Nasional

Wawancara: 2 Tahun Kepemimpinan Gus Yahya dan Imajinasi NU di Abad Kedua

Rab, 31 Januari 2024 | 20:30 WIB

Wawancara: 2 Tahun Kepemimpinan Gus Yahya dan Imajinasi NU di Abad Kedua

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf. (Foto: NU Online/Suwitno)

Dalam rangka menyambut Harlah Ke-101 NU dan 2 tahun kepengurusan PBNU masa khidmah 2022-2027, Pemimpin Redaksi NU Online Ivan Aulia Ahsan melakukan wawancara eksklusif dengan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf pada Senin, 22 Januari 2024 di kediamannya di bilangan Menteng, Jakarta.


Genap dua tahun menakhodai PBNU bersama KH Miftachul Akhyar (Rais Aam PBNU), Gus Yahya berhasil memperbanyak kiprah NU di level global untuk menyemai perdamaian internasional bersama para tokoh dan pemimpin agama dunia.


Di tubuh jam’iyah besar dengan anggota terbanyak di dunia ini, Gus Yahya juga mencoba menata kembali manajemen organisasi dan menguatkan sistem berbasis digital hingga ke tingkat ranting. Gus Yahya menyebutnya sebagai transformasi digital yang tidak hanya menjadi kebutuhan internal organisasi, tetapi juga sebagai tantangan seluruh warga NU.

 
Wawancara Pemred NU Online Ivan Aulia Ahsan dengan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, Senin (22/1/2024) di Menteng, Jakarta. (Foto: NU Online/Suwitno)
 

Seperti apa capaian dan perkembangan organisasi yang berdiri pada 16 Rajab 1344/ 31 Januari 1926 ini di bawah kepemimpinan KH Miftachul Akhyar dan Gus Yahya? Berikut wawancara Ivan Aulia Ahsan dengan Gus Yahya yang videonya pertama kali diunggah di Youtube NU Online pada Senin, 29 Januari 2024. 


***

Assalāmualaikum warahmatullāhi wabarakātuh

Bismillāhirrahmānirrahīm

Salam untuk semua pemirsa NU Online yang menonton tayangan hari ini. Saya Ivan Aulia Ahsan, Pemimpin Redaksi NU Online. Hari ini kita akan mewawancarai Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf.


Saya ada cerita sedikit personal tentang Gus Yahya. Pada November 2021 – satu bulan menjelang Muktamar NU – saya mewawancarai Gus Yahya di kediamannya, dalam kapasitas sebagai pemimpin redaksi Tirto.id. Waktu itu saya wawancara Gus Yahya selama tiga jam. Nah, kemudian hasil wawancara itu kami tayangkan, dan hasil wawancara itu ternyata adalah karya jurnalistik saya terakhir di Tirto.id. Hari ini saya bertemu kembali dengan Gus Yahya dalam kesempatan yang berbeda – dan juga dengan media yang berbeda – kali ini saya menjadi Pemimpin Redaksi NU Online. Dan hari ini kita akan mengobrol dengan Gus Yahya menjelang Harlah Nahdlatul Ulama ke-101 tahun versi hijriah.


***


Assalamualaikum, Gus.


Wa’alaikum salam.


Selamat sore.


Selamat sore.


Selamat sore semuanya. Selamat sore juga untuk sahabat-sahabat NU Online.


Tanggal 31 Januari nanti akan ada perayaan Harlah Nahdlatul Ulama ke-101 yang akan diselenggarakan di Yogyakarta. Kebetulan Harlah tanggal Masehi dan tanggal hijriahnya berdekatan. Nahdlatul Ulama lahir tanggal 31 Januari 1926, dan tahun ini kebetulan berdekatan dengan hari lahir Hijriahnya. Saya ingin bertanya kepada Gus Yahya soal, ini kan Harlah pertama di abad kedua – saya selalu ingat gaya Njenengan waktu pidato Satu Abad NU: selamat datang di Abad kedua – nah, ini satu tahun kita sudah memasuki abad kedua, Gus, sekaligus dua tahun kepemimpinan PBNU di bawah Gus Yahya. Apa yang ingin Njenengan refleksikan dalam satu tahun abad pertama dan dua tahun kepemimpinan Njenengan, Gus?

 

Ya, selamat datang di tahun kedua abad kedua Nahdlatul Ulama. Dan selamat datang di penghujung dua tahun masa khidmah PBNU kali ini.


Sejak awal telah kami tetapkan dan kami sampaikan secara luas tentang agenda-agenda fundamental yang merupakan besaran-besaran visioner tentang apa yang akan dilakukan selama periode atau masa hikmah kali ini, yang meliputi empat agenda besar, agenda fundamental.


Yang pertama adalah agenda untuk memperbaiki tata laksana organisasi. Ini menyangkut dua hal. Yang pertama adalah norma-norma terkait administrasi dan mekanisme-mekanisme pembuatan keputusan, dan yang kedua adalah mengenai teknik manajemen, teknik pengelolaan. 


Untuk hal-hal yang terkait dengan norma-norma dan mekanisme-mekanisme pembuatan keputusan, kami bekerja untuk menyesuaikan berbagai macam instrumen normatif, berupa peraturan-peraturan perkumpulan dan berbagai macam ubo rampe-nya lah, berbagai macam aturan ikutan yang diturunkan dari peraturan-peraturan perkumpulan itu. Dan sebagian besar sudah kami selesaikan, sambil terus-menerus berusaha memperbaiki hal-hal yang kita lihat dalam perjalanan ada kekurangan-kekurangan.


Sedangkan teknik manajemen, kami menetapkan agenda digitalisasi organisasi, mulai dari administrasi sampai dengan berbagai macam kegiatan organisasi yang lainnya, termasuk program-program dan juga kegiatan-kegiatan yang akan melibatkan partisipasi dari masyarakat, dari jamaah NU itu sendiri.


Yang kedua – agenda besar yang kedua – adalah pemenuhan dan peningkatan sumber daya manusia organisasi. Kita membutuhkan personil-personil yang memiliki kapasitas standar yang dibutuhkan dalam pengelolaan organisasi. Dan itu kami lakukan dengan membangun satu system kaderisasi yang berjenjang dan komprehensif.


Kemudian yang ketiga adalah mengembangkan model aktivisme atau pola aktivisme yang ini menyangkut dua ranah utama. 

 

Yang pertama adalah ranah domestik, ranah dalam negeri, yang menyangkut masyarakat kita sendiri, bukan hanya jamaah NU saja, tapi juga masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini kita melakukan reorientasi aktivisme organisasi ini kepada model kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat secara langsung, yang merupakan engagement atau bersentuhan langsung dengan masyarakat. Kita orientasikan ke sana.


Sedangkan yang kedua adalah arena aktivisme internasional, khususnya menyangkut posisi NU di dalam percaturan internasional, menyangkut hubungan-hubungan dengan berbagai macam kalangan agama yang berbeda-beda, dan juga aktor-aktor global lainnya. Nah, untuk arena internasional ini kita orientasikan kepada pengembangan satu gerakan global yang bisa secara konkrit menjalankan strategi untuk mendapatkan atau menemukan solusi-solusi bagi berbagai masalah kemanusiaan yang dihadapi oleh masyarakat internasional saat ini.


Kemudian agenda fundamental yang keempat adalah menyangkut upaya untuk membangun kapasitas keuangan yang lebih baik, dengan mengembangkan sumber-sumber keuangan yang lumintu. Jadi, financial sustainability. Nah, akhir agenda ini kemudian kita eksekusi dengan satu strategi bertahap, mengingat realitas masyarakat yang kita hadapi, mengingat dinamika yang berlangsung dari waktu ke waktu.


Strategi yang pertama – yang tahap pertama yang kita tempuh – adalah menyelesaikan desain-desain konseptual dari tata laksana organisasi dan sistem kaderisasi. Dalam hal ini termasuk di dalamnya adalah tentang manajemen keuangan, tentu saja. Ini kita jalankan paling awal bersamaan dengan dimulainya upaya-upaya untuk membangun satu platform digital, yang bisa kita gunakan untuk menampung segala kegiatan-kegiatan ke-NU-an.


Pada saat yang sama, kita juga menghadapi kebutuhan untuk mentransformasikan mindset dari masyarakat. Pertama-tama, jelas adalah untuk memperkenalkan agenda-agenda dasar ini kepada masyarakat, dan kemudian melakukan upaya mentransformasikan pola pikir dari masyarakat – khususnya jamaah NU itu sendiri – tentang bagaimana keberadaan NU, tentang apa yang menjadi tanggung jawab NU, cita-cita NU, dan seterusnya.


Nah, maka pada tahun pertama kita melakukan mobilisasi besar-besaran dalam berbagai macam sumber daya – baik sumber daya personal, sumber daya finansial, dan lain sebagainya, termasuk partisipasi warga – untuk membangkitkan gairah warga tentang peran yang lebih besar yang harus dijalankan oleh Nahdlatul Ulama, yang kemudian juga membutuhkan ikhtiar-ikhtiar besar dari dalam.


Itulah sebabnya masyarakat bisa menyaksikan bagaimana pada tahun pertama ini, sejak kick off, sejak pengukuhan PBNU di Balikpapan sampai dengan Puncak Resepsi Harlah Satu Abad NU, ini semuanya upaya untuk menggiring persepsi masyarakat, persepsi jamaah, bahwa NU ini tidak bisa lagi dipandang keberadaannya seperti masa lalu. Salah satu yang kita address – yang paling mendasar – adalah apa yang kita anggap, kita persepsikan sebagai kecenderungan inferior di kalangan warga NU, di kalangan – termasuk juga – aktivis-aktivis NU, merasa bahwa NU ini lemah, bahwa NU ini kekurangan ini dan kekurangan itu. Nah, ini kita berupaya untuk membongkar mindset ini, membongkar persepsi ini, dengan menunjukkan bahwa NU besar, NU punya kemampuan untuk mengerjakan hal-hal besar. Dan alhamdulillah, ini saya kira bisa kita laksanakan dengan hasil yang optimal. Masyarakat sekarang melihat NU dengan persepsi yang berbeda. Imajinasi tentang NU sudah berubah menjadi imajinasi yang lebih kuat dampaknya secara psikologis, sebagai rasa percaya kepada NU untuk berbagai isu di dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.


Pada saat yang sama, tentu saja, kita juga mulai mengeksekusi agenda-agenda yang sudah kita selesaikan desain konseptualnya untuk dijalankan. Misalnya, agenda tentang sistem kaderisasi sekarang sudah berjalan. Dan sejak dimulainya kegiatan pelatihan kader sekitar bulan juli 2022 sampai sekarang – awal 2023 ini – alhamdulillah kita telah berhasil melatih tidak kurang dari 50.000, lebih dari 50.000 orang kader di tingkat kecamatan sebagai hasil dari pelatihan dasar pendidikan kader, pendidikan dasar kader NU atau PDPKPNU, kader penggerak NU ya. Dan lebih dari 1000 orang kader di tingkat cabang atau PMKNU, Pendidikan Menengah Kepemimpinan NU. Karena kita mendudukkan posisi kepemimpinan di tingkat cabang itu sebagai dimulainya fungsi kepemimpinan, sedangkan di tingkat majelis wakil cabang atau tingkat kecamatan ini masih dalam fungsi – pada umumnya – untuk menggerakkan partisipasi warga, maka kita sebut kader penggerak.


Sekarang kita sudah hampir selesaikan, sudah separuh jalan, untuk menyelesaikan kurikulum dari jenjang pengaderan paling tinggi yaitu Akademi Kepemimpinan Nasional NU yang insya Allah akan kita mulai tahun depan, pelaksanaan pendidikannya.


Semacam Lemhanas-nya NU?


Ya, dan kita tetapkan standar yang tinggi, sehingga nanti untuk ikut serta sebagai peserta akademi itu sendiri kita tetapkan prasyarat-prasyarat yang tinggi, misalnya, syarat penguasaan bahasa Inggris dan bahasa Arab, penguasaan wawasan tentang ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu syariat, dan lain sebagainya. Itu nanti akan kita umumkan segera, dan kita beri kesempatan satu tahun kepada para peminat yang ingin mengikuti Akademi Kepemimpinan Nasional itu untuk sejak sekarang menyiapkan prasyarat-prasyaratnya.


Kemudian, untuk agenda menyangkut pola aktivisme, model aktivisme, kita juga sudah mulai eksekusi dengan platform yang kita sebut sebagai Gerakan Keluarga Maslahat NU. Alhamdulillah, sekarang kita mulai sekitar bulan September tahun lalu. Sebetulnya itu terlambat, karena kita kehabisan resource selama satu tahun pertama ini. Tapi alhamdulillah dengan base ya, dengan ritme yang cukup kencang, sekarang ini kita telah berhasil membentuk jaringan sampai ke tingkat desa di 5 provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa tengah, DIY, Jawa Barat, dan Banten, kira-kira sekitar 30.000 desa, di setiap desanya kita tempatkan kader Satgas untuk GKMNU ini masing-masing 7 orang. Jadi kita sekarang sudah punya kira-kira 117.000 orang kader Satgas GKMNU ini di lapangan, dan kegiatan sudah mulai bergulir, sekurang-kurangnya dua minggu sekali.


Nah, dalam hal ini – seperti saya katakan, mungkin sudah saya singgung tadi – bahwa selain model atau pola aktivisme ini, kita juga mendesain positioning NU di tengah tengah dinamika masyarakat bangsa ini secara keseluruhan. Nah, secara spesifik, dalam hal menjalankan agenda-agenda yang menyentuh akar rumput, kita memposisikan Nahdlatul Ulama sebagai channel untuk men-deliver, untuk membawakan agenda-agenda nasional dari pusat ke daerah. Jadi kebijakan agenda-agendanya itu dibangun di pusat, kemudian kita bawa, kita kirim untuk menjadi kegiatan-kegiatan langsung di akar rumput, yang dalam hal ini kita memilih unit partisipasinya adalah keluarga, karena semua isu kehidupan itu masuk dalam keluarga; ekonomi, pendidikan, kesehatan, segala macam, masuk dalam kerangka keluarga. Dalam hal ini kemudian kami berkomunikasi dengan pemerintah, untuk menawarkan kepada pemerintah: menggunakan channel ini di dalam men-delivery agenda-agenda pemerintah pusat itu sendiri. Karena ada peluang dalam hal ini dan ada kebutuhan pemerintah.


Saya sudah sampaikan sejak awal, sebelum Muktamar, dalam diskusi-diskusi sebelum Muktamar, bahwa pemerintah pusat ini mengalami kendala yang perenial ya, yang terus-menerus di dalam mengirimkan agenda-agenda ke akar rumput, karena struktur politik yang kita miliki ya, antara lain terkait dengan otonomi daerah ini. Karena setiap kali pemerintah harus bawakan agenda-agendanya melalui hirarki birokrasi, mereka harus bertemu dengan kendala politik, sampai ke provinsi harus ketemu dengan kepentingan politik, dari kepala daerah ke provinsi dengan gubernurnya, yang ya mungkin punya kepentingan politik yang berbeda, dari gubernur ke kabupaten atau kota juga sama, sehingga tersendat-sendat. Nah, maka kita menawarkan kepada pemerintah untuk menjadikan NU sebagai channel ini. Dan pemerintah menyambut baik, sehingga sekarang ada banyak sekali program pemerintah yang telah disalurkan melalui GKMNU ini, seperti program pendidikan keluarga menyangkut pendidikan pra, mulai dari pendidikan pra-nikah, parenting, kemudian pendidikan tentang manajemen keuangan rumah tangga, sampai kepada penanganan stunting. Jadi, ini sudah berjalan ini, alhamdulillah.


Sementara untuk arena internasional alhamdulillah juga kita telah membuat kemajuan-kemajuan yang besar yang secara khusus ditandai dengan keberhasilan kita menyelenggarakan forum agama-agama dalam rangkaiannya dengan G-20 yang dituanrumahi Indonesia tahun 2022. Forum-forum agama-agama ini kita namai R-20, Religion of Twenty. Dan di situ kita mengundang tidak kurang dari 150 pemimpin agama dari seluruh dunia, terutama dari negara-negara anggota G-20 dan negara-negara yang merupakan jaringan kerja sama dengan G-20 ini. Dan secara impresif, secara sangat mengesankan, kita berhasil menggalang pemimpin agama ini untuk memulai satu model engagement yang baru. Kalau selama ini yang dilakukan adalah dialog, dialog, dialog. Mulai dengan R-20 ini kita berhasil membangun kesepakatan dan tekad bersama dari para pemimpin agama ini untuk membangun gerakan global bersama. Jadi dari dialog gerakan ini menjadi satu geseran yang luar biasa. Dan ini genuine dan shincher, ini asli dan tulus. Jadi ini bukan dibuat-buat, bukan sekadar asal bikin pernyataan bagus, tapi memang sungguh-sungguh menjadi gairah dari para pimpin agama itu sendiri, sehingga sejak R-20 itu kemudian bukan hanya kita juga semakin mudah melaksanakan kegiatan-kegiatan kerjasama internasional ini dari waktu ke waktu, setiap ada momentum kita bisa dengan mudah mengajak kumpul para pemain agama ini. Misalnya, terkait dengan forum ASEAN itu dengan hanya persiapan sekitar satu bulan lah, kita berhasil mengundang para tokoh agama. Kemudian terkait dengan serangan Israel ke Gaza juga dalam waktu hanya sekitar tiga minggu, kita berhasil menghadirkan para pemimpin agama untuk menanggapi itu. Bahkan kemudian disusul dengan forum untuk meng-addres masalah yang sama di Amerika, hanya dua minggu sesudahnya, di Universitas Princeton. Ini, wah ini, saya kira belum pernah ada organisasi masyarakat keagamaan yang bekerja sama dengan Universitas Princeton – ini universitas nomor satu di Amerika ini – untuk menyelenggarakan event seperti ini.


Nah, ini adalah capaian-capaian yang saya kira monumental dari segi aspek-aspek yang yang telah dicapai, sekaligus juga monumental dari segi keberhasilan kita di dalam mengelola upaya-upaya itu sedemikian rupa, sehingga berhasil mendapatkan capaian yang sedemikian baik sekarang ini.


Yang menonjol, saya pikir di dalam dua tahun pertama kepemimpinan Njenengan itu ada mulai bangkitnya imajinasi global di kalangan Nahdlatul Ulama. Mungkin turning point-nya dari R-20 lah, yang kemudian Njenengan bergerak mengadakan event-event selanjutnya sampai nanti di bulan Februari Njenengan juga dapat award itu. Nah, apa yang mendasari Gus Yahya untuk membangkitkan lagi semacam imajinasi global Nahdlatul Ulama?


Kalau soal itu saya kira alami saja, karena dulu sudah lama sekali dimulai oleh Gus Dur. Dan aktivisme ini juga saya sudah langsung mengikuti aktivisme ini, sekurang-kurangnya sejak 2010, sejak pertama kali saya direkrut oleh Kiai Sahal Mahfudh untuk masuk ke PBNU sendiri. Dan menurut saya sih apa yang dicapai sekarang ini sebetulnya merupakan capaian alami saja dari proses yang telah berlangsung lama ya. Nah, mungkin karena saya sekarang ketua umum, jadi masyarakat juga melihatnya pekerjaan-pekerjaan yang saya lakukan ini dianggap punya leverage, yang punya image, punya citra lebih penting. Padahal sebetulnya sejak awal ini pekerjaan penting, sejak zaman Gus Gur. Saya kira itu saja, alami saja kalau soal global itu. Yang lebih fundamental justru hal-hal strategis yang menyangkut konstruksi organisasi itu sendiri.


Nah, yang ini ada hubungannya kemudian dengan yang sering Njenengan ungkapkan di beberapa kesempatan. Terakhir yang saya ingat itu di acaranya Lakpesdam, yang di Asrama Haji, Muktamar Pemikiran, tentang jumlah warga NU yang semakin naik dan karakter demografis yang berubah. Mungkin Njenengan bisa elaborasi lebih lanjut, Gus?


Iya, saya menyadari itu. Sebetulnya agenda-agenda dasar yang tadi saya sebutkan – empat agenda besar itu – sebenarnya merupakan upaya untuk meng-address, untuk menanggapi perkembangan ini ya, karena saya menyadari adanya tren membesarnya konstituen NU, membesarnya ukuran jamaah NU itu sudah sejak lama, sejak 2007, 2008, ketika mendapatkan informasi bahwa exit poll Pemilu tahun 2004 itu para pemilih 35% dari mereka mengaku warga NU. Ini berarti sudah membesar ini, karena dulu biasanya NU itu dianggap cuma 18%, ini sudah 35%. Dan ini konsisten dengan hasil-hasil survei yang lain, seperti yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia, Pak Denny JA, yang menemukan tahun 2005, 27% penduduk Indonesia mengaku NU, dan 2023, 56,9% penduduk Indonesia mengaku NU. Sebelum itu, saya sudah dapatkan informasi dari Indo Barometer tahun 2010, bahwa warga Muslim yang mengakui NU itu sudah 47%. Berarti membesar.


Nah, ketika membesar seperti ini kan kita harus berpikir, bahwa pertama-tama, sekarang ada warga NU baru, warga-warga NU baru, yang menyadari ke-NU-annya. Mungkin sebetulnya mereka dari dulu NU, tapi baru menyadari ke-NU-annya belakangan. Nanti tentu ada konsekuensi-konsekuensi, misalnya, kemudian di mana sebetulnya orbit warga NU ini? Pasti bergeser. Kalau dulu kita mengasumsikan orbit warga NU itu ya di sekitar pesantren-pesantren, madrasah-madrasah, di desa-desa. Sekarang kita bisa dapati bahwa warga NU ini beredar di berbagai macam arena: di dunia industri, di korporasi-korporasi, di kantor-kantor ya, di terminal-terminal, di pasar-pasar. Mereka ini semuanya merasa NU. Dan tentu saja, ya enggak boleh kita kemudian berpaling dari mereka: menganggap mereka bukan tanggung-jawab kita, enggak bisa. Mereka tetap harus kita pandang sebagai bagian dari tanggung jawab Nahdlatul Ulama, tanggung jawab dari ri’ayah, dari pengasuhan Nahdlatul Ulama kepada masyarakat.


Nah, ini berarti membutuhkan cara baru di dalam berorganisasi, membutuhkan model aktivisme baru, membutuhkan konstruksi keorganisasian, dan seterusnya. Nah, inilah yang sekarang sedang kita berusaha kembangkan. Kendalanya banyak, tapi kita atasi sedikit demi sedikit. Kalau perlu dengan akal-akalan, yang penting ini bisa jalan.


Nah, Njenengan itu mengimajinasikan NU di Abad ke-2 ya, dengan tadi ada perubahan demografis, ada, terus Njenengan lakukan kemudian di internal organisasi dengan penataan organisasi dan lain, itu seperti apa, Gus, imajinasi dasar Njenengan, NU di Abad ke-2?


Pertama-tama bahwa, saya memiliki keyakinan Nahdlatul Ulama ini didirikan dengan visi peradaban, bahwa cita citanya itu cita-cita peradaban, cita citanya adalah membangun peradaban baru yang lebih baik, yang lebih mulia, untuk – bukan hanya umat Islam saja, tapi juga – seluruh umat manusia. Ini keyakinan saya yang saya peroleh dari usaha saya belajar sungguh-sungguh tentang bagaimana mulainya NU ini didirikan, bagaimana tradisi kekiaian yang sudah tumbuh sebelumnya, konteks kesejarahan ketika NU didirikan, kemudian tahap-tahap yang dicapai sepanjang sejarah keberadaannya, maka saya sampai pada keyakinan: cita-cita NU adalah cita-cita peradaban.


Maka saya mengimajinasikan NU ini nanti menjadi aktor yang memberi kontribusi, yang bermakna bagi lahirnya peradaban baru, peradaban umat manusia yang baru, yang lebih mulia. Ukuran lebih mulia itu apa? Ukuran lebih mulia ya akhlakul karimah, karena misi Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam itu adalah tatmim makarimil akhlaq, sebagaimana Beliau bersabda: Innama bu’itstu li utammima makarimal akhlaq.


Nah, itu yang harus kita ikhtiari, supaya NU sungguh-sungguh punya dampak berskala peradaban, untuk mendorong akhlakul karimah itu. Jadi supaya kita ini tidak hanya mengeluh dan ternganga dengan imajinasi, dengan citra diri kita sebagai orang-orang lemah, kere-kere yang sudah terlalu lama kere-nya, kita harus merdekakan diri dari itu, karena sebetulnya secara demografis semua berubah, gitu ya.


Kalau kita bicara tentang warga NU tahun 1970-an, 1980-an, 1990-an, mungkin ada benarnya bahwa warga NU ini banyak yang miskin. Tapi sekarang belum tentu. Saya melihat sekarang sebetulnya kualitas hidup dari warga NU secara umum sebetulnya sudah meningkat secara signifikan. Dan itu ditunjukkan oleh semua data yang ada, termasuk data-data kependudukan yang ada pada pemerintah. Kalau masyarakat Indonesia ini GNP-nya naik signifikan, sampai 4000 lebih setiap tahun, ya berarti orang NU juga naik dong. Gampang-gampangan aja sekarang, orang mau naik haji aja antrenya lebih dari 25 tahun. Ini kalau bukan orang pada kaya semua kan, ndak (mungkin). Maka kita bukan lagi berpikir tentang mengentaskan kemiskinan, pertama-tama, tapi meningkatkan vitalitas ekonomi dari masyarakat supaya, ya tambah kaya lah.


Jadi, saya bilang kalau miskin saya nggak percaya. Kalah kaya dengan yang lain mungkin iya, yang lain lebih kaya, dan itu nggak usah kita hasuti gitu ya, rezeki-rezekinya Gusti Allah gitu ya. Tapi kita memang masih perlu meningkatkan vitalitas warga NU untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.


Pada saat yang sama, kita harus menyadari bahwa kita ini punya tugas yang jauh lebih besar, yang bukan hanya untuk NU saja, karena NU ini didirikan bukan hanya untuk NU. NU ini didirikan untuk kemaslahatan dari seluruh umat manusia. Maka kita harus juga berpikir serius tentang ini: bagaimana NU betul-betul bisa menyumbang secara signifikan, bukan cuma omong-omong, tapi benar-benar ada dampaknya, gitu ya, bener ada dampaknya. Itu yang harus kita buat.


Oke, soal dampak ini memang penting dan saya pikir Gus Yahya ini adalah salah satu Ketua Umum PBNU yang paling artikulatif dalam menyampaikan program-program organisasi dengan bahasa yang sistematis, dengan rapi. Ini bukan saya membandingkan ya, tapi sepanjang saya mendengar dan mengetahui Ketua-Ketua Umum PBNU sejak zaman Gus Dur, saya baru menemukan Ketua Umum PBNU yang artikulasi tentang organisasinya se-sistematis dan sebaik Gus Yahya.


Ya, karena saya mikirnya lama, sampai hafal, dan saya ulang-ulang.


Oke, ini terakhir, Gus. Ini kan nanti 101 tahun ya, yang di Jogja ini. Nah, ada pesan utama apa yang Njenengan ingin sampaikan ke teman-teman pemirsa NU Online?


Mari berpikir tentang masa depan. Berpikir tentang masa depan. Jadi, karena mindset yang cenderung melihat diri lemah itu membuat kita seperti terjebak pada ketidakberuntungan-ketidakberuntungan masa lalu, keapesan-keapesan masa lalu. Dan sekarang kita sudah, saya kira kita sudah cukup berhasil membangun imajinasi tentang bahwa NU ini berdaya. Maka sekarang kita harus jadi digdaya. Itu imajinasi tentang masa depan. Ini juga harus dibangun sedemikian rupa.


Maka kita sengaja menyelenggarakan Puncak Harlah. Harlah itu dimulai tanggal 28-31. Jadi kalau dihitung hijriah itu 101, kalau dihitung Masehi 98. Jadi 16 Rajab 1445 itu 28 Januari, akan kita mulai dengan Istighotsah di Pondok Pesantren Sunan Pandandaran, nanti insya Allah. Dan kita puncaki 31 Januari di Universitas NU Yogyakarta, yang kenapa kita sengaja tempatkan di situ? Karena UNU Jogja ini, kita membangun desain baru untuk UNU Jogja ini, yaitu desain yang kita orientasikan kepada masa depan. Maka kita membangun apa yang kita sebut sebagai school of future studies. Jadi sekolah untuk studi-studi masa depan.


Masa depan itu sesuatu yang semakin mendesak, karena sekarang itu perkembangan terjadi dengan cepat sekali, sehingga masa depan bisa datang begitu cepat menerpa kita, dan ini menyangkut hal yang sangat kompleks. Maka kesadaran tentang masa depan ini perlu kita bangkitkan. Dan di dalam Harlah itu nanti akan kita ajak melihat imajinasi masa depan itu, mudah-mudahan. Kita desain sedemikian rupa, supaya warga para pemimpin NU dan warga ini punya lamunan tentang masa depan. Buat banyak orang mungkin masa depan itu ngelamun saja masih sulit, masa depan itu kayak apa, belum nanti ada AI, ada robot, ada ini, ini kita perlu bangun, di samping juga globalisasi, dinamika masyarakat, dan lain sebagainya.


Jadi, masa depan. Mari berpikir tentang masa depan. Itu sebabnya dalam Munas - Kombes terakhir, kita membuat tema, kita menetapkan tema: “Mendampingi Umat, Memenangi Masa Depan.” Mulai (kita) kenalkan kepada masyarakat visi tentang masa depan ini.


Nah, di dalam Harlah yang nanti juga kita, pada saat secara simultan kita adakan Konbes juga di Jogja, kongres besar di jogja, tema yang kita ambil adalah: “Memacu Kinerja untuk Mengawal Kemenangan Indonesia.” Kenapa? Karena Indonesia sekarang ini sedang dalam momen krusial, baik secara domestik maupun secara internasional. Ini pertarungan luar biasa. Pertarungan luar biasa dalam mengembangkan kapasitas domestik. Dan di dalam persaingan global Indonesia harus menang. Dan waktu kita tidak terlalu banyak. Kita harus lakukan upaya yang sungguh-sungguh, supaya jangan sampai Indonesia ini dikalahkan oleh tantangan tantangan yang dihadapi. Indonesia harus menang. Maka kita ingin memacu kinerja NU ini supaya bisa mengawal kemenangan Indonesia, menyumbangkan sesuatu yang bermakna secara sungguh-sungguh untuk menangnya Indonesia di dalam pertarungan yang krusial. 


Yang penting saya nunggu lagi Njenengan: “Selamat datang 102 tahun.” 


Sekarang saya sudah ndak anu. Kalau kemarin itu kan saya berpikir tentang tanggung jawab - tanggung jawab, tentang beban dan lain sebagainya. Saya kira sekarang lebih syukur, akhirnya gesturenya harus dengan cerdas. 


Ini personal sekali, Gus. Waktu Njenengan di Surabaya itu Satu Abad, Njenengan meneteskan air mata?


Iya. Bagaimana tidak? 100 tahun, Satu Abad Nahdlatul Ulama itu. Dan saya ketiban takdir untuk menjadi Ketua Umum dalam momentum ini.


Oke-oke, oke.


Demikian, karena waktu sudah sangat mepet ya. Tapi dari pembicaraan dengan ketua Umum PBNU tadi, saya memang sama mengharapkan bahwa di masa depan sudah tidak ada lagi semacam inferiority kompleks, atau kalau dalam bahasanya Gus Yahya itu kere lawasan, agar NU di masa depan bisa membangun peradaban dan tidak terjebak lagi dalam keapesan-keapesan masa lalu – seperti yang tadi dikatakan Gus Yahya – atau the series of unfore to net event. Terima kasih. Terima kasih, Gus Yahya. Terima kasih kepada para pemirsa NU Online. Sampai jumpa di wawancara berikutnya.


Wallāhul muwaffiq ilā aqwamith tharieq


Wassalāmualaikum warahmatullāhi wabarakātuh

Wa’alaikumsalām warahmatullāhi wabarakātuh