Nasional

Tiga Jalur Mata Rantai Ulama Tafsir Nusantara

Sab, 8 Desember 2018 | 12:45 WIB

Tangerang Selatan, NU Online
Direktur Pusat Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (PUSIAT) El-Hasani Hasani Ahmad Said menjelaskan, ada tiga jalur mata rantai ulama tafsir Nusantara. Pertama, Hijaz atau Arab Saudi. Disebutkan bahwa transmisi Timur Tengah dengan Jawa baik dalam bidang ekonomi, politik, atau pun agama mulai terjalin sejak abad ke-7.  

“Hubungan semakin kuat pada abad ke-16 saat ada kerja sama antara Kesultanan Aceh dengan Usmani,” kata Hasani di Islam Nusantara Center (INC), Ciputat, Tangerang Selatan, Sabtu (8/12).

Setelah itu banyak ulama Nusantara yang belajar ke Makkah, bahkan ada yang sampai menetap di sana, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Kiai Kholil Bangkalan, Syekh Arsyad Banjar, Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, dan lain sebagainya. Ditambah, kerajaan-kerajaan yang di Nusantara seperti Aceh, Mataram, dan lainnya juga menjalin hubungan dengan Hijaz. 

Kedua, Al-Azhar Kairo Mesir. Sebagaimana diketahui Mesir memiliki universitas tertua dan paling berpengaruh di dunia Islam, yaitu Universitas Al-Azhar. Sejak dulu hingga kini ulama-ulama Al-Azhar memiliki pengaruh yang besar di seluruh dunia Islam, termasuk Indonesia. Pada awal abad ke-20, Mesir memiliki peranan yang besar terhadap corak pemikiran tafsir di Indonesia. Kala itu Grand Syekh Al-Azhar Muhammad Abduh menjadi idola bagi ulama tafsir dunia, termasuk Indonesia. 

“Pemikiran Abduh dalam bidang tafsir di Indonesia disebarkan oleh Hamka, Kiai A Hasan, Prof Hasbi As Shiddiqi, dan lainnya,” terang Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Jakarta ini. 

Ketiga, India. Dari dulu banyak juga ulama Nusantara yang belajar ke India. Salah satunya adalah Nuruddin Ar Raniri. Ia belajar kepada Abu Hafz Umar bin Abdullah Basyaiban at-Tarimi al-Hadrami. Begitu pun dengan Syekh Yusuf al-Maqassari. Pada abad ke-12 hingga 13, kitab tafsir Al-Zamakhsyari dan Al-Baidlawi menjadi rujukan ulama tafsir India. 

Hasani menambahkan, Kiai Adnan Lubis yang lulusan Universitas Nadwa India juga pernah menerbitkan Tarikh Qur’an pada 1941. Namun kitab tersebut dicetak secara terbatas. 

“Gaya dan tipologi tafsir Nusantara tidak lepas dari transmisi tradisi tafsir Hijaz, Azhari, India, dan bahkan sarjana barat,” paparnya. (Muchlishon)