Nasional

Usai DKI, Politisasi Agama Potensial Muncul Lagi di Pilkada Jabar

NU Online  ·  Rabu, 3 Mei 2017 | 09:46 WIB

Jakarta, NU Online
Melalui sebuah Halaqah Nasional Hak-hak Kewarganegaraan, Wahid Foundation mengimbau semua kalangan terutama warga Jawa barat untuk mengantisipasi derasnya ujaran kebencian dan politisasi agama pada Pilkada Jabar tahun 2018 mendatang. Sebab kampanye menggunakan isu keagamaan yang digunakan dalam pilkada DKI berpotensi besar digunakan kembali pada Pilkada Jawa Barat 2018 mendatang.

Rais Syuriyah PBNU KH Masdar Farid Mas’udi yang hadir sebagai salah seorang pembicara menilai kampanye menggunakan agama sebagai cara kampanye sangat berbahaya terhadap keberagamaan dan kebersamaan.

“Jangan lah kampanye menggunakan agama di ruang politik. Itu destruktif, merusak sekali. Itu (kampanye menggunakan agama) tidak pantas,” ujar Kiai Masdar di Swiss-Bell Hotel, Jakarta, Rabu (3/5).

Kendati kampanye menggunakan agama disebut cara yang paling “murah” oleh Kiai Masdar, namun kampanye itu menurutnya sangat merugikan. Dampak dari kampanye dengan membenturkan agama bisa menyebabkan terjadinya benturan sosial. Dan jika diulang-ulang dalam jangka waktu yang panjang, kampanye yang disebut sektarian ini dapat mengancam keamanan negara. “Bisa rontok negara ini, jika diterus-teruskan,” tegasnya.

Peneliti Senior Wahid Foundation yang juga merupakan anggota Ombudsman Indonesia Ahmad Suaedy mengungkapkan hal senada. Ia percaya bahwa kebersamaan dan toleransi warga Jawa Barat akan diuji dalam Pilkada Jawa Barat mendatang, terutama jika partai politik masih menggunakan motif keagamaan dalam prosesi kampanye sebagaimana yang terjadi pada pilkada DKI Jakarta.

Ia tak memungkiri bahwa efektivitas kampanye bermotif agama ini cukup tinggi, mengingat keberhasilannya pada pilkada DKI Jakarta. Namun ia mengingatkan adanya ancaman perpecahan yang berpotensi tejadi. “Perpecahan antara agama dan kelompok keagamaan yang terjadi di Jakarta juga bisa terjadi di Jawa Barat ketika Pilkada nanti,” ujar Suaedy.

Mengaca dari Pilkada DKI Jakarta dari tiga periode terakhir, Suaedy menunjukkan adanya peningkatan kasus intoleransi di Indonesia. Hal yang paling terasa menjadi pembeda antara Pilkada kali ini dengan Pilkada sebelumnya adalah tingkat kerasnya konflik yang dihasilkan selama Pilkada berlangsung.
“Dalam Pilkada DKI 2017 kerusakan yang ditimbulkan oleh kampanye agama atau sektarianisme lebih dahsyat, sebab sampai merusak mekanisme sosial masyarakat,” jelasnya.

Ia menyontohkan masjid dan musalla yang dalam konteks sosial menjadi intrumen sosial untuk pemersatu masyarakat, dalam Pilkada DKI menjadi ajang kampanye negatif yang merusak komponen kemasyarakatan hingga level paling rendah. (Red: Mahbib)