Nasional PENGAJIAN GUS BAHA

Soal Zakat Fitrah Menggunakan Uang, Begini Penjelasan Gus Baha

Jum, 29 April 2022 | 13:30 WIB

Soal Zakat Fitrah Menggunakan Uang, Begini Penjelasan Gus Baha

Rais Syuriyah PBNU KH Bahaudin Nursalim (Gus Baha). (Foto: tangkapan layar)

Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Bahaudin (Gus Baha) Nursalim menjelaskan, zakat fitrah boleh menggunakan uang asalkan setara dengan takaran yang telah ditentukan, satu sha’ atau empat mud.

 

Hal itu merujuk pada beberapa kitab fiqih, di antaranya I’anah ath-Thalibin Syarh Fathul Mu’in dan Tarsyihul Mustafidin. Meskipun menurut Gus Baha ada penjelasan-penjelasan dari kitab Fathul Mu’in yang kurang relevan di Indonesia. Misalnya soal zakat.

 

“Zakat itu harus berupa beras, tapi Abu Hanifah membolehkan pake dinar. Itu kalau Syarah relatif stabil karena dia fleksibel mengikuti perubahan zaman.” katanya, dalam salah satu tayangan Youtube dilihat NU Online, Jumat (29/4/22).

 

Alasannya, pemberian uang ditekankan karena orang lebih membutuhkan uang untuk berbelanja daripada beras yang umumnya mereka sudah punya.

 

“Syarah itu justru menyebutkan, uang lebih bermanfaat bagi orang-orang. Sekarang orang kalau mau kasih beras, terus yang untuk belanja mana? Inginnya belanja kok dikasih beras,” ujar Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidz Al-Qur’an LP3IA Narukan, Rembang itu.

 

Gus Baha menceritakan pengalamannya berzakat ketika di perantauan, dirinya mengaku bahwa selalu menambahkan jumlah beras yang hendak ia berikan ke mustahiq. Misalnya 2,5 kg menjadi 3 kg bahkan seringkali dilebihkan menjadi 5 kg beras.

 

“Saya zakat selalu 3 kg, tidak pernah 2,5 kg. Karena 2,5 kg itu pas-pasan. Makanya saya zakat pertama itu 3 kg, sekarang 5 kg,” ucapnya.

 

Ia tak menampik bahwa bagi mazhab Syafi’i, zakat fitrah yang dikeluarkan harus berupa beras. Namun, menurut mazhab Hanafi dari Abu Hanifah, zakat diperbolehkan menggunakan dinar atau uang.

 

Korversi zakat fitrah dari beras menjadi uang, menurutnya bukan tidak menghargai fatwa Imam Syafi’i, melainkan pada saat ini kenyataannya orang-orang lebih membutuhkan uang untuk berbelanja, daripada beras.

 

“Jadi, saya tetap manut kepada Imam Syafi’i tapi realistis. Karena kebanyakan orang lebih membutuhkan uang,” jelasnya.

 

Dahulukan kerabat dekat
Diceritakan pula bahwa dirinya seringkali ditanya bagaimana cara penyaluran zakat yang benar, lebih baik diberikan kepada panitia masjid atau diberikan sendiri.

 

Jawabannya, kata Gus Baha, jika niat muzaki bercampur dengan curiga terhadap panitia masjid, maka zakat sebaiknya diberikan kepada masjid. “Kalau kamu dengki ingin mengomentari panitia masjid, saya jawab, mending kamu berikan masjid biar sifat dengkimu itu kamu lawan sendiri,” jelasnya.

 

Sebaliknya, sambung dia, jika pertanyaan itu objektif sesungguhnya menentukan siapa yang akan menerima zakat fitrah itu lebih mudah, yakni dahulukan kerabat dekat.

 

“Aturan Al-Qur’an sudah jelas dahulukan orang yang punya unsur kerabat. Misalnya keponakan yang memang tidak wajib saya tanggung seperti istri/anak,” terang ulama ahli tafsir Al-Qur’an dan Hadits asal Rembang itu.

 

Sebagai informasi, polemik berzakat menggunakan uang sudah banyak dibahas oleh sejumlah kalangan, termasuk  Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU).

 

Dalam keputusannya, argumentasi atas kebolehan pelaksanaan kewajiban zakat fitrah dengan uang sebesar nominal harga beras 2,7 kg/2,5 kg dibangun atas pertimbangan sebagai berikut:

 

Pertama, sebagian ulama menilai tujuan di balik kewajiban zakat sebagai hikmah saja yang tidak mengandung muatan hukum.

 

Meski demikian, sebagian ulama lain yang membolehkan konversi zakat fitrah dari serealia ke bentuk uang menilai hadits Rasulullah saw yang menjelaskan tentang tujuan di balik diberlakukannya kewajiban zakat fitrah, yakni agar pada hari itu para penerima zakat dapat menikmati hidup selayaknya orang yang mampu.

 

Kedua, sebagian ulama lain (lagi) membolehkannya selama tidak menghasilkan formulasi hukum yang bertentangan dengan ijma’.

 

Apabila bertentangan dengan ijma’, maka perpaduan mazhab dilarang seperti perkawinan tanpa mas kawin, tanpa wali, dan tanpa saksi. Sungguh perpaduan semacam itu tidak diperbolehkan oleh seorang pun dari kalangan ulama.

 

Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Aiz Luthfi