Nasional

Suluk Maleman: Menjaga Rahman Rahim Jelang Tahun Politik

Sen, 19 Juni 2023 | 20:00 WIB

Suluk Maleman: Menjaga Rahman Rahim Jelang Tahun Politik

Anis Sholeh Ba’asyin, Dr. Abdul Jalil, Muhammad Aniq dan Ki Ageng Qithmir dalam Ngaji NgAllah Suluk Maleman ‘Berlabuh Ke Kasih Sayang’ yang digelar Sabtu (17/6) kemarin. (Foto: Dok. Istimewa)

Jakarta, NU Online

Datangnya tahun politik dinilai penting untuk disikapi dengan menjaga sikap rahman dan rahim. Sifat kasih sayang itu perlu dikuatkan agar tak mudah dibentur-benturkan hingga memunculkan perpecahan.


Anis Sholeh Ba’asyin saat Suluk Maleman pada Sabtu (17/6/2023) menyebut, Asmaul Husna merupakan nama-nama sifat Allah yang juga dititipkan ke diri manusia untuk mengelola bumi. Sementara inti atau pusat Asmaul Husna tersebut dikatakannya ada pada sifat Rahman dan Rahim.


Hanya saja, lanjut Anis, selama ini banyak yang menyamakan sifat Rahman-Rahim dengan sifat lembut, dan bahkan dengan sikap lembek. Sehingga bukan hanya banyak yang salah dalam melakukan penilaian, tapi juga salah dalam aplikasinya.


“Bisa dikatakan yang menjadi konduktor dalam orkestrasi Asmaul Husna adalah sifat Rahman dan Rahim. Kita boleh marah namun harus karena kasih sayang. Boleh berkuasa tapi harus dilandasai kasih sayang. Bukan asal marah ataupun berkuasa,” ujarnya.


Hanya saja, saat ini justru banyak yang kehilangan sifat Rahman dan Rahim. Terlebih jika tekadnya tidak kuat, sehingga mudah dikendalikan oleh kebencian.


“Apalagi mendekati tahun politik 2024 ini pasti banyak yang berebut simpati publik. Dan tak jarang dengan cara menyebarkan kebencian kepada pihak lain. Bila tak punya benteng Rahman Rahim yang kuat, kita pasti akan mudah dikendalikan oleh kecurigaan, sangka buruk dan kebencian,” terangnya.


Dia pun lantas memberi contoh dari khasanah sejarah Wali Songo, di mana banyak perbedaan yang cukup tajam di antara mereka, tapi tak membuat mereka saling menafikan satu dengan yang lain. Bahkan dengan Syekh Siti Jenar yang perbedaannya cukup substantif, tentang model model kerajaan yang harus dipilih pasca Majapahit, pun mereka tak lantas bermusuhan.


“Karena mayoritas setuju meneruskan model kerajaan Majapahit, maka Syekh Siti Jenar lantas memilih jalan gerakan rakyat, membuat simpul gerakan akar rumput di banyak wilayah. Dan keduanya berjalan beriringan, tanpa saling menghancurkan satu dengan yang lain,” jelas Anis.


Anis juga berkisah tentang Allahyarham KH. Abdullah Salam, Kajen-Pati, yang dalam hidupnya selalu meletakkan kepentingan diri dan kelompok di tempat paling bawah.


“Mbah Dullah Salam dulu bahkan legawa pengajian yang biasa diisinya, dan punya banyak jamaah, digantikan oleh orang lain. Karena tujuan utama beliau adalah meramaikan masjid. Maka siapa pun pengisi dan pengelolanya tak jadi masalah asalkan masjidnya tetap ramai. Tapi bagaimana jika itu terjadi sekarang ini?” tanya Anis.


Sementara Dr Abdul Jalil menambahkan, asas kehidupan menurutnya ada pada dua sifat yang ada dalam ayat kursi. Yakni Hayyu dan Qayyum, atau hidup dan tegak. Untuk bisa ke inti asmaul husna, dikatakannya perlu dimulai dengan bagaimana bisa hidup dan stabil atau tegak.


“Kehidupan dan stabilitas yang akan menjadi landasan biar kasih sayang bisa masuk,” tambahnya.


Stabil atau keseimbangan menjadi penting. Bahkan munculnya kebaikan dan keburukan juga bagian dari keseimbangan kehidupan. Tak ada yang disebut kebaikan jika tidak ada keburukan. Kalau semua baik tentu menjadi aneh begitu pula jika semua buruk tentu akan menjadi kacau.


“Jadi sebenarnya cukup senyum-senyum saja melihat dunia ini. Lampu bisa menyala juga karena ada unsur plus dan minus.justru saat disatukan dengan penghubung yang benar, energi itu bisa hidup dan kehidupan menjadi stabil. Bahkan uniknya, meski Sunan Kudus dikenal sebagai panglima perang, namun keris unggulannya justru keris Cintoko yang melambangkan kasih sayang,” tambahnya. 


Sementara Muhammad Aniq menambahkan bahwa ada pendapat yang menyebut intisari kalimat basmalah bisa dilihat dengan pendekatan huruf ba. Sedangkan jika dilihat, huruf ba bisa diartikan asal muasal munculnya realitas. 


“Sebelum munculnya realitas, ada esensi-esensi. Diantaranya Hayyu dan Qoyyum. Mesti urip, nguripno, dan ngurip-nguripi (hidup, menghidupkan dan menghidup-hidupi). Kalau sudah hidup maka tentu harus tegak,” tambahnya.


Ngaji NgAllah Suluk Maleman edisi ke 138 yang digelar di Rumah Adab Indonesia Mulia malam itu terasa spesial. Kecuali Sampak GusUran, malam itu juga ada penampilan khusus dari Ki Ageng Qithmir yang menyajikan beberapa komposisi lagu yang bukan hanya indah, tapi juga mewakili semangat kontinuitas budaya yang kental.


Editor: Muhammad Faizin