Nasional SEMINAR INTERNASIONAL

Soal Tragedi Timteng, Kiai Hasyim: Indonesia Harus Tutup Potensi Konflik

Jum, 11 Maret 2016 | 07:01 WIB

Soal Tragedi Timteng, Kiai Hasyim: Indonesia Harus Tutup Potensi Konflik

KH Hasyim Muzadi (kedua dari kiri)

Jakarta, NU Online
Tragedi kemanusiaan yang seakan tiada henti di negara-negara Arab dan Timur Tengah, mengharuskan bangsa Indonesia untuk mampu menutup setiap potensi konflik. Hal ini dilakukan, karena perang dan konflik yang terjadi di Timur Tengah selalu menghembuskan isu-isu tertentu seperti sektarianisme.

Poin ini disampaikan oleh Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) KH Hasyim Muzadi yang hadir sebagai narasumber dalam Seminar Internasional bertajuk ‘Peran Ulama dalam Meredam Krisis Politik dan Ideologi di Timur Tengah’, Kamis (10/3) di Gedung Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat.

Kiai Hasyim bercerita ketika dia membaca buku ‘Clash of Civilization’ yang menurutnya sebetulnya isinya adalah ‘Clash of Interest’, lalu dirinya membayangkan adanya ‘War of Perception’ atau Ghazwatul Fikr wa Ghazwatul Madaniyah. Tak tahu bagaimana, tuturnya, 3 tahun kemudian terjadi serangan al-Qaeda.

Saat dirinya diundang dalam kegiatan Muslim Council di New York, AS yang digawangi Ali Syamsi saat itu, al-Qaeda masih menjadi polemik. Lalu Pengasuh Pesantren Al-Hikam ini menceritakan, kenapa pesawat yang menyerang iyu tidak ada jendelanya, mengapa gedung WTC robohnya ke bawah, bukan di samping, dan mengapa orang-orang Yahudi saat itu tidak ada yang masuk kerja.

“Tahun 2006, saya bertemu dengan Hasan Nasrullah, salah satu pemimpin yang sulit ditemui. Pertemuan ini atas kehendaknya. Lalu dia bercerita ke saya bahwa jangan percaya kalau Al-Qaeda musuhnya Amerika. Sampai sekarang pun, masih menjadi mainan Amerika,” ungkapnya.

Tahun 2001, ceritanya, terbukti yang diserang itu Irak, bukan Al-Qaeda yang ada di Afganistan. Karena dulu George Bush senior gagal menumbangkan Saddam Hussein sehingga perlu dilanjutkan oleh juniornya. “Berita yang sampai ke saya, yang membiayai perang tersebut adalah Saudi dan Kuwait sehingga mereka untung segala-galanya. Untung perang, untung jual senjata, dan sebagainya,” papar Hasyim.

Akhirnya, karena itu dianggap terlalu mahal, sebab mengeluarkan biaya 1 hari hingga 1 miliar dollar, maka diubahlah dengan war of perception dengan isu HAM dan demokrasi untuk daerah-daerah yang diktator. Setelah terjadi pemberontakan, penyelesaiannya oleh mereka, seperti yang terjadi di Libya, Tunisia, dan lain-lain. “War of Perception ini merupakan muqaddimah dari finisihing penguasaan negara itu,” jelasnya.

Potensi konflik di lokal maupun nasional akan dieksploitasi 

Jadi, menurut Hasyim, permasalahan-permasalahn lokal apa yang bisa mereka eksploitasi, akan dieksploitasi. Seperti yang terjadi di Saudi saat ini yang defisit 20 persen, lalu dihemabuskannya isu demokrasi di dalam keluarga. “Bukan masalah Suni, Syiah, diktator atau kemiskinan, tetapi kelemahan tersebut akan dieksploitasi sesuai dengan kondisi lokal dan nasional masing-masing,” paparnya.

“Kalau yang bisa dibakar sunni-syiah, ya sunni-syiah, kalau yang bisa dibakar diktatornya, ya diktatornya. Maka saya sangat setuju kalau umat Islam, termasuk Indonesia harus menutup lubang-lubang ini yang berpotensi bisa dieksploitasi untuk memukul balik umat Rasulullah SAW,” imbuh Hasyim.

Hasyim menjelaskan, terbukti yang terjadi saat ini adalah berbagai perang persepsi dihembuskan di Indonesia seperti keyakinan agama, HAM, demokrasi, keadilan, politik, ekonomi, tradisi, budaya, dan lain-lain. Terbukti ada pembakaran rumah-rumah ibadah baru-baru ini yang terjadi di berbagai tempat.

Atas potensi-potensi konflik ini, menurut Hasyim, Indonesia perlu penguatan pemikiran wasathiyah, penguatan moderasi pemikiran Islam ala Indonesia yang orisinil. “Jadi moderasi, bukan liberalisasi, juga bukan ekstrimisasi. Ini adalah pemikiran Islam yang aplikasinya mengisi sistem yang ada sehingga tercipta negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur,” ujar Pendiri ICIS ini. (Fathoni)