Nasional HARI AYAH

Tugas Ayah kepada Anak: Mewarisi Ilmu dan Teladan

Kam, 12 November 2020 | 07:00 WIB

Tugas Ayah kepada Anak: Mewarisi Ilmu dan Teladan

Ilustrasi ayah dan anak.

Jakarta, NU Online

Suatu ketika Rasulullah pernah didatangi oleh seseorang yang memiliki harta, tapi sang ayah ingin mengambil hartanya. Lalu Rasulullah menjawab, “Anta wa maluuka lii abiika (engkau dan semua hartamu adalah milik ayahmu.”


“Jadi redaksi hadits itu bukan li ummika (milik ibumu) ternyata. Justru harta dan kamu itu milik ayah. Walaupun di dalam banyak riwayat, yang lebih dihormati itu adalah ibu, tetapi ayah juga harus dihormati sebagai (pemberi) nasab atau keturunan biologis,” ungkap Sekretaris Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Mochammad Bukhori Muslim, kepada NU Online, Kamis (12/11).


Menurutnya, Rasulullah ingin menyeimbangkan penghormatan yang harus dilakukan seorang anak kepada ayah dan ibu. Kedua-duanya, memiliki alasan tersendiri untuk dihormati. Ayah harus dihormati karena merupakan pemberi nasab, sementara ibu wajib diberi hormat karena telah mengandung dan melahirkan anak.


“Itu kan seimbang. Inilah ajaran Rasulullah Saw agar seorang anak mampu menghormati kedua orang tuanya,” jelas Bukhori.


“Redaksi-redaksi (hadits) seorang anak untuk memuliakan orang tua itu banyak. Misalnya, ridhallah fi ridhal walidain (ridha Allah sejalan dengan ridha orangtua). Ini sebenarnya sejajar penghormatannya,” tambahnya.


Selain sebagai pemberi nasab, seorang ayah juga menjadi nasab ilmu bagi anak. Oleh karena itu, menurut Bukhori, di dalam riwayat hadits terdapat redaksi ‘an abiihi dan ‘an jaddihi. Jadi, redaksi tersebut menyiratkan bahwa ilmu yang didapat tidak dari guru lain tetapi langsung dari ayah dan kakeknya sendiri.


“Artinya, seorang ayah selain sebagai nasab darah atau biologis untuk anak, juga seharusnya mengajarkan ilmu, sehingga anak ketika pertama kali mendapat ilmu seharusnya dari ayahnya. Inilah tugas dan fungsi ayah. Jangan sampai seorang ayah malah tidak memberikan ilmu sama sekali kepada anak,” katanya.


Menurut Bukhori, fungsi dan peran ayah harus ditingkatkan dari berbagai aspek. Terutama soal pemberian pendidikan dan seorang ayah juga harus memberikan contoh serta teladan kepada anak.


“Dengan begitu anak itu, merasa memiliki nasab kepada ayah. Tapi tidak hanya sekadar nasab darah, melainkan juga terhubung langsung nasab ilmunya ke ayah,” jelasnya.


Oleh karena itu, ayah dituntut untuk terus belajar. Dikatakan Bukhori, banyak orang yang sekalipun usianya sudah tidak muda lagi, tetapi masih mengaji kepada para kiai. Hal ini, katanya, kerap ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.


“Misalnya ketika saya pernah dengar ada seorang yang mengaji ke KH Hasyim Asy’ari, dia ngajak anaknya. Padahal ayahnya sudah tua. Kan itu berarti sebetulnya, kewajiban menuntut ilmu atau ngaji secara sanad masih ada,” kata Bukhori.


“Jangan sampai ayahnya malu karena sudah tua sehingga tidak lagi mau belajar dan menitikberatkan hanya kepada anak untuk terus belajar. Pola itu harus diubah, jangan tidak mau belajar mentang-mentang sudah tua,” tambahnya.


Terkecuali jika memiliki alasan lain seperti seorang ayah yang tidak memiliki ilmu memadai dan sibuk mencari ma’isyah atau penghasilan secara finansial, sehingga tidak bisa mewarisi ilmu langsung kepada anaknya.


“Kalau kasusnya begitu maka boleh dititipkan (ke pesantren). Tapi sebenarnya yang harus digarisbawahi bahwa tugas utama ayah pertama kali itu adalah mendidik. Kalau ayah tidak punya ilmu bagaimana? Minimal memberikan contoh atau teladan,” katanya.


Karena itu, seorang ayah harus memiliki akhlak yang mulia serta memberikan contoh kepada anak seperti menghormati orang lain, menghargai guru, menghargai tetangga, dan bertutur kata yang baik. Berbagai teladan tersebut harus didapat pertama kali dari sosok ayah.


“Begitulah peran ayah. Jadi kalau ayah tidak punya ilmu pengetahuan dan sibuk mencari penghasilan maka minimal memberikan contoh yang baik kepada ayah. Misalnya lagi bagaimana menghormati perempuan dan menghormati ibu,” katanya.


Bukhori menambahkan, jangan sampai seorang ayah justru berkata kasar kepada anak. Bahkan sampai menghardik dengan kata-kata binatang. Perihal itu, menurutnya, sangat sederhana yang semestinya bisa dilakukan oleh ayah.


“Bahaya itu (kata-kata kasar kepada anak). Karena perjalanan kehidupan sang anak tergantung dari bagaimana ayah memberikan contoh dan teladan selama hidupnya. Ini (peran dan tugas ayah) yang harus ditekankan pada peringatan Hari Ayah Nasional,” katanya.


Hari Ayah dan sejarahnya


Pada setiap 12 November diperingati Hari Ayah Nasional. Peringatan ini bermula atas prakarsa dari Perkumpulan Putra Ibu Pertiwi (PPIP). Saat PPIP merayakan peringatan Hari Ibu dengan mengadakan Lomba Menulis Surat untuk Ibu pada 2014, di akhir acara sebagian besar peserta lomba menanyakan kapan penyelenggaraan lomba menulis surat untuk Hari Ayah.


Para peserta tersebut, menilai sosok ayah juga menjadi bagian penting dalam keluarga. Kemudian PPIP melakukan audiensi ke DPRD Surakarta untuk menanyakan peringatan Hari Ayah di Indonesia.


Setelah melalui pemikiran panjang, PPIP akhirnya menggelar deklarasi Hari Ayah Nasional di Surakarta pada 12 November 2016. Pada hari dan jam yang sama, deklarasi Hari Ayah juga dilakukan di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur.


Deklarasi digabungkan dengan hari kesehatan yang juga jatuh pada 12 November dengan mengambil semboyan ‘Semoga Bapak Bijak, Ayah Sehat, Papah Jaya’. Selain itu, diluncurkan buku ‘Kenangan untuk Ayah’, yang berisi 100 surat anak Nusantara yang diseleksi dari Sayembara Menulis Surat untuk Ayah.


Setelah deklarasi, buku dan piagam deklarasi Hari Ayah dikirimkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan empat bupati di Sabang, Merauke, Sangir Talaud, dan Pulau Rote.


Inilah yang menjadi tonggak sejarah penetapan Hari Ayah Nasional, dengan peringatan yang dilakukan setiap 12 November.


Pewarta:  Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad