat shalat Jumat.

Hal yang sama juga bisa dikatakan bahwa tidak ada pula jaminan bahwa orang yang dideportasi dari negara perang tidak akan melakukan aksi teror saat kembali ke negaranya masing-masing. Faktanya, kejadian aksi terorisme di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara memiliki keterikatan atau benang merah yang kuat dan tak bisa diabaikan.

Hal itu disampaikan oleh Silvana Apitulay dari Kantor Staf Presiden saat seminar publik bertajuk; “Radikalisme dan Ekstremisme di Asia; Pengalaman, Analisis dan Strategi untuk Mencegahnya” yang digelar Organisasi Non-Pemerintahan INFID di Jakarta, Kamis (28/3).

Silvana Apitulay yang mewakili Moeldoko Kepala Kantor Staf Presiden memaparkan sejumlah upaya pemerintah untuk mengatasi masalah terorisme baik perumusan regulasi, dan maupun dalam bentuk program. Secara umum pencegahan terorisme ini dilakukan dalam berbagai bentuk, kata dia. Antara lain melahirkan regulasi dalam bentuk undang-undang baru atau memperbaharui yang lama yang dirasa perlu penyempurnaan seperti peraturan tentang pendanaan terorisme.

Hal lain yang dilakukan pemerintah seperti penguatan perbatasan. Hal ini penting dilakukan mengingat kawasan perbatasan kerap dijadikan ‘pintu belakang’ oleh kawanan teroris untuk keluar masuk menuju dan dari sebuah negara seperti geng Abu Sayyaf.

Namun di sisi yang lain pemerintah juga menyadari bahwa hal pemicu aksi intoleransi hingga radikalisme kekerasan tidak tunggal. Faktor kesejahteraan juga menjadi timbulnya ketidakpercayaan kepada pemerintah yang pada akhirnya mudah dibelokkan menjadi kebencian dan menjadi alasan melakukan gerakan di luar jalur hukum. Oleh karena itu, pemerintah juga membuat skema program peningkatan kesejahteraan bagi kelompok yang diindikasikan termasuk dalam daftar di atas.

Diskusi ini sendiri menghadirkan empat pembicara dari background yang berbeda. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pengalaman dan strategi yang berbeda untuk menanggulangi aksi radikalisme kekerasan yang berujung pada terorisme.

Ada empat dari lima pembicara yang hadir dalam acara tersebut, yakni: Franco Joseph Raymond Silva (RSIS-NTU) Singapura, Muhammad Amir Rana (Pak Institute for Peace Studies) Pakistan, Rafia Bhulai (Strong Cities Network) dan Yuyun Wahyuningrum dari Indonesia rep for AICHR dengan moderator Dina Zaman dari IMAN Research. (Ahmad Rozali)