Nasional

Sikap Politik NU Tak Lepas dari Argumentasi Fiqih

Sab, 10 November 2018 | 23:00 WIB

Jakarta, NU Online
Politik begitu dinamis mengikuti alur zaman dan kondisi lingkungan. Perjalanan NU sebagai sebuah institusi erat kaitannya dengan politik.

“Karena dari awal kelahirannya, kiprah NU itu tidak bisa dilepaskan dari politik,” kata Rumadi Ahmad, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dalam diskusi di Pondok Pesantren Al-Tsaqafah, Ciganjur, Jakarta Selatan, Sabtu (10/11).

Gemuruhnya yang selalu terdengar itu membuat politik begitu banyak diminati oleh para peneliti. Padahal, itu tu yang menarik bagi peneliti
Kalau orang melihat politik NU itu banyak orang yang melihat politik NU itu kelompok yang oportunis.

"Kalau NU dikatakan oportunis itu tidak sepenuhnya benar karena dalam fase sejarah tertentu, NU tidak selalu mau tunduk pada kemauan rezim," ujarnya.

Hal yang pasti, NU memiliki sudut pandang fiqih, katanya. Kacamata NU dalam melakukan pendekatan pada politik menggunakan fiqih.

"Yang penting cara fiqih bisa dilegitimasi diperbolehkan itu yang diambil oleh NU," ungkap dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta itu.

Hal ini berarti, lanjutnya, sejak zaman pra-kemerdekaan hingga saat ini, argumentasi sikap politik NU selalu dilandaskan pada argumen fiqih. "Misalnya tadi masa awal-awal kemerdekaan ada pencoretan tujuh kata Piagam Jakarta," terangnya.

Hal itu, menurut Rumadi, tidak sekadar berdasar argumentasi politik yang bernilai untung rugi, tidak juga berlandaskan keuntungan bagi NU, tapi berdasar argumentasi fiqih.

Pada saat itu, semua tokoh Islam mulanya mendukung Islam sebagai dasar negara. Tak terkecuali KH Abdul Wahid Hasyim dari NU. Namun, Kiai Wahid menemukan jembatan antara kelompok Islam ink dengan kelompok Nasionalis Sekuler yang dipimpin Bung Karno, yakni piagam Jakarta.

Ketika tujuh kata ini dicoret, cerita Rumadi, selain berdasar istikharah Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari, juga pandang fiqhiyah-nya. "Kalau mendirikan negara Islam itu tidak dicapai, maka jangan ditinggalkan semua," katanya.

Keluarnya NU dari Masyumi dan penerimaan asas tunggal Pancasila juga, menurut pengajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, tak lepas dari argumentasi fiqih. (Syakir NF/Abdullah Alawi)