Nasional

Wamenag: Jaga Netralitas, Kawal Moderasi dan Toleransi

Jum, 29 Desember 2023 | 22:00 WIB

Wamenag: Jaga Netralitas, Kawal Moderasi dan Toleransi

Wakil Menteri Agama Saiful Rahmat Dasuki saat berbicara pada Serap Aspirasi Lembaga Keagamaan dalam Memperteguh Peran Strategis Kelompok Kerja Majelis Taklim dan IPARI di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur pada Jumat (30/12/2023). (Foto: NU Online/Afrilia Tristara)

Jakarta, NU Online

Bangsa Indonesia besar dengan aneka ragam kebudayaan. Masyarakat dapat hidup rukun saling berdampingan di tengah berbagai perbedaan suku, agama, dan ras karena rasa toleransi dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Namun, keberagaman yang berkembang di masyarakat Indonesia bisa menjadi sebuah potensi pemicu perpecahan jika sikap toleransi dan kemanusiaan semakin terkikis.


Melihat fakta demikian, Wakil Menteri Agama Saiful Rahmat Dasuki mengatakan bahwa netralitas menjadi satu upaya penting dalam menjaga kehidupan yang harmonis di tengah situasi Pemilu 2024 ini.


"Pemilu adalah kontestasi politik yang berulang setiap lima tahun, tidak perlu terlalu fanatik dalam memberi dukungan karena ini bukanlah persoalan hidup dan mati," katanya saat kegiatan Serap Aspirasi Lembaga Keagamaan dalam Memperteguh Peran Strategis Kelompok Kerja Majelis Taklim dan IPARI di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur pada Jumat (30/12/2023).


Menurutnya, maraknya dukungan terhadap pihak-pihak tertentu tak jarang mengikis rasa persaudaraan dan toleransi di kalangan masyarakat. Tak pelak, permusuhan dapat terjadi di kalangan yang berbeda pilihan. Bahkan, di beberapa situasi politik yang memanas, lelucon yang berkaitan dengan agama sering disangkutpautkan.


Politik identitas kerap dipergunakan untuk menarik simpati pihak tertentu agar dapat membuka peruntungan dalam mendulang suara. Hal ini akhirnya menjadikan nilai kemanusiaan mengalami kemerosotan.


Sikap netral dan penghargaan terhadap perbedaan pilihan mewujudkan masyarakat moderat sehingga dapat tercipta perdamaian dan kebersatuan negara. Di sinilah, menurutnya, penyuluh agama menjadi bagian dari garda terdepan dalam menjaga kedamaian masyarakat. 


Kisah sederhana moderasi beragama

Dalam arahannya kepada peserta Pokja Majelis Taklim dan IPARI, Saiful menyebutkan bahwa moderasi beragama sebenarnya sudah diperkenalkan oleh orang tua dan leluhur sejak kita masih kecil. Moderasi bisa tersirat dari hal yang sangat sederhana sampai kita tidak menyadarinya. Namun, hal sederhana inilah yang akhirnya menguatkan rasa persatuan dan kesatuan dalam keberagaman hidup.


Tentang kesederhanaan moderasi, Saiful mengisahkan sebuah cerita. Konon, sejak kecil hingga akil balig, orang tuanya tidak pernah menyuruhnya mendirikan shalat. Saiful yang berasal dari Suku Betawi mengungkapkan alasan orang tuanya tidak pernah menyuruhnya shalat karena mereka lebih familiar dengan kata sembahyang. 


"Kalau kita lihat kosakata (sembahyang) ini lebih bermakna kepada sebuah peribadatan bagi pemeluk agama Hindu, Buddha, atau Konghucu," kata Saiful.


"Itulah orang tua kita, menghargai kearifan lokal, nilai-nilai lokal. Sehingga, kata sembahyang pun digunakan untuk menyuruh anaknya shalat lima waktu," lanjutnya.


Secara sederhana, beragam istilah atau tradisi terdahulu yang baik masih dipergunakan para orang tua dahulu untuk mendidik anaknya. Perlahan, hal ini membentuk sikap moderat dalam beragama. Moderasi beragama berarti memegang teguh prinsip ajaran agama yang dianut tanpa mengkhawatirkan goyahnya iman karena ajaran agama lain.


Saiful mengungkapkan bahwa moderasi beragama menjadi salah satu program prioritas Kementerian Agama. Hal ini dilakukan sebagai wujud ikhtiar dalam rangka memperkuat rasa persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia.


"Penyuluh agama dan pengurus majelis taklim tentunya mempunyai peran yang strategis dan fundamental untuk menyebarkan nilai dan ajaran di lingkungan kita untuk terus memantapkan nilai toleransi dan moderasi beragama ini." pungkas Saiful.