Opini

Bulan Ke-13: Penjelasan tentang Hijriah dan Masehi

Ahad, 30 Desember 2018 | 22:30 WIB

Bulan Ke-13: Penjelasan tentang Hijriah dan Masehi

Jumlah hari dalam sistem qamariyah adalah 354 hari, sehingga ada selisih 11 hari.

Tidak benar sepenuhnya bahwa kalender masehi ini milik non-Muslim dan kalender hijriah milik Muslim. Ihwal penanggalan hijriah dan masehi sebenarnya tidak selalu terkait dengan urusan agama. Dia berkaitan dengan gejala alam yang distrukturkan melalui ilmu pengetahuan (astronomi) menjadi penanda masa. 
Tahun 1 Hijriah juga ditandai dengan peristiwa hijrah, bukan lahirnya Nabi Muhammad SAW, peristiwa isra' mi'raj atau turunnya wahyu pertama. Hijrah dari Makkah ke Madinah adalah sebuah peristiwa sosial, berkaitan dengan perubahan sebuah peradaban besar.
 
Nama-nama bulan dalam kalender hijriah sendiri diambil dari nama-nama musim dan sesuai dengan padanannya dalam kalender masehi ketika itu, kecuali bulan Muharram dan Dzulhijjah. Muharram artinya bulan yang dihormati. Orang-orang ketika itu tidak diperbolehkan berperang di bulan ini, dan di tiga bulan lainnya. Dzulhijjah artinya bulan untuk berhaji.
 
Nama-nama sepuluh bulan lainnya adalah nama-nama musim. Shafar artinya kuning, tumbuhan mulai menguning. Rabiul awal dan Rabiuts tsani artinya musim gugur pertama dan kedua. Jumadil ula danJumadits tsani artinya musim dingin pertama dan kedua (jumud artinya beku). Rajab artinya cair, es sudah mulai mencair.
 
Sya'ban artinya lembah, orang-orang Arab sudah mulai ke ladang untuk bercocok tanam. Ramadhan artinya pembakaran, mulai masuk musim panas. Syawal berarti peningkatan suhu, panas sekali. Puncaknya adalah bulan Dzulqa'dah, artinya saat orang duduk-duduk tidak keluar rumah. Terakhir Dzulhijjah waktunya orang berhaji.
 
Bulan Muharram dan seterusnya sampai Dzulhijjah ketika itu disesuaikan dengan padanannya dalam kalender masehi, secara berurutan mulai September.
 
Pada masa awal Islam, sistem penanggalan yang digunakan oleh orang Arab adalah penggabungan antara penanggalan bulan (lunar) dan solar (matahari), qamariyah dan syamsiyah, atau hijriah dan masehi: Penggabungan dua sistem penanggalan sekaligus. Jadi pengitungan perbulannya mengikuti sistem qamariyah (29 atau 30 hari), tapi jumlah setahunnya mengikuti sistem syamsiyah (365/366 untuk kabisat).
 
Masalahnya, jumlah hari dalam sistem qamariyah adalah 354 hari, sehingga ada selisih 11 hari. Karena itu, dalam beberapa tahun sekali terdapat penambahan bulan (bulan ke-13) yang dalam ilmu falak disebut interkalasi. Penambahan bulan ini bertujuan agar kalender qamariyah bisa sejajar kalender syamsiyah, secara teknis juga sejajar dengan perubahan musim.
 
Namun kapan tepatnya penambahan bulan ini tidak disepakati sehingga memunculkan masalah yang rumit. Bangsa Arab (warisan Nabi Ibrahim) sudah menyepakati untuk tidak berperang pada empat bulan khusus: Muharram, Rajab, Dzulqa'dah dan Dzulhijjah. Tapi ketidakpastian penambahan bulan ke-13 ini menyebabkan jadwal gencatan senjata jadi kacau, rawan kecurangan.
 
Sampai akhirnya turun Surat at-Taubah ayat 36. إن عدة الشهور عند الله اثنا عشر شهرا... “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah 12 bulan.. Setelah itu orang Arab mulai memakai kalender bulan murni, lunar.
 
Dampaknya (karena perbedaan jumlah hari dalam dua sistem penanggalan), bulan-bulan dalam hijriah tidak lagi sepadan dengan masehi, berubah-ubah. Tapi hikmahnya, misalnya, orang Arab juga Eropa atau kawasan dengan banyak musim tidak selalu berpuasa pada musim panas. Juga, kadang berpuasa sampai 18 jam, kadang cuma 10/11 jam.
 
Nah Indonesia adalah kawasan tropis dengan perubahan musim yang normal-normal saja, sangat berbeda dengan kawasan dengan banyak musim. Apalagi jika dibandingkan dengan misalnya daerah di kawasan negara bagian Alaska yang selama 65 hari (November-Januari) tidak menemukan matahari, selalu malam.
 
Kenormalan ini mungkin yang menyebabkan kita santai-santai saja. Kita tidak punya tantangan alam. Namun, dengan melihat perubahan masa sebagai gejala alam (ilmiah) ditambah kejadian bencana alam silih berganti mudah-mudahan membuka mata kita untuk terus berbenah. Erupsi gunung berapi, gempa dan tsunami adalah gejala alam juga.
 
Jangan sampai (naudzubillah) gejala alam dianggap sebagai adzab bagi suku atau penduduk tertentu atau periode kepemimpinan tertentu. Setelah berucap "subhanallah" selanjutnya, gejala alam harus disikapi dengan serangkaian riset. Gejala alam harus menjadi rahmat, bukan musibah.
 
A. Khoirul Anam, Redaktur Senior NU Online