Nasional

Kenapa Februari 2023 Hanya 28 Hari? Berikut Latar Belakangnya

Sel, 28 Februari 2023 | 07:00 WIB

Kenapa Februari 2023 Hanya 28 Hari? Berikut Latar Belakangnya

Sebelum masa kekaisaran Romawi (yakni sebelum berkuasanya Julius Caesar), kalender Romawi merupakan kalender Qamariyyah berupa kalender lunisolar. (Ilustrasi: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Bulan-bulan di tahun Masehi rata-rata memiliki jumlah hari yang konstan, antara 30 atau 31 hari. Namun, berbeda dengan Februari yang hanya memiliki 28 atau 29 hari. Hal ini dilatarbelakangi sejarah penanggalan Masehi.


Wakil Sekretaris Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) M. Ma'rufin Sudibyo menyampaikan bahwa jumlah hari dalam bulan Februari memang ditentukan berdasarkan sejarah kalender Syamsiyyah itu sendiri, yang berakar pada kalender Romawi. 


Sebelum masa kekaisaran Romawi (yakni sebelum berkuasanya Julius Caesar), kalender Romawi merupakan kalender Qamariyyah berupa kalender lunisolar.

 

Jumlah hari dalam setiap bulan ditentukan berdasarkan perubahan wajah (siklus fase) bulan, tetapi panjang harinya ditetapkan 29 atau 31 hari. Sementara jumlah bulan dalam setahun bergantung kepada perubahan musim (mengikuti gerak semu Matahari).


"Setahun biasa Romawi saat itu terdiri atas 12 bulan dengan jumlah hari 355. Sedangkan setahun kabisat Romawi saat itu terdiri atas 13 bulan dengan jumlah hari 377 atau 378," ujarnya kepada NU Online pada Senin (27/2/2023). 


Pada awal mulanya, bulan pertama dalam kalender Romawi saat itu adalah Maret. Lalu April dan seterusnya hingga Desember sebagai bulan terakhir (bulan kesepuluh). Jejak penomoran bulan-bulan ini masih ada dalam misalnya September (septa = tujuh), Oktober (okta = delapan), November (nova = sembilan) dan Desember (deka = sepuluh).


"Di antara Desember hingga Maret, awalnya tidak ada penamaan khusus dan tidak dilakukan penanggalan karena berada di puncak musim dingin (dimana aktivitas manusia Romawi sangat berkurang)," katanya.


Namun di kemudian hari, dibuatlah dua bulan tambahan, yaitu Januari dan Februari. Januari ditetapkan sama panjangnya dengan Desember. Sementara sisa hari dalam setahun tersebut membentuk bulan Februari.


"Apabila berupa tahun biasa (basitah), maka jumlah hari dalam bulan Februari ditetapkan 28 hari. Namun apabila berupa tahun kabisat, maka jumlah hari dalam bulan Februari ditetapkan hanya 21 hari," lanjut Ma'rufin.


Lalu di antara bulan Februari dan Maret ditambahkan bulan Intercalaris (Mercedonius) yang lamanya 23 atau 24 hari.


Sementara itu, pada masa kekuasaan Julius Caesar, terjadi perubahan mendasar. Kalender Romawi ditetapkan sebagai kalender matahari (Syamsiyyah) yang disebut kalender Julian.

 

Kalender ini mengacu gerak semu tahunan matahari, tepatnya berdasarkan pengamatan siklus terbitnya rasi-rasi bintang khas (yakni rasi zodiak) di ufuk timur menjelang terbitnya Matahari.


"Pengamatan menunjukkan gerak semu tahunan matahari membutuhkan waktu 365,25 hari. Maka jumlah hari dalam setahun Julian adalah 365 hari," katanya.


Julius Caesar menetapkan setahun bersifat tetap 12 bulan. Ditetapkan juga sebulan berumur 30 atau 31 hari. Bulan-bulan yang dalam kalender Romawi kuno berumur 29 hari lalu ditetapkan menjadi 30 hari, kecuali Desember yang melompat dari 29 hari menjadi 31 hari.


Adapun Februari tetap berperan sebagai  "bulan sisa" yang menampung sisa hari dalam setahun yang belum terakomodasi di bulan-bulan yang lain.


Di masa kekuasaan Augustus, yang menetapkan bulan Sixtilius menjadi Agustus dengan panjang hari menjadi 31 hari (semula 30 hari), maka posisi bulan Februari menjadi lebih pasti, yakni dengan jumlah hari sebanyak 28 (untuk tahun biasa).


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad