Nasional

Sudah Diuji, Lembaga Falakiyah PBNU: Awal Subuh Tetap di Ketinggian Matahari -20 Derajat

Sen, 12 Desember 2022 | 11:00 WIB

Sudah Diuji, Lembaga Falakiyah PBNU: Awal Subuh Tetap di Ketinggian Matahari -20 Derajat

Seminar Sosialisasi Falakiyah di STMIK AMIK Bandung, Jawa Barat, Ahad (11/12/2022). (Foto: NU Online/Syakir NF)

Bandung, NU Online

Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali menegaskan bahwa waktu Subuh dimulai ketika matahari berada di ketinggian -20 derajat. Kriteria -20 derajat untuk waktu Subuh ini didasarkan pada kajian fiqih dan ilmu falak yang kuat dengan uji pengamatan di seluruh Indonesia.


Keputusan ini dirumuskan bersama para peserta Rakernas Falakiyah di STMIK AMIK Bandung, Jawa Barat pada Sabtu (10/12/2022).


Kajian fiqih

Sebagaimana diketahui, waktu Subuh dimulai pada saat terbit fajar shadiq. Fajar ini adalah fajar yang cahayanya menyebar di ufuk. Ketika fajar ini terbit, maka waktu Subuh tiba dan diharamkan makan dan minum ketika hendak berpuasa.


Hal ini sejalan dengan sebuah hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Hakim dari Imam Ibnu Abbas, “Fajar itu ada dua macam, yaitu fajar yang diharamkan memakan makanan dan diperbolehkan melakukan shalat dan fajar yang diharamkan melakukan shalat (yakni shalat Subuh) dan diperbolehkan makan makanan.”


Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat KH Ahmad Yazid Fatah menyampaikan bahwa hadis tersebut menunjukkan memang ada dua fajar. Dijelaskan oleh para ulama, bahwa dua fajar yang dimaksud adalah fajar kadzib dan fajar shadiq. Hal ini disampaikan dalam Seminar Sosialisasi Falakiyah Menuju Satu Abad Nahdlatul Ulama: Kebijakan Kriteria Awal Waktu Subuh dan Kriteria Awal Bulan Hijriyyah pada Ahad (11/12/2022).


Fajar shadiq adalah cahaya yang sudah cukup terang di ufuk timur dan cukup terang sehingga sudah menerangi puncak-puncak pegunungan atau perbukitan. Definisi ini dikemukakan oleh Imam Ibnu Abbas.


Sementara Imam Ghazali mendefinisikan fajar shadiq sebagai pancaran cahaya putih kemerah-merahan terang di ufuk timur yang menyebar secara horizontal (paralel) terhadap ufuk dan mudah dikenal mata.


Para ahli falak NU sendiri cenderung kepada pandangan dari Imam al-Zamakhsyari dan Imam ar-Razi yang menyatakan, bahwa fajar shadiq adalah cahaya selain fajar kadzib yang sudah muncul di ufuk timur meskipun masih samar dan putih.


Kajian astronomis falak

Memang, mayoritas ulama berpandangan bahwa Subuh dimulai sejak terbitnya fajar shadiq. Namun, menjadi pertanyaan, kapan fajar shadiq ini terbit?


Dalam kajian falak, fajar kadzib merupakan cahaya berintensitas lemah membentuk struktur mirip segitiga yang khas dan menjulang sepanjang garis ekliptika, sedangkan fajar shadiq merupakan cahaya tipis berkedudukan horizontal terhadap ufuk dan bertambah terang seiring waktu.


Hadirnya fajar shadiq tidak berurutan setelah fajar kadzib, melainkan berbarengan dengan melemahnya fajar kadzib. Cahaya fajar shadiq yang semakin terang membuat cahaya fajar kadzib yang mulai melemah tidak terlihat.


Para peneliti dari NU mengamati kemunculan fajar dengan berbagai metode, seperti regresi linear, analisis gradien, analisis nilai modus, analisis visual, dan analisis solver. Dengan berbagai pengamatan itu, disimpulkan bahwa fajar shadiq terbit pada tinggi matahari -20 derajat.

 

Pengamatan ini sudah mempertimbangkan berbagai aspek, mulai penentuan waktu pengamatan, pengaruh cahaya bulan, faktor cuaca dan geografis, arah pengamatan, hingga instrumennya yang meliputi setting, metode, dan sebagainya.


“Hasil berbeda karena perbedaan instrumen pengamatan, setting, metode, dan lain-lain,” kata H Muhammad Basthoni, peneliti fajar dan pengurus Lembaga Falakiyah PCNU Kota Semarang.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad