Opini HENDRO SETYANTO*

Mewujudkan Satu kalender Hijriyah Nasional

Kam, 1 Agustus 2013 | 05:34 WIB

Praktek penanggalan Hijriyah di Arab Saudi yang telah ada sejak zaman Sahabat Umar bin Khatab sebenarnya dapat dilihat sebagai sebuah pilihan untuk penyusunan Kalender Hijriyah Nasional, bahkan mungkin Kalender Hijriyah Internasional. Memposisikan kalender Hijriyah sebagai kalender adminsitratif merupakan sebuah pilihan logis untuk terbentuknya kalender Hijriyah tunggal, minimal di Indonesia.<>

Dengan adanya kalender Hijriyah Nasional tersebut diharapkan tidak ada lagi kalender versi ormas ataupun lembaga. Karena sebagai sebuah kalender adminsitratif, hal tersebut merupakan hak Pemerintah untuk menyusunnya. Adapun untuk pelaksanaan ibadahnya masih dapat dilaksanakan sesuai keyakinan masing-masing terlebih dahulu. Adanya penanggalan Hijriyah Tunggal tersebut telah dirasakan keperluannya, terlebih dengan berkembangnya perekonomian syariah yang seharusnyalah didasarkan pada penanggalan Hijriyah.

Disamping itu, dengan menggunakan Penanggalan Hijriyah Tunggal diharapkan masyarakat Islam lebih mengenal dan memahami penanggalannya. Jika kita perhatikan, adanya penanggalan Hijriyah di Indonesia masih kita kenali karena adanya hari libur Nasional yang terkait dengan peristiwa keagamaan. Jika libur karena maulid Nabi, maka saat tersebut adalah tanggal 12 bulan Rabiul Awal yang disebut sebagai bulan Mulud oleh masyarakat Jawa. Jika libur karena memperingati Isra' Mi'roj maka pada saat terbut kita tahu itu adalah tanggal 27 Rajab.

Pada dasarnya menyatukan kalender Hijriyah untuk keperluan administratif bersama lebih mudah dibandingan untuk menyamakan pelaksanaan ibadah. Tentu saja, pada awalnya hal tersebut terasa aneh bagi kita yang telah terbiasa beribadah karena masuk tanggal. Akan tetapi lambat laun hal tersebut akan menjadi hal yang biasa. Paling tidak dengan adanya kesepakatan kalender Hijriyah tunggal tersebut merupakan satu langkah maju. Dengan adanya kalender Hijriyah tunggal diharapkan kedepan dapat diseragamkan untuk pelaksanaan Ibadah, khususnya di wilayah Indonesia yang menganut akan faham matla' wilayatul hukmi. Yang menjadi pertanyaan adalah, perlukah kita akan adanya kalender Hijriyah adminsitratif tersebut? Ataukah kita sudah mencukupkan diri dengan penanggalan Masehi yang ada.

Jika kita mau jujur, saat ini penanggalan Hijriyah seakan tidak bisa lepas keberadaannya dari penanggalan masehi. Sehingga kita perlu menyusun penanggalan Hijriyah yang Mandiri yang tidak bergantung terhadap penanggalan Masehi. Mandiri disini tidak semata menulis angka kalender Hijriyah lebih besar dari angka kalender Masehi. Kerancuan pemakaian kedua-duanya dapat berimplikasi pada pelaksanaan Ibadah.

Misal, kenapa kita melaksanakan rukyat hilal pada saat hilal diyakini tidak ada? Hal ini dikarenakan kita menghitung hari didasarkan pada hitungan dan pemahaman penanggalan Masehi sehingga muncul istilah "Hilal dibawah ufuk" yang berati hilal terbenam terlebih dahulu dibandingkan matahari. Hal tersebut pada mulanya penulis anggap sebagai hal yang umum. Akan tetapi dalam perspektif Hijriyah seharusnya tidak ada istilah Hisal dibawa ufuk karena kita dapat menghitung dan menempatkan hilal selalu berada pada tanggal 29. Sehingga sebuah kriteria penanggalan Hjriyyah yang menjadikan posisi hilal dibawah ufuk pada tanggal 29, secara pribadi, adalah kurang tepat. Pada zaman Nabi, Rukyat hilal dilaksanakan untuk mencari kemunculan hilal bukan untuk memastikan hilal tidak ada. Jika hilal sudah dibawah ufuk maka dapat dipastikan hilal tidak akan dapt diamati.

Untuk itulah perlu dirumuskan bersama, sistem penanggalan seperti apa yang paling tepat untuk diterapkan sebagai sistem penanggalan Hijriyah Nasional ataupun penanggalan Hijriyah International. Merubah kriteria penanggalan Hijriyah bukan merupakan hal yang tabu melainkan sesuatu yang harus dilakukan demi kepentingan bersama karena kalender dibuat memang untuk digunakan secara bersama.

 

* Hendro Setyanto

Pengurus Lajnah Falakiyyah PBNU, anggota Tim Hisab-Rukyat Nasional