Nasional

Tentukan Idul Fitri, NU Gunakan Rukyat dengan Perhitungan Ilmu Falak

Ahad, 16 April 2023 | 10:00 WIB

Tentukan Idul Fitri, NU Gunakan Rukyat dengan Perhitungan Ilmu Falak

Dalam menentukan awal bulan Hijriah, NU menggunakan rukyatul hilal namun tetap mendasari observasi dengan perhitungan ilmu falak. (Foto: Ilustrasi/NU Online)

Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama dalam menentukan awal bulan Hijriah, termasuk awal Ramadhan dan Idul Fitri menggunakan rukyatul hilal. Hal demikian ini didasarkan pada Keputusan Muktamar Ke-30 NU tahun 1999 di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri (Jawa Timur) dengan Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah hukum.


Meskipun menggunakan rukyat, NU tetap mendasari observasinya ini dengan perhitungan ilmu falak. Setidaknya, ada tiga alasan yang melatari hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Informasi Hilal Awal Ramadhan 1444 H. 

 

Pertama,sebagian ulama berpendapat bahwa hasil penghitungan ilmu falak dapat digunakan bagi dirinya dan orang lain yang mempercayainya. Sebab, Imam Abdul Hamid dalam al–Syarwani menyebutkan bahwa keadaan hilal di atas ufuk menurut hasib dikategorikan ke dalam tiga situasi, yakni (1) hilal dipastikan telah berada di atas ufuk dan tidak mungkin dilihat,(2) hilal dipastikan di atas ufuk dan dipastikan dapat dilihat, dan (3) hilal dipastikan di atas ufuk dan mungkin dilihat. Menurut al–Syarwani seorang hasib hanya boleh mengamalkan ilmunya ketika hasil penghitungannya menunjukkan bahwa hilal dipastikan telah berada di atas ufuk dan dipastikan dapat dilihat.


Perhitungan ilmu falak dapat digunakan untuk menafikan rukyah hilal. Mengutip al–Subki, dijelaskan dalam Informasi Hilal Awal Ramadhan 1444 H, bahwa jika ada orang yang bersaksi telah melihat hilal, sedangkan perhitungan ilmu falak menunjukkan bahwa hilal tidak mungkin terlihat, maka kesaksiannya ditolak dengan syarat premis–premis falak yang digunakan bersifat qath’iy dan ahli falak bersepakat bahwa hilal tidak mungkin dirukyah.


Pendapat yang sama disampaikan Ibnu Hajar al–Haytami dengan tambahan persyaratan yaitu, hasib yang menginformasikan hal tersebut mencapai bilangan mutawatir. Mengutip Abu Bakar bin Ahmad al–Hadlrami, mutawatir ini disyaratkan atas keberadaan lima ahli falak atau lima kitab ahli falak. Dengan perkataan lain, lanjut penjelasan tersebut, jika lima metode falak sepakat atas ketidakmungkinan rukyah hilal, maka dapat menjadi acuan dalam menafikan kesaksian rukyah hilal. 


Ketiga, ilmu falak dapat digunakan untuk menafikan ikmāl, bulan digenapkan menjadi 30 hari. Hal ini didasarkan pada pandangan Imam Qosim al–Abbadi, bahwa jika ada kepastian hilal dapat dirukyah setelah matahari terbenam, tetapi tidak seorangpun menyaksikan hilal, maka awal bulan dapat ditentukan berdasarkan kepastian tersebut.


Pendapat senada juga, dalam Informasi Hilal Ramadhan 1444 H, disampaikan Imam Ali al–Ajhuri dari kalangan Malikiyah. Menurutnya, jika empat bulan berturut–turut usia bulan 30 hari, maka bulan kelima harus 29 hari. Artinya, jika pada bulan kelima tidak seorang pun menyaksikan hilal pada malam 30, maka hari ketiga puluh dari bulan kelima harus ditetapkan sebagai awal bulan keenam.


Dasar yang digunakan ulama dalam kasus–kasus tersebut adalah bahwa metode falak (hisab) memiliki tingkat kepastian yang lebih tinggi dibanding rukyatul hilal. Imam Qolyubi menjelaskan, jika hasil metode falak qath’iy menunjukkan bahwa hilal tidak mungkin terlihat, maka kesaksian rukyah hilal ditolak. Imam Qolyubi menambahkan bahwa ini adalah hal yang jelas (dhahirun jaliyyun) dan mengingkarinya adalah mu'anadah dan mukabarah.


Dalam penjelasannya tentang hisab yang dapat menafikan kesaksian rukyah, Imam Subki menjelaskan bahwa hisab yang dibangun di atas premis yang qath’iy juga bersifat qath’iy, sedangkan ikhbar rukyah hilal hanya bersifat dhanni.


Oleh karena itu jika menurut ilmu falak tidak mungkin dirukyah, maka melakukan rukyah hilal tidak menjadi fardlu kifayah atau sunnah. Sebab jika tujuan melakukan rukyah hilal adalah memastikan terlihatnya hilal, sementara hilal diyakini tidak akan terlihat, maka melakukan rukyah hilal adalah tindakan sia-sia. Bahkan, ada juga yang menghukuminya haram.


Penjelasan di atas menunjukkan bahwa NU tetap berpegangan pada rukyatul hilal dalam menentukan awal bulan Hijriah, termasuk Idul Fitri dan Ramadhan. Namun, hal tersebut tetap didasarkan pada hasil perhitungan ilmu falak sebagai perkiraan untuk pelaksanaan rukyatul hilalnya.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan