Nasional MUNAS KONBES NU 2023

UU Pesantren hingga RUU Perampasan Aset Dibahas dalam Sidang Komisi Qanuniyyah

Sel, 19 September 2023 | 04:00 WIB

UU Pesantren hingga RUU Perampasan Aset Dibahas dalam Sidang Komisi Qanuniyyah

Suasana persidangan di Komisi Qanuniyyah. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online 
Sidang Komisi Bahtsul Masail Qonuniyyah atau perundang-undangan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama berlangsung di lantai 2 Gedung Serbaguna 2 Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Senin (18/9/2023) malam.


Sidang Komisi Qonuniyyah memiliki tiga bahasan utama, meliputi Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, Kebijakan Lima Hari Kerja, dan Implementasi dari Undang-Undang Pesantren.


Ketiga bahasan dalam sidang yang dipimpin KH Abdul Ghaffar Rozin itu diulas secara bergilir. Dimulai dari kebijakan lima hari kerja dan implementasi dari UU Pesantren. Adapun rumusan masalah yang dibahas mengenai pandang NU menyikapi kebijakan lima hari sekolah dan sikap NU tentang UU Pesantren. Dua topik tersebut dibahas begitu serius.


Diskusi kian intens ketika sampai pada bahasan mengenai RUU Perampasan Aset. Topik ini dikuliti melalui kacamata fiqih dalam memandang RUU Perampasan Aset tersebut.


Pembahasan ini menjadi salah satu poin krusial dalam agenda Munas dan Konbes NU yang berlangsung di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, 18-20 September 2023.


Dalam rancangan putusan Komisi Qonuniyyah, poin pembahasan RUU Perampasan Aset dijelaskan bahwa perampasan aset seperti yang tertera dalam UU hukumnya dibenarkan dan masuk dalam hukuman mushadarah dalam rangka radd al-mazhalim.


Fiqih klasik secara spesifik tidak mengatur perampasan aset sebagai suatu istilah dan konsep baku. Namun, fiqih klasik memiliki konsep hifzh al-mal (menjaga harta) sebagai salah satu dari lima tujuan syariat.


Dalam rangka hifzh al-mal, fiqih klasik memiliki rancangan konsep yang disebut mushadarah, secara etimologis maknanya berarti perampasan. Secara umum, fiqih klasik mengenal mushadarah sebagai ‘perampasan oleh negara’. Dalam fiqih klasik, mushadarah cenderung dipahami sebagai denda. Maka hukumnya berlaku khilaf sebagaimana hukum ta’zir bi al-mal. Tak heran al-Ghazali melarang mushadarah (yang dia pahami sebagai denda):


أما المعاقبة بالمصادرة فليس مشروعًا


Ada pun menghukum dengan denda, maka hal itu tidak disyariatkan.


Namun, dalam konsep perampasan aset, mushadarah ini merupakan sebuah hukuman yang diterapkan dalam rangka radd al-mazhalim (mengembalikan barang yang dihasilkan dari cara-cara zalim).


Mushadarah dalam pemahaman ini, seluruh ulama sepakat hal ini diwajibkan. Nabi Muhammad saw sangat melarang kezaliman dan mewajibkan untuk mengembalikannya.


Merespons itu, Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur yang hadir dalam sidang Komisi Qonuniyyah memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Ia mengaku setuju dengan rumusan yang digarap oleh tim perumus mengenai RUU Perampasan Aset. Namun, pihaknya mengaku kurang sepakat dengan konsep fiqih yang ditawarkan.


“Terkait rumusan yang ditawarkan oleh PBNU kami mempunyai beberapa catatan. Pertama, ketika menggunakan mushadarah dalam rangka radd al-mazhalim itu tidak pas. Kenapa? Karena tidak ada kaitannya dengan itu. Mushadarah ya, mushadarah, radd al-mazhalim ya radd al-mazhalim,” paparnya.


Radd al-mazhalim adalah kewajiban yang memang melekat pada setiap pidana dan itu berbeda. Sementara dua hal yang berbeda tersebut dicampur, ia mengaku tidak melihat ada referensi yang pas.


Saling jawab antara pimpinan dan peserta sidang yang dimulai pukul 20:00 WIB terus berlanjut. Pembahasan kian meruncing dan pada pukul 23:14 WIB sidang diputuskan akan dilanjutkan kemudian.