Obituari

Catatan Savic Ali: Hari-hari Terakhir Gus Im

Sab, 1 Agustus 2020 | 09:50 WIB

Catatan Savic Ali: Hari-hari Terakhir Gus Im

Gus Im (kanan) bersama sejarawan NU, KH Agus Sunyoto (Foto: A Razak)

"Sampeyan ngerti khizib sing dilebokke lewat getih kuwi ora?" tanya Gus Im dalam percakapan terakhir kami minggu lalu. 

 

"Gak tahu," jawabku. "Lha sampeyan ngertine seko ngendi?"

 

Ia tak merespons. Tatapannya ke atas, dan tangannya bergerak-gerak seolah sedang menuliskan sesuatu di udara. Ia berhenti menggerakkan tangan saat aku bertanya, "Gi kepikiran opo?"

 

Sepanjang satu bulan di rumah sakit, Gus Im memang seperti tak berhenti berpikir. Ia berbicara apa saja. Ia bercerita tentang kejadian-kejadian masa lalu maupun masa kini. Pikirannya seolah mengembara ke berbagai wilayah yang tak sungguh-sungguh aku kenali. Sebagian omongannya pernah diceritakan padaku sebelumnya, tapi sebagian lagi belum pernah. Sebagian ceritanya agak utuh dan relatif jelas, sebagian tidak.

 

Itu juga dialami oleh Nur Lodzi Hady, yang bersamaku dan Mbak Asti (istri beliau) bergantian nungguin. Bahkan dokter pun diceritain hal-hal yang tak sepenuhnya ia pahami. Menjawab WhatsApp ucapan terima kasihku karena telah berikhtiar menyembuhkan Gus Im, Dokter Kusman, psikolog, menjawab, "Terima kasih juga. Saya banyak tambah wawasan selama mengenal almarhum meskipun hanya sesaat. Mudah-mudahan tetap berlanjut silaturahmi kita."

 

Kepada dokter, Gus Im menceritakan banyak hal. Dari tema-tema dalam negeri maupun luar negeri. Kadang tema dunia lain, yang membuat dokter tidak paham. Awal-awal Dokter Kusman agak sulit memahami jalan pikiran Gus Im. Juga agak bingung kepada Gus Im yang meski sudah dikasih obat tidur tapi gak tidur-tidur juga. Tapi setelah aku ceritakan cukup, banyak Pak Dokter mulai memahami pasiennya. Aku beberapa kali tanya Gus Im, "Wingi turu jam piro?"

 

Ia jawab, "Jam limo."

 

Problem tidur dan pikiran menjadi kendala pemulihan Gus Im pascaoperasi. Bekas operasi yang harusnya sudah kering tak kunjung baik, sehingga proses yang diperkirakan relatif pendek menjadi cukup panjang. Kesadarannya naik-turun, begitu pula ucapannya: suatu hari jelas tapi di hari yang lain tidak jelas. Berkali-kali ia melafalkan "Kullu nafsin dzaiqatul maut," seolah sudah siap dengan kematian yang akan ia hadapi. 

 

Beragam cara sudah aku coba untuk meredakan pikirannya yang terus bergolak. Pernah aku puterin Metallica, Janis Joplin maupun Beethoven, karena ia sempat ngomongin Beethoven. Juga pernah, saat kondisi sangat lemah, aku bilangin, "Wis, la haula wala quwwata Illa billah aja." Dan, ia menirukan dan meneruskan "aliyyil adzim." Juga sempet aku ceritain tentang Liverpool yang juara Liga Primer, dan ia menyahut sembari berkata, "Tapi balbalane masih?"

 

Selama sebulan keyakinanku naik-turun. Karena aku merasa situasinya memang lebih buruk ketimbang saat di Carolus, Fatmwati atau Siloam. Beberapa kali ia bilang ke kami yang nungguin untuk pulang aja. "Wis, sampeyan muleh wae."

 

Tapi pagi ini, Sabtu, setelah kritis persis satu minggu, beliau pulang ke pangkuan-Nya. Ia, sosok yang tak pernah takut akan kematian, akhirnya pulang, meski tidak dalam cara yang ia inginkan, yaitu mati di 'medan perang'.

Selamat berpulang, Gus....


Aku akan mengenangmu, karena sepertinya memang tak mungkin melupakanmu. Terlalu banyak pelajaran, spirit dan kasih sayang yang kau berikan padaku. Dan aku akan bertekad sepertimu, yang terus berjuang meski sadar ada pertempuran yang tak bisa dimenangkan. Kau telah berjuang melawan sakitmu, meski tahu bahwa beberapa penyakit yang kamu derita memang tak mungkin dikalahkan. Masih terngiang cerita Dokter Rofi (dokter bedah) yang selalu bertanya "Kita lawan, Gus?" dalam beberapa kali langkah medis yang harus diambil. Dan jawabmu, "Lawan, Dok...."

 

Tapi seperti kutipan ayatmu "Kullu nafsi dzaiqotul maut," juga ada pertempuran yang tak bisa dimenangkan. Ada batas yang harus kita terima sebagai manusia, yang sangat engkau sadari sepenuhnya. 

 

Savic Ali, Direktur NU Online