Obituari

Bisri Effendy dan Jalan Bisriyah

Rab, 19 Agustus 2020 | 09:45 WIB

Bisri Effendy dan Jalan Bisriyah

Almarhum Bisri Effendy. (Foto: dok. NU Online)

Ketika mendengar kabar kematian Bisri Effendy, saya kaget dan termenung sejenak. Batin ini mengingat sosoknya sebagai guru penyabar dan telaten. Ia secara suka rela menemani banyak orang seperti saya dan secara umum anak-anak muda NU, untuk mengenali a-b-c-nya realitas kehidupan.


Belum lama juga kematian menjemput guru-guru kami, bergantian dan susul-menyusul. Banyak orang dari kami sedih dan lemas mendengar kabar kematian merenggut mereka. Kepergian Bisri Effendy yang terakhir, tentu saja, kehilangan besar bagi keluarga dan murid-muridnya seperti kami. Jejaknya begitu luas dan mendalam, mungkinkah kami menyembunyikan rasa sedih kehilangan sosok yang seperti itu?


Pak Bisri, demikian saya memanggilnya, memang selalu bilang hanya ”menemani konco-konco”. Belakangan saya tahu, peneliti LIPI yang mengajukan pensiun dini tersebut ingin menemani tumbuh-kembangnya pribadi-pribadi anak-anak muda NU secara intelektual, sosial, dan emosional.

 

Sebagaimana guru-guru lain yang sudah diberitakan meninggal pada hari-hari yang lalu dan guru-guru yang masih hidup, dia melayani hangat orang-orang yang mengajaknya diskusi dan belajar. Dia betah berjam-jam mendengar orang bercerita.


Bersama koleganya seperti Ahmad Suaedy, Abdul Mun’im DZ, dan Ahmad Baso, Bisri Effendy mendirikan lembaga kajian dan advokasi kebudayaan Desantara Institute for Cultural Studies pada 17 November 1999 di Depok, Jawa Barat. Melalui lembaga ini, ia terlibat dalam berbagai kegiatan seperti Madrasah Emansipatoris (ME), Halaqah Kebudayaan antar-komunitas agama dan komunitas adat, advokasi komunitas, dan kajian kebijakan atau regulasi.


ME adalah paket kelas belajar bersama yang dirilis pada 2002 untuk anak-anak muda berlatarbelakang pendidikan pesantren. Saya sendiri adalah diantara ratusan alumni madrasah tersebut yang tersebar di seluruh Indonesia dari Aceh hingga Papua. Diskusi sehari-hari tetap lanjut di Kantor Desantara maupun di rumahnya yang asri (banyak alumni yang sering berkunjung ke Desantara atau kediamannya di Depok).


Pada tahun 2006, beruntung saya dan Mujtaba Hamdi (kini Direktur Eksekutif Wahid Foundation) diminta oleh Pak Bisri untuk terlibat dalam jejaring programnya yang luas. Desantara memiliki jejaring mitra kelembagaan yang sebagian besar dikelola oleh para alumni ME. Di antara mitra tersebut adalah Lapar (Makasar), Averroes (Malang), Naladwipa Institute (Samarinda), Fahmina (Cirebon), Pakuan (Bandung), Komunitas Adzan (Tasikmalaya), Merak (Ponorogo) dan lain-lain.


Selama satu bulan penuh kami dan kawan-kawan jejaring Naladwipa tinggal bersama komunitas Suku Dayak di Desa Lung Anai, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kedekatan kami berjejaring nyaris seperti satu keluarga besar.


***


Dalam banyak kesempatan, saya menyaksikan Pak Bisri adalah sosok guru yang par exellecent bagi siapapun baik kami peneliti muda maupun rakyat kebanyakan. Betapa tabahnya diadalam perbincangan biasa mendengarkan orang-orang sampai selesai bicara.


Biasanya dia hanya bilang: ”ya.. ya.. hm.. ya...hm” di tengah pembicaraan sambil mengangguk tanda apresiasi sekecil apapun atas pandangan kami. Lalu ia membantu mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan membenturkan apa yang kami bicarakan dengan kenyataan-kenyataan di sekeliling kita yang beliau sebut sebagai ”ayat-ayat kehidupan”. Yang terakhir ini harus menjadi acuan.


Saya ingat, Pak Bisri selalu mengingat pada kami tentang seringnya ada kesenjangan antara apa yang orang-orang pikirkan di meja diskusi dan realitas kehidupan yang senyatanya. Sebagai peneliti senior di LIPI, ia tahu betul bahwa pertanyaan-pertanyaan yang bermutu sangat menentukan perolehan jawaban yang bermutu.


Karena itu pintar mengemukakan pertanyaan, katanya, adalah kunci bagi peneliti. Lewat pertanyaan-pertanyaan tersebut, ia ingin mendorong kami untuk mencari jalan berpikir alternatif yang mungkin. Tujuannya adalah agar kami mampu memberdayakan diri dan sesama.


Dengan cara seperti itu, menurut saya, boleh dibilang Pak Bisri membantu orang-orang untuk mencapai kematangan berpikir, bersikap dan bertindak. Jelas butuh energi besar dan vitalitas atau daya hidup yang tinggi untuk melakukan praksis ”konsientisasi” seperti itu.


***


Di sela-sela workshop LPBINU, 15 Agustus 2019 lalu, saya berkunjung ke kantor redaksi NU Online. Setelah melahap sepiring makan siang yang ditawarkan, Suwadi D. Pranoto menghampiri saya.


Wasekjen PBNU itu bercerita pengalamannya berjumpa dengan tetua adat Dayak di Kalimantan. Ia kaget diminta untuk menyembelih seekor ayam dalam satu upacara ritual yang misterius. Sebagai orang luar, semula ia menolak atas dasar apa yang membuatnya harus ikut serta dalam upacara seperti itu.


“Ini ritual tua bagi mereka, jadi saya tidak bisa main-main,” kata Suwadi. Segera ia menemui para tetua adat Dayak di suatu ruang tertutup.


Dalam suatu pembicaraan antar-keduanya, tetua adat mengajukan pertanyaan: “Apakah PBNU dulu dan PBNU sekarang masih sama?” Yang dijawab lugas oleh Mas Suwadi bahwa “PBNU dulu, PBNU sekarang, PBNU akan datang sama. PBNU ingin semua anak bangsa yang majemuk ini bersaudara, rukun, saling menghormati”.


Mengaku puas dengan jawaban tersebut, Mas Suwadi baru menyadari bahwa permintaan tetua adat tersebut adalah bagian dari ritual persaudaraan. Menurutnya, hanya orang yang dianggap terpercaya diizinkan terlibat dalam upacara adat. Diminta mewakili PBNU oleh tetua adat, Mas Suwadi pun menyembelih ayam dalam ritual tersebut. “Bismillah,” tetesan darah ayam menjadi saksi.


Sekelumit kisah itu mengantarkan kami pada satu kenangan tersendiri mengenai inisiasi Pak Bisri dalam Halaqoh Kebudayaan Desantara yang menjembatani dialog antar tokoh-tokoh agama dan tokoh adat di masa lalu. Kegiatan ini mempertemukan para tetua adat, komunitas pesantren, budayawan dan seniman.


Halaqoh memungkinkan mereka untuk berdialog dari hati ke hati, saling belajar dan saling memahami titik beda dan titik temunya. Mereka juga bisa saling mengapresiasi ekspresi kebudayaan yang berbeda-beda lewat cara gelar pertunjukan kesenian yang ditonton bersama.


Saya kira masih banyak hal yang dapat diceritakan oleh para murid Pak Bisri untuk mengenang kepergiannya. Kita semua memang kehilangan, dan setiap kematian orang baik selalu membawa pesan: “lanjutkan”.


Penulis: Muhammad Nurul Huda

Editor: Fathoni Ahmad