Nasional

Waketum PBNU Nilai RUU Perkelapasawitan Legalisasi Ketidakadilan

Sel, 3 April 2018 | 07:40 WIB

Waketum PBNU Nilai RUU Perkelapasawitan Legalisasi Ketidakadilan

Diskusi RUU Perkelapasawitan, Selasa (3/4)

Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Umum (Waketum) PBNU H Maksum Mahfoedz mengatakan RUU Perkelapasawitan yang tengah dirancang DPR sebagai bentuk legalisasi atas ketidakadilan. Menurutnya sebelum menanggapi rencana DPR yang menyiapkan pembahasan dan finalisasi RUU Perkelapasawitan, publik perlu diingatkan sejumlah hal.

“Masih ada banyak persoalan yang perlu dibenahi lebih awal sebelum berpikir apakah RUU itu perlu atau tidak. Jangan dulu berpikir perundang-perundangan itu ketika persoalan yang menjadi kritik publik ini kita urai,” katanya kepada NU Online usai diskusi kelompok terfokus di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Selasa (3/4).

Terkait persoalan keagrariaan, NU sangat prihatin kondisi distribusi kepemilikian dan pengelolaan lahan di tanah air. 

“Di satu pihak Nahdliyin dalam hal ini banyak yang mau meninggal berpikir mau dikubur di mana jasadnya. Sementara pihak lain ada yang memiliki lahan ribuan hektar lahan, puluhan ratusan bahkan jutaan,” kata Maksum.

Ia menilai hal itu sebagai wujud ketidakadilan distribusi lahan dan sangat dikritisi NU.

“Banyak yang berdalih bahwa kepemilikan lahan itu legal. Tetapi, itu legalitas atas ketidakadilan distributitif.  Apakah benar ketidakadilan yang sangat timpang ini lalu kita legalisir, kita lindungi, kita bela dengan alasan legal?” ujarnya. 

Hal kedua yang harus juga diselesaikan berkenaan dengan perkelapasawitan adalah bicara tentang lingkungan yang besar yakni lingkungan sosial. 

“Terkait dengan lingkungan sosial dengan perkelapasawitan di Indonesia, kita amati yang paling banyak adalah berada di perkebunan. Hubungan antara masyarakat dengan pengusaha perkebunan, mayoritas tidak terselesaikan adalah perkelapaswaitan,” tambah pria yang juga rektor Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta.

Data itu diperkuat laporan tahunan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang secara rutin menyajikan evaluasi perkelapasawitan.

Selain itu akibat ketimpangan lingkungan mengerucut pada potensi konflik kekerasan.

“Masih bagus konflik-konflik itu bisa ditangani. Potensi bisa terjadi setiap saat di kawasan perkebunan, karena usaha tani investasi berada di daerah yang di sana muncul kehadiran segmentasi kelas, tidak hanya atribut sosoial, tapi
juga politik, agama,” paparnya.

Jika hal itu terakumulasi, menurutnya akan mudah sekali munculnya kekerasan koleltif yang membahayakan terhadap  perekebunan dan negara. 

“Ada pemicu sederahana saja seperti orang kesenggol di acara dangdutan menjadikan perang antarkelompok. (Di perkebunan) jika ada pegawai kebun yang congkak naik sepeda motor di perkampungan miskin bisa menimbulkan konflik,” terangnya.

Ia menegaskan potensi-potensi konflik demikian harus dihindari agar tidak muncul konflik nasional.

RUU Perkelapasawitan mencuat dan menimbulkan keresahan banyak pihak karena diindikasikan menimbulkan keuntungan bagi pengusaha, namun di sisi lain menimbulkan kerugian masyarakat. (Kendi Setiawan)