Nasional

Suluk Maleman: Peradaban Sungsang, Membingungkan Sekaligus Membahayakan

Ahad, 21 Mei 2023 | 17:00 WIB

Suluk Maleman: Peradaban Sungsang, Membingungkan Sekaligus Membahayakan

Anis Sholeh Ba’asyin dan Sampak GusUran dalam Ngaji NgAllah Suluk Maleman ‘SangSungSang yang digelar Sabtu (20/5/2023) kemarin. (Foto: istimewa)

Pati, NU Online

Suluk Maleman membedah kondisi peradaban yang dalam banyak hal terbolik-balik, tak sesuai semestinya. Terlebih dengan keberadaan media sosial dan hoaks yang semakin tak terkendali, sangat berpengaruh dalam mengubah pola pikir dan tindakan manusia.


Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman, menyebut, kehadiran Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan bak pisau bermata dua sehingga akan sangat berbahaya jika dipegang oleh orang yang tak bertanggung jawab. Keberadaannya potensial mengacaukan peradaban.


“Contoh saja jika wajah presiden diedit dengan AI menjadi video dengan narasi yang kacau, tentu orang akan sulit mengetahui itu benar atau tidak. Padahal peradaban yang serba sungsang ini potensial melahirkan orang-orang tak bertanggung jawab semacam itu,” terangnya pada Suluk Maleman di Pati, Sabtu (20/5/2023) malam.


Hal semacam itu, tentunya menjadikan masyarakat akan semakin kebingungan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang hoaks. Informasi tak akan lagi punya makna dan hanya menjadi sampah yang membingungkan.


Teknologi sendiri tak selamanya berdampak positif, demikian lanjut Anis. Karena kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh teknologi justru kerap membuat kita manja dan sangat tergantung padanya. Hal itu tentu akan menjadi masalah bila teknologi itu hilang, karena adaptasi kita terhadap alam sudah sangat berkurang.


“Bayangkan saja jika suatu saat kita mengalami blackout, di mana karena satu dan lain hal listrik tak lagi tersedia. Bukan hanya internet dan semua kemudahan teknologi yang akan hilang, tapi semua kenyamanan hidup yang lahir dari keberadaan listrik pun akan sirna. Pasti akan terjadi kepanikan dan kegagapan luar biasa, karena selama ini teknologi menjadi penopang penting budaya masyarakat modern. Sedangkan untuk mengulang pola masa lalu sulit dilakukan, karena kita sudah meninggalkan dan lupa dengan tradisi leluhur,” tambahnya.


Namun, teknologi juga sangat membuka kemungkinan bagi manusia untuk semakin terpisah dari lingkungan sosialnya. Kewaspadaan dalam menjaga hati menjadi bagian penting dalam menghadapi perkembangan zaman seperti sekarang ini.


“Tak sedikit kasus anak-anak yang kehilangan etikanya gara-gara terlalu sering bermain gawai. Barangkali hilangnya kesadaran sosial itu pula yang membuat guru takut menegur para siswa. Tak sedikit orang yang menjadi tertutup, dan semakin sulit berhubungan dengan yang di luar dirinya, hanya gara-gara gawai,” tambahnya.


Selalu memperbarui kesaksian bahwa Allah-lah sejatinya pengasuh, pembimbing, dan pendidik kita, bukan hanya akan menjadi benteng yang menyelamatkan, tapi juga akan menjadi jalan bagi kita untuk melewati dan kemudian mengatasi tantangan-tangan yang muncul dari kekacauan peradaban. Sehingga kita bukan hanya terbebas dari kungkungan zaman, namun bisa secara kreatif menciptakan alternatif-alternatif perbaikannya.


“Saat ruh ditiupkan ke janin, kita telah diambil sumpah. Menariknya, kita menjawab dengan istilah bersaksi. Sedangkan kesaksian hanya akan muncul dari kesadaran yang menyaksikan secara langsung. Jadi pada dasarnya, kita sudah pernah menyaksikan secara langsung kepengasuhan Allah pada kita. Dunia ini yang melalaikan kita dari hal tersebut,” demikian tambah Anis.


Sementara itu, Bambang Mursito, salah seorang akademisi yang turut hadir malam itu mengatakan, kecerdasan harus dibangun secara seimbang baik intelektual, emosional dan spiritual. “Namun sekarang ini sulit ditemukan. Kita hanya diasah untuk logika. Kalau seperti itu yang terjadi pasti mengarah ke tindak kejahatan,”tambahnya.


Dia juga mengingatkan tuntunan Jawa yang belajar dari air. Dimana air menjadi sumber dari segala kehidupan. Samudra sendiri tidak ingin menjadi kotor lantaran segala kotorannya telah dibuang ke tepi.


“Sifat air sungai meskipun berbelak belok dan mendapat hambatan tapi selalu sampai tujuan. Ini yang penting,” tambahnya.


Suasana ngaji budaya edisi ke 137 itu semakin meriah dengan iringan musik Sampak GusUran yang menghadirkan Suluk Sungsang dan menjadi tema Suluk Maleman saat itu. Lagu yang direkam kali pertama tahun 2008 lalu itu masih terasa relevan di saat ini. Sungsang sendiri berarti sesuatu yang terbalik. Sering dipakai dalam kaitan kehamilan dan kelahiran bayi, yaitu posisi kaki berada di bawah dan kepala di atas; atau bisa juga posisinya menyilang. Posisi sungsang semacam ini acap membutuhkan tindakan operasi, karena kelahiran alamiah agak sulit berlangsung. 


Editor: Syakir NF