Nasional

Siap Mental dan Spiritual, Dua Bekal Saat Terima Perjodohan

Jum, 20 Mei 2022 | 21:00 WIB

Siap Mental dan Spiritual, Dua Bekal Saat Terima Perjodohan

Pengasuh Pesantren Putri Al-Ihsan Lirboyo Kediri, Imas Fatimatuz Zahro (Ning Imas) dalam bincang santai. (Foto: Tangkapan layar YouTube NU Online)

Jakarta, NU Online
Pengasuh Pesantren Putri Al-Ihsan Lirboyo Kediri, Imas Fatimatuz Zahro, mengatakan bahwa perjalanan dalam pernikahan tidak semulus yang dikira kebanyakan khalayak. Setiap pasangan pasti akan menemui gelombang yang menghadang bahtera rumah tangga. Oleh karena itu, harus siap mental dan spiritual.


Pernyataan tersebut disampaikan Ning Imas saat wawancara yang dilakukan tim NU Online sebulan silam dan ditayangkan kembali di kanal YouTube NU Online dengan tema 5 Tips Saat Dijodohkan pada Kamis (19/05/2022) malam.


“Dalam hal menerima perjodohan, siap mental dan spiritual itu keniscayaan. Ketika di awal sudah mengiyakan, maka harus diupayakan sebaik mungkin. Akan tetapi, jika kita belum siap menerima perjodohan maka utarakan dengan cara yang baik. Karena orang tua pasti memahami,” tuturnya. 


Ning Imas juga mempertegas bahwa masalah hati dan ridha itu merupakan perkara lain dari jasad terpisah. Banyak orang yang menerima perjodohan, padahal hatinya dusta. Jadi, masalah penerimaan itu lebih berat dari yang terlihat.


“Ada yang sudah menjalani, tapi ternyata masih sedang berproses menerima kenyataan yang terjadi. Ini tidak apa-apa, karena itulah prosesnya,” imbuh putri KH A Kholiq Ridwan Abdurrozaq Lirboyo itu.


Setidaknya jika di awal semisal sudah ada 60% komitmen untuk menjalani bahtera rumah tangga, lanjut dia, itu sudah lebih baik daripada tidak ada sama sekali.


“Nabi pun ketika diminta keadilan untuk mencintai istrinya dengan setara dalam artian ‘urusan hati’ lantas berdoa yang artinya: ‘Ya Allah jangan kau siksa aku dengan perkara yang tidak aku miliki sedangkan Engkau memilikinya’,” tutur perempuan berusia 25 itu.


Karena, kata Ning Imas, urusan hati dan penerimaan berbeda dengan realita. Hati tidak bisa disetir, namun harus diupayakan secara berkala. Caranya supaya kita tidak terjebak dalam hubungan yang menyiksa diri sendiri.


“Yaitu dengan membuat batasan mana yang mampu kita terima dan mana yang tidak. Jadi, tangan yang satu untuk menolong orang lain. Sedang tangan lainnya untuk menolong diri sendiri,” pungkasnya.


Kontributor: A Rachmi Fauziah
Editor: Musthofa Asrori