Nasional

Tak Hanya Sibuk Dzikir, Sufi Juga Jadi Penggerak Masyarakat

NU Online  ·  Kamis, 11 April 2019 | 05:00 WIB

Pekalongan, NU Online
Para Wali Songo merupakan orang-orang sufi yang melakukan pergerakan sosial di tengah masyarakat di sekitarnya. Bukan hanya dakwah mengajak mereka untuk memeluk agama Islam, tetapi juga menumbuhkan potensi mereka di berbagai sektor.

Budaya, misalnya, yang tidak mereka tinggalkan sebagai sebuah warisan leluhur masyarakat Nusantara. Meski datang dari Jazirah Arab, para wali ngajawi, melebur diri dalam kenusantaraan. Bahkan, budaya menjadi instrumen dalam menyampaikan dakwah bil hikmah dan mauidzah hasanah. Lebih dari itu, Wali Songo juga memainkan peranan politiknya semisal dengan membangun kerajaan.

Hal terakhir ini, Ahmad Baso, intelektual muda NU, mengungkapkan bahwa politik yang diperankan Wali Songo adalah politik maslahah.

"Politik maslahah yang menciptakan cita-cita bangsa yang ideal, masyarakat sejahtera, adil, dan makmur," katanya kepada NU Online di Hotel Santika, Pekalongan, pada Selasa (9/4) malam.

Di samping itu, sektor ekonomi juga tak lepas dari tangan dingin mereka. Upaya meningkatkan ekonomi masyarakat dilakukan oleh Wali Songo dengan memfasilitasi para pedagang. "Memfasilitasi pedagang-pedagang, ekonomi tumbuh," ujarnya.

Oleh karena itu, alumnus Pondok Pesantren An-Nahdlah, Makassar, Sulawesi Selatan itu menegaskan bahwa sufi tidak hanya berdzikir, melainkan aktif melakukan pergerakan sosial. "Itu tugas para wali, bukan cuma dzikir-dzikir," katanya.

Baso tidak sepakat dengan pandangan yang menyebut sufi sebagai orang yang seakan melepaskan diri dari urusan dunia dengan hanya memfokuskan diri dengan khalwat, menyendiri, menyepi dari ingar-bingar persoalan. "Itu pandangan orientalis itu," katanya.

Para Wali Songo terbukti tidak hanya berdzikir saja, melainkan melakukan interaksi dengan masyarakat untuk memberi sentuhan perubahan ke arah positif bagi mereka. Hal demikian menurut Syekh Naji al-Arabi, yang juga hadir di Pekalongan, wajib dilakukan.

"Sufi sempurna bila berinteraksi dengan orang lain, sebagaimana Nabi sabar berinteraksi dengan mereka secara baik," ujar ulama sufi asal Bahrain itu.

Hal serupa diungkapkan oleh ulama asal Suriah, Syekh Abdul Aziz al-Khatib. Ia menegaskan, sufi harus mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih baik. "Sufi mementingkan dirinya sendiri perlu keluar memperbaiki masyarakat," tuturnya.

Senada dengan kedua ulama ini, Syekh Khalid asal Burkina Faso mengatakan bahwa selain keteladanan, faktor penerimaan terhadap Islam adalah interaksi para sufi dengan masyarakat setempat, meskipun orang-orang di sekitarnya belum memeluk Islam. Mereka, lanjutnya, tidak membedakan individu-individu masyarakat meskipun berbeda keyakinan.

"Orang tasawuf berinteraksi dengan masyarakat setempat sekalipun orang Afrika dan Asia masih mengikuti agama mereka," ungkapnya.

Islam Nusantara sebagai Pengingat

Oleh karena itu, Baso mengungkapkan bahwa pemunculan Islam Nusantara sebagai suatu diskursus sangat penting guna mengingatkan kembali masyarakat bahwa para sufi yang datang ke Nusantara merupakan orang Arab yang ber-Nusantara, ngajawi. Lalu, laku ngajawi-nya itu disebarkan ke dunia Islam.

"Kenapa ada Islam Nusantara? Supaya kita ingat kembali peranan para wali sebagai imam itu harus ditunjukkan," ujar penulis buku-buku bertema Islam Nusantara itu.

Hal ini, katanya, harus dilanjutkan oleh generasi ulama masa kini. "Contohnya sudah ada, tinggal kita melanjutkan," pungkasnya. (Syakir NF/Muhammad Faizin)