Nasional

Simbol Keharmonisan, Kebun Milik Tokoh Muslim Bergandengan dengan Gereja di Moga Pemalang

Sen, 7 November 2022 | 08:45 WIB

Simbol Keharmonisan, Kebun Milik Tokoh Muslim Bergandengan dengan Gereja di Moga Pemalang

Gereja Kristen Jawa (GKJ) Moga, Pemalang, Jawa Tengah. (Foto: NU Online/Suci Amaliyah)

Pemalang, NU Online 

Jika perjalanan menuju Moga, Pemalang, Jawa Tengah akan nampak bangunan tua yang berusia 110 tahun dilengkapi ornamen-ornamen klasik. Bangunan gereja ini menjadi salah satu simbol keharmonisan umat beragama di kaki gunung slamet.


Gereja yang berdiri kokoh terletak disekitar pertigaan utama jalan raya Moga-Guci dan berada di deretan masjid dan mushola yang merupakan tempat ibadah mayoritas masyarakat di kota Pemalang.


Keberadaan Gereja yang berada di pusat kegiatan masyarakat Moga juga menjadi cermin kerukunan umat beragama. Bahkan, sampai saat ini masih melayani peribadatan dan acara sosial keagamaan penganut kepercayaan yang tersebar di Kecamatan Moga dan sekitarnya.


Ditemui NU Online di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Moga, Ahad (6/11/2022) Pendeta Trombin Naftaliyus menceritakan keharmonisan jemaat Kristen Protestan sudah terjalin lama bahkan sejak generasi pertama dengan warga Muslim setempat. Adapun pendekatan melalui ritual, kultural, dan spiritual.


“Cerita dari sesepuh dulu itu banyak dari pendeta pertama kami bersahabat baik dengan tokoh Muslim yang NU ini. Saking dekatnya, kebun milik tokoh NU ini bergandengan dengan bangunan gereja sehingga saat orang tengah beraktivitas di kebun akan terjalin komunikasi dengan jemaat gereja bahkan beliau mendirikan penginapan di dekat kebun untuk istirahat teman-teman Kristen,” kata Pendeta Trombin. 


“Dari situlah dialog terbentuk dengan baik. Sesepuh kita menjadi teladan sehingga kerukunan terjalin di kehidupan nyata saat berkebun tidak di ruang-ruang dialog yang tertutup,” lanjutnya.


Sampai hari ini, jemaat gereja Kristen Jawa ini masih menjalin dialog dengan berbagai tokoh NU, Muhammadiyah, Komunitas Merah Putih salah satu kegiatan rutin yang masih berjalan sampai saat ini yakni kunjungan siswa-siswi sekolah Islam ke Gereja.


“Baru-baru ini ada Pesantren di Warung Pring berkunjung ke Gereja mereka membuat proyek film toleransi untuk dilombakan tingkat provinsi padahal anak-anaknya baru pernah sekali ke Gereja ini. Tapi dari situ membangun mindset anak-anak Kristen untuk menjalin silaturahmi dengan beda agama,” bebernya.


Pasar Ramadhan di depan Gereja 

Diceritakan pendeta, di depan Gereja Kristen Jawa setiap bulan Ramadhan tampak ramai dengan pedagang yang menjual bernagai makanan di Pasar Ramadhan yang berlangsung setiap tahun. 


Pasar Ramadhan di gereja ini, dianggap sebagai cerminan dari kerukunan umat antar agama di Moga Pemalang. Setiap ramadhan puluhan pedagang berjejer di gereja melayani pembeli.


Hal ini menurutnya untuk menghormati muslim yang tengah menunaikan ibadah di bulan suci Ramadhan.


“Kalau di bulan puasa biasanya masyarakat membuat pasar Ramadhan karena gereja lokasinya di perempatan sehingga kami buka untuk umum. Kami menyediakan meja lampu dan sebagainya,” terangnya.


Melalui seni budaya rekatkan harmonisasi

Gereja Kristen Jawa menyadari pentingnya rasa kebhinekaan dan toleransi ditumbuhkan sejak dini pada generasi muda melalui kegiatan seni budaya salah satunya memanfaatkan alat musik tradisional seperti angklung, rebana dalam gelaran festival.


Kegiatan ini menjadi media bagi anak dan remaja Jemaat Gereja Kristen Jawa untuk mengapresiasikan kebudayaan lokal di wilayah Moga. Selain itu festival budaya ini untuk merekatkan persaudaraan lintas iman melalui pendekatan budaya.


“Kami sering diundang pentas ke acara-acara festival budaya dan menampilkan kesenian seperti angklung,” kata pengurus FKUB Kabupaten Pemalang itu.


Sejarah GKJ Moga

Gereja Kristen Jawa (GKJ) menjadi bangunan cagar budaya karena menjadi salah satu gereja tertua di Pemalang. Hal ini tak terlepas dari sejarah berdirinya Geraja tersebut yang mulanya merupakan hasil penginjilan yang dilakukan oleh Salatiga Zending, sebuah lemabag Jerman yang berpusat di Salatiga.


Berdasarkan catatan sejarah, didirkannya perusahaan perkubunan teh Semugih pada tahun 1902 oleh seseorang pengusaha bernama Louis Matrjis De Qriot menarik minat penyebar zending untuk melayani orang-orang perkebunan.


Pada awalnya, Pendeta Stevens Philips dan Kiai Sadrach menyebarkan zending di Pulosari, Kandanggotong dan Batursari pada tahun 1907, Bruder F Schlipkoter yang berkebangsaan Jerman ditempatkan di Kecamatan Pulosari dan membawahi zending di dua kecamatan yaitu Kecamatan Pulosari, atas permintaan jemaat sebelumnya kepada Salatiga Zending.


Bruder F Schlipkoter mengajar 35 anak Kristen dan dibantu seorang asisten bernama Kartowidjojo. 


Membangun sekolah dan rumah sakit 

Bruder F Schlipkoter mampu membangun sebuah sekolah kecil dan rumah sakit. Dua bentuk pelayaan ini secara konvensioanal merupakan sarana untuk Pekabaran Injil pada tahun 1909, Bruder Bauszat yang meneruskan pelayanan kepada jemaat. Namun, perkembang jemaat di Kecamatan Moga tidak mengalami peningkatan karena masalah mendapat tantangan dari para haji dan santri di wilayah tersebut.


Sekolah dan rumah sakit yang didirikan untuk para pekerja perkebunan dan keluarganya terus memberikan pelayanannya hingga ditutup karena adanya Agresi Militer Belanda (Clash) ke-II.


Kedua pelayanan yang dilakukan sebagai bentuk pekabaran injil itu pula yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya gereja.


Menjadi simbol harmoni

Setelah lebih dari seadab keberadaan tempat peribadatan penganut Kristen di wilayah yang notabene mayoritas beragama Islam, GKJ Moga menjadi faktual toleransi beragama di wilayah kecamatan Moga dan sekitarnya.


Meskipun pada tahun-tahun awal penyebaran Kristen di wilayah ini mendapat tantangan pemuka agama Islam tetapi hingga saat ini tidak pernah ada letupan atau konflik keagamaan.


“Semoga harmoni yang terpelihara sekian lama di Kota kecil Moga bisa menjadi role model bahwa perbedaan agama dan keyakinan tidak dapat dihindari namun hal itu tidak bias dijadikan alasan untuk terciptanya toleransi kehidupan beragama,” pungkasnya.


Penulis: Suci Amaliyah

Editor: Fathoni Ahmad

 

====================

Liputan ini hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI