Lima belas abad yang lalu, Nabi Muhammad berhijrah. Setelah duka demi duka menghampiri. Tak cukup kehilangan pamanya Abu Tholib yang senantiasa membela jalan dakwah Nabi. Baginda Muhammad juga harus kehilangan istri tercintanya, sosok perempuan yang berpengaruh dalam kehidupan Nabi.
Selain sebagai orang pertama yang meyakini kenabian Nabi, Khodijah yang masyhur sebagai pedagang sukses adalah seorang donatur dakwah Nabi. Tentu sebagai manusia pada umumnya psikis Nabi begitu terpukul saat ditinggalkan kedua orang yang beliau cintai.
Kesedihan tidak boleh berlarut-larut. Setelah memahami bahwa tanah Makkah tak cukup menjanjikan dalam mengembangkan agama Islam, Nabi memutuskan berhijrah menuju kota Yastrib yang kemudian kita kenal sebagai kota Madinah. Di Yastrib inilah peradaban dibangun. Islam didakwahkan dengan kasih sayang dan ilmu pengetahuan. Menjadikan kota Yastrib sebagai kota pluralis (beragam agama dan keyakinan hidup berdampingan) dengan segala kemajuan pengetahuan dan peradabanya.
Secara literal hijrah berasal dari kata hajara yang bermakna berpindah secara fisik. Namun jumhur ulama' memaknai secara terminologis bahwa hijrah bukan hanya perpindahan secara fisik semata. Semisal ulama' Al-Isfihani memaknai hijrah adalah perubahan baik secara fisik maupun batin dari suasana/kondisi buruk pada kondisi yang aman dan damai. Kondisi aman dan damai baik secara fisik maupun kondisi kebatinan. Salah satunya kedamaian dalam hati, yakni keimanan.
Dewasa kini, makna hijrah disalah pahami oleh sebagian Muslim. Hijrah lebih dikonotasikan dengan taubat. Dan kecenderungan perubahan fashion seperti memakai gamis, bercelana cingkrang, menumbuhkan jenggot, cadar dan simbol keagamaan lainnya sebagai representasi wujud ketakwaan kekinian. Sedang aspek keberagaman dan perbedaan tidak mereka hiraukan.
Idealnya kontekstualisasi praktik berhijrah ala generasi milenial dengan cara tidak gagap memahami perbedaan. Menciptakan kerukunan dan persaudaraan sesama anak bangsa meski berbeda pandangan politik bahkan keyakinan sekalipun. Memanfaatkan media sosial sebagai alat silaturahmi menebar perdamaian dan tukar gagasan. Bukan sebagai alat caci-maki, saling hujat serta menebar kebencian.
Mari dalam momentum tahun baru Islam 1440 H. Sebagai umat muslim kita saling meminta maaf dan memaafkan sesama. Melapangka dada, sikapi segala hiruk-pikuk perbedaan pandangan (politik, keyakinan) sebagai rahmat. Jangan dipertentangkan apalagi dibentur-benturkan. Demi mewujudkan Indonesia laksana tanah Madinah yang menghargai perbedaan, sejahtera dengan ilmu penegetahuan dan kemaslahatan peradaban. Tabik.
Rouf Hanif, pendidik di MTs Mathla'ul Anwar; Pengurus GP Ansor Gisting, Tanggamus, Lampung