Obituari

KH Ahmad Ghazalie Masroeri, Bintang Pandu yang Telah Kembali

Jum, 21 Februari 2020 | 04:30 WIB

KH Ahmad Ghazalie Masroeri, Bintang Pandu yang Telah Kembali

KH Ahmad Ghazalie Masroeri. (Foto: NU Online)

“Menurut pandangan pribadi kiai, falakiyah sebenarnya seperti apa?” Pertanyaan itu saya ajukan pada KH Ahmad Ghazalie Masroeri, ahli falak dan Ketua Lembaga Falakiyah PBNU yang baru berpulang, dalam satu kesempatan rehat di tengah-tengah temu kerja nasional hisab rukyat bertahun silam. Beliau terdiam sejenak, tersenyum simpul dan lantas balik bertanya, “bapak bisa ceritakan tentang bintang-bintang?” Permintaan yang sekilas tak ada hubungannya terhadap pertanyaan saya.

Bintang-bintang adalah pelita di langit malam. Mereka bisa menjadi pemandu dalam menentukan arah mata angin, sebagaimana yang harus dikuasai para pelaut di masa silam dan kini pun masih diterapkan dalam sistem navigasi satelit orbit tinggi serta pesawat antariksa langlang planet dalam tata surya kita. Namun yang paling menakjubkan adalah temuan demi temuan dalam seabad terakhir. Bintang-bintang ternyata ‘hidup’, meski dalam rentang waktu jauh lebih panjang. Mereka lahir, lalu tumbuh jadi anak-anak, lalu jadi dewasa, kemudian menua dan akhirnya mati. Kematian yang menyiapkan bahan baku bagi bintang generasi selanjutnya.

Sebagai sebuah bintang, Matahari kita lahir sekitar 5 miliar tahun silam dalam proses yang bergemuruh memanfaatkan bahan-bahan yang telah ditinggalkan bintang generasi sebelumnya. Kelak Matahari kita akan membengkak hebat menjadi bintang raksasa merah di tahap akhir kehidupannya, sebelum kemudian mengecil dan mati sebagai katai putih. Bintang yang lebih besar menjalani tahap akhir kehidupannya yang jauh lebih dahsyat dengan meledak hebat sebagai supernova dan mati menjadi bintang neutron atau malah lubang hitam. Bintang terang Yad al-Jauza (Betelgeuse) di rasi al-Jabbar (Waluku) kelak akan menjadi bintang neutron kala mati, didahului supernova yang membuat langit malam di Bumi kita terang benderang laksana diterangi Bulan purnama selama 2 tahun penuh.

“Harapan saya, falakiyah seperti itu. Matahari, Bulan dan Bumi adalah tiga benda langit yang menjadi tetap fokus perhatian karena terkait sejumlah aspek ibadah. Namun di luar itu, falakiyah seharusnya juga mampu bertutur tata surya seisinya hingga betapa luasnya jagat raya,” lanjut beliau dengan penuh semangat.

Nampaknya beliau cukup terkesan saat di lain kesempatan salah satu dari kami di Lembaga Falakiyah PBNU menjelaskan tentang struktur jagat raya yang telah dipahami manusia hingga saat ini. Betapa cahaya dari galaksi terjauh membutuhkan waktu 13 miliar tahun lamanya agar bisa tiba di Bumi pada saat ini. Waktu yang sangat panjang, jauh melampaui umur peradaban manusia dan bahkan umur Bumi sendiri, sekaligus menggambarkan betapa luasnya semesta kita mengingat seberkas cahaya menempuh jarak 299.792 kilometer dalam sedetik.

“Itu membuat saya jadi merasa gimana ya. Kita anak-anak bermazhab. Para ulama mazhab demikian rajin menulis, ada yang kitab-kitab hasil karyanya sampai ratusan jumlahnya. Padahal beliau-beliau begitu sibuknya. Bagaimana dengan kita ?” lanjut beliau dengan nada retoris.

Lebih khusus beliau menyoroti ranah falakiyah. Kitab-kitab falak adalah karya monumental para ulama pada masanya dan menjadi bahan pembelajaran dimana-mana terutama bagi Nahdliyin. Namun falakiyah adalah sebuah ilmu pengetahuan yang terus berkembang seiring masa. Maka perlu kita tulis kitab-kitab falak berdasarkan pengetahuan masa kini. Karena dalam masalah pengetahuan, NU selalu berkembang mengikuti zamannya. Dari sinilah kemudian lahir pekerjaan penulisan kitab falak ‘babon’ NU, yang hingga kini masih terus dikerjakan.

Bagi yang mengenal KH Ghazalie Masroeri secara pribadi dan lekat dengan aktivitas keseharian, sesungguhnya beliau lebih mengesankan sebagai ahli fikih. Namun dalam pandangan publik, beliau lebih merupakan ahli falak. Jika Lembaga Falakiyah adalah wajah NU dalam ilmu falak, maka KH Ghazalie Masroeri adalah etalase dari Lembaga Falakiyah. Persepsi demikian melekat erat salah satunya karena beliaulah yang turut membidani lahirnya Lembaga Falakiyah dalam Muktamar Situbondo 1984. Muktamar yang menegaskan bahwa NU semenjak berdirinya tetap berpegang pada metode rukyat sebagai patokan utama awal bulan Hijriah, sementara hisab difungsikan sebagai pendukung rukyat.

Tiga bulan pasca muktamar, Lembaga Falakiyah (saat itu lajnah) pun lahir, tepatnya pada 5 Jumadal Akhirah 1405 H (26 Januari 1985), yang diresmikan oleh KH Radli Soleh (Wakil Rais Aam PBNU periode 1984-1989). KH Ghazalie Masroeri, yang saat itu menjadi Katib Syuriyah PBNU periode 1984-1989, ditugaskan menjadi Wakil Ketua yang menangani ranah rukyat, mendampingi KH Mahfudz Anwar (Pengasuh Pondok Pesantren al-Mahfudz Tebuireng Jombang) sebagai ketua yang menangani ranah hisab. Kedudukan wakil ketua terus diemban beliau hingga 2004, sementara ketua lajnah dipegang sahabat beliau KH Irfan Zidny mulai 1989. Pasca Muktamar Lirboyo 1999, barulah KH Ghazalie Masroeri menjabat ketua lajnah.

Sepanjang tiga dasawarsa terakhir Lembaga Falakiyah turut mendorong perkembangan ilmu falak yang luar biasa. Beragamnya sistem hisab yang berkembang di lingkungan NU mendorong diselenggarakannya penyerasian hisab. Sehingga angka posisi Bulan yang digunakan dalam almanak resmi NU merupakan hasil kontribusi setiap sistem hisab yang ada. KH Ghazalie Masroeri menyebut produk penyerasian hisab ini sebagai hisab jama’i, atau lebih lengkapnya hisab haqiqy tahqiqy ‘ashri kontemporer NU. Model penyerasian ini belakangan diadopsi juga oleh pemerintah Indonesia sebagai landasan bagi takwim standar nasional.

Rukyat pun berkembang cukup jauh. Bila semula rukyatul hilal dilaksanakan dengan metode cukup sederhana, dalam satu dasawarsa terakhir aktivitas rukyat berkembang dengan memanfaatkan perangkat-perangkat standar astronomi. Kini sistem teleskop robotik semi-otomatik, yang mampu mengikuti posisi Bulan maupun benda langit lain dari menit ke menit, telah umum digunakan oleh jajaran lembaga falakiyah baik di tingkat cabang maupun wilayah. Beberapa diantaranya bahkan melangkah lebih jauh dengan memaksimalkan instrumen pencitra (kamera) dengan teknik pengolahannya yang menyajikan gambar-gambar hilal nan memukau bahkan saat mata manusia tak mampu mengesaninya secara langsung (tanpa teleskop).

“Silahkan dikembangkan, ini pengetahuan,” tukas beliau saat kami menyampaikan perkembangan-perkembangan tersebut secara rutin. “Masalah fiqihnya itu bisa dibicarakan kemudian, “ tambah beliau. Kini praktik rukyatul hilal dengan faslitas-fasilitas tersebut telah diselenggarakan secara rutin setiap menjelang awal bulan Hijriyyah. Jadi tidak hanya terbatas pada tiga kesempatan saja (awal Ramadhan, awal Syawal dan awal Zulhijjah). Kini pondok pesantren yang dilengkapi fasilitas teleskop, bahkan dalam model observatorium mini, telah ada dimana-mana. Perguruan-perguruan tinggi Islam pun kini seakan berlomba membangun observatorium dan planetarium pendidikan, fasilitas yang bisa diakses Nahdliyin yang membutuhkan.

Wajah KH Ghazalie Masroeri senantiasa muncul dalam layar kaca dalam momen sidang itsbat penetapan awal Ramadhan dan dua hari raya. Dalam forum sidang yang sesungguhnya dan sidang-sidang pendahuluan (yang tak dijangkau liputan media), beliau adalah singa mimbar yang konsisten dan benteng yang kukuh membela prinsip-prinsip NU terkait penetapan awal bulan Hijriah. Meskipun survei Alvara menunjukkan sekitar 110 juta warga negara Indonesia yang beragama Islam mendasarkan awal puasa Ramadhan dan hari raya pada rukyat hilal, populasi yang lebih besar ketimbang jumlah Nahdliyin saat ini, namun dalam forum-forum hisab rukyat tak jarang NU berdiri sendirian membela prinsip rukyat hilal. Minoritas.

Dan KH Ghazalie Masroeri selalu memaparkan mengapa NU bersikap demikian, mulai dari aspek historis hingga argumen fiqih yang bernas. “Bukan tak mau berubah, namun perubahan harus melalui jalur yang benar. Bagi NU, perubahan ya lewat muktamar. Selama muktamirin memutuskan awal bulan Hijriah ditetapkan berdasarkan rukyat, ya itu yang saya bela,” tutur beliau pada saat kami duduk berdampingan di sela-sela sidang. Tak jarang sikap konsisten dan tanpa kompromi beliau tergolong ‘garang’, misalnya dalam forum Seminar Internasional Fikih Falak 2017.

Dimana beliau atas nama NU mengajukan minderheit nota atau nota keberatan terhadap rumusan Rekomendasi Jakarta saat tiada delegasi lain yang mengkritisi. “Penyatuan kalender,” papar beliau, “harus dimulai dari ranah fiqih. Karena secara historis seperti itulah kalender Hijriah di zaman Nabi SAW dan para sahabat. Ilmu falak jelas akan berkontribusi dalam menentukan aspek-aspek penyatuan, namun kata kuncinya ada di fiqih. Bisakah kita memulai penyatuan itu secara fiqih?”
         
Dalam lingkungan Lembaga Falakiyah, beliau tak hanya sekadar ketua. Melainkan juga guru, orang tua dan paran jujugan (sosok yang selalu didatangi) saat kami atau pegiat lembaga-lembaga lain di PBNU resah gelisah dengan beban masalah pribadi. Beliau juga selalu menempatkan kami secara terhormat. “Bapak sebaiknya terus menulis dan meneliti,” ujar beliau pada saya tiap kali bersua muka, padahal usia saya sepantaran dengan salah satu putranya.

Setiap pertemuan tak hanya membahas lika-liku organisasi dan perkembangan falakiyah yang musti direspon, namun juga diselingi aneka kisah hikmah dan sejarah. Sebagai tokoh tiga zaman yang mengalami langsung masa-masa agitasi PKI dan berlanjut dengan kekelaman Orde Baru, banyak kisah yang belum pernah kami dapatkan dalam teks-teks saat ini yang dituturkan beliau. Bagaimana represi yang dialami NU pada saat itu, termasuk tokoh-tokoh yang menjabat anggota parlemen (saat itu Umat Islam di Indonesia hanya direpresentasikan oleh satu partai). Bagaimana NU bertahan di tengah situasi tersebut. Bagaimana dinamika dalam NU sendiri untuk meresponnya. Dan sebagainya.

Layaknya bintang pandu di langit malam yang membantu menunjukkan arah, beliau terus mendorong generasi yang lebih muda untuk maju. Menginspirasi untuk bergerak. Agar tidak berpuas diri meski sudah berada di titik ini. “Kelak saya akan meninggal. Itu pasti. Namun Lembaga Falakiyah harus tetap ada. Dan bertambah maju. Teruslah meneliti, menulis, memberikan laporan. Tetap terus berkembang mengikuti zaman,” pesan menggetarkan beliau pada satu masa. Dari sana ide-ide berkembang untuk diwujudkan, mulai dari penulisan kitab falak ‘babon’, perluasan aktivitas rukyat hingga mencakup pengamatan gerhana, fenomena langit lain dan benda langit lainnya, ide penulisan buku khutbah khas falakiyah dan sebagainya.
 
Kini bintang pandu itu telah berpulang, kembali ke hadirat Allah SWT. Sugeng kondur kiai, Insyaallah husnul khatimah. Kami bersaksi anda adalah sosok yang sangat baik. Insyaallah akan kami teruskan perjuanganmu.
 

Ma’rufin Sudibyo, Pengurus Lembaga Falakiyah PBNU