Obituari

Nyai Zubaidah, Sosok Pencinta Al-Qur'an dari Tambakberas Jombang

Sab, 31 Juli 2021 | 04:30 WIB

Nyai Zubaidah, Sosok Pencinta Al-Qur'an dari Tambakberas Jombang

Nyai Hj Zubaidah (ketiga dari kiri) dalam sebuah kesempatan. (Foto: Dok. Keluarga)

Jombang, NU Online
Nyai Hj Zubaidah, salah satu tokoh sepuh di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Meskipun usianya sudah 82 tahun, kegiatan mengajar Al-Qur'an tetap berlanjut.


Nyai Zubaidah yang wafat pada Jumat, 30 Juli 2021, pukul 21.30 WIB di Jombang merupakan istri almarhum KH Nasrullah Abdurrohim. Keduanya merintis Ribath (asrama) As-Sa'idiyah Bahrul Ulum.


Nyai Zubaidah akrab disapa Ibu oleh para santrinya. Di usia lanjutnya, para santrinya tetap memanggil Ibu. Sebagai perlambang bahwa Nyai Zubaidah mengambil peran sebagai Ibu yang mengayomi para santrinya di pesantren. 


Menurut cucu Nyai Zubaidah, Akhmad Taqiyuddin, sang nenek berasal dari Keboan, sebuah desa di pinggiran sungai Berantas, Jombang. Ayahnya, Haji Sulaiman, adalah seorang saudagar di zamannya. Semua putra-putrinya dipondokkan di pesantren. Termasuk Nyai Zubaidah.


“Awalnya, Nyai Zubaidah belajar di Tambakberas pada 1952. Belajar di Madrasah Ibtida'iyah Tambakberas. Lalu melanjutkan di Porong Sidoarjo,” jelas Gus Taqi, sapaan akrab Akhmad Taqiyuddin kepada NU Online, Sabtu (31/7).


Nyai Zubaidah memiliki penguasaan yang mendalam terkait makharijul huruf dan tajwid. Ditambah bakat suara merdu yang ia miliki. Nyai Zubaidah kerap diminta memimpin pembacaan tahlil ataupun doa. Ke semuanya dilantunkan dengan bacaan yang mampu menyentuh relung sanubari pendengarnya.


Mondok di Surabaya
Pendidikan menengah Nyai Zubaidah ditempuh di Madrasah Muallimat NU Kawatan Surabaya yang dipimpin Kiai Wahab Turcham. Nyai Zubaidah menyebutnya Ustadz Wahab. Madrasah ini merupakan cikal bakal sekolah Khodijah sebelum pindah ke kawasan Wonokromo pada awal tahun 1960-an.


Di Madrasah Kawatan, Nyai Zubaidah pernah pula diajar oleh Kiai Bashori Alwi, pakar Al-Qur’an asal Singosari Malang. Nyai Zubaidah setiap hari berangkat dari Porong ke Kawatan Surabaya. 


Pada zaman itu, moda transportasi yang digunakan adalah trem atau kereta api. Agak mengagumkan memang. Di masa 5 tahun setelah Indonesia merdeka, sosok gadis santri telah bersekolah di luar kota tiap harinya. Dengan tetap tinggal di pesantren. 


“Hal ini tentunya berkat orang tua maupun pengasuh pesantren yang visioner terkait kemajuan putri dan santrinya,” imbuh Gus Taqi.


Pada 1952, Haji Sulaiman mengambil keputusan agar Nyai Zubaidah kembali mondok di Tambakberas. Kala itu adalah era kepengasuhan pendiri NU, KH A Wahab Hasbullah. 


Nyai Zubaidah menempuh pendidikan di Madrasah Muallimin Mu'allimat yang kala itu masih ditempuh empat tahun. Pengajian kitab di asrama Al-Lathifiyah saat itu, diampu oleh dzurriyah Kiai Hasbullah. Antara lain Kiai Sholeh Hamid, Kiai Malik Hamid, Kiai Nashrullah yang saat itu belum menikah, termasuk pengampu pengajian di Ribath Lathifiyah.


Teman seangkatan Nyai Zubaidah kala belajar di Tambakberas antara lain Nyai Wahibah, putri Kiai Wahib, cucu Kiai Wahab. Di Pesantren inilah, Nyai Zubaidah bertemu dengan Kiai Nashrullah, yang kelak menjadi jodohnya. 


Pernikahan mereka berdua berlangsung pada 1958. Kiai Nashrullah meminang seorang istri yang fasih bacaan Al-Qur'annya. Sesuai pula dengan harapan Nyai Zubaidah muda. Ia mendamba seorang suami sing iso ngaji, yang memiliki pemahaman agama yang mumpuni.


Pernikahan keduanya membuahkan enam keturunan. Lima putri dan seorang putra. Penguasaan yang baik akan tata Bahasa Arab, membuat Kiai Nashullah memberikan nama bersusunan idhafah yang unik bagi seluruh putra putrinya. 


Bukan sekedar unik, tapi juga memiliki visi yang mendalam terkait perjuangan. Sesuatu yang menjadi harapan pasangan Kiai Nasrullah dan Nyai Zubaidah. 


“Putra-putrinya yaitu Munhidlotul Ummah, Umdatul Khoirot, Roidatus Salamah, Zumrotus Sholihah, Muhammad Habiburrohman, dan Sa’adatul Athiyyah,” ungkapnya.


Perjuangan di Tambakberas 
Hari-hari Kiai Nashrullah dihabiskan untuk mengajar di Madrasah Aliyah Tambakberas (MAN 3 Jombang) dan Madrasah Muallimin Mu'alimat Bahrul Ulum. Sekitar tahun 1979, Kiai Nashrullah diamanahi menjabat sebagai Kepala Madrasah Muallimin Mu'allimat.


Selain itu, Kiai Nasrul bersama Kiai Chudlori, juga bertugas sebagai hakim honorer di Pengadilan Agama Jombang. Kiai Nasrullah juga membuka pengajian Tafsir Jalalain setiap usai Maghrib. 


Nyai Zubaidah setia mendukung perjuangan Kiai Nashrullah. Nyai Zubaidah selalu merelakan hartanya untuk perjuangan. Mulai dari harta peninggalan di Keboan hingga pekarangan yang dimiliki di Tambakberas. Semua digunakan untuk syiar pesantren dan madrasah.


Nyai Zubaidah mengajar di Madrasah Ibtida'iyah Tambakberas, Madrasah Tsanawiyah Tambakberas (MTsN 3 Jombang) dan MAN 3. Mata pelajaran yang sering diampu adalah hadits, mulai kitab Riyadhus Shalihin hingga Bulughul Maram.


Di samping itu, Nyai Zubaidah juga mengajar Al-Qur'an bagi anak warga sekitar. Warga kampung merasa nyaman belajar Al-Qur'an bersama beliau. 


Pesantren As-Sa'idiyah yang namanya dinisbatkan kepada Kiai Said, mulai dirintis sejak 1979 bersama sang suami. Sejak saat itu, Nyai Zubaidah setia menyimak bacaan Al-Qur'an para santri. Pekerjaan yang dilakukan sampai ajal menjemput. Sudah tidak terhitung berapa orang yang pernah diajarkan Al-Qur'an oleh Nyai Zubaidah.


Para santri yang memerlukan bimbingan secara khusus, karena sulit membaca Al-Qur'an, selalu dipanggil sendiri ke ndalem. Disimak hingga lancar, dibenarkan makhraj dan tajwid-nya. 


“Kegiatan ini tetap dilaksanakan oleh Nyai Zubaidah, di usianya yang di atas 80 tahun,” tambah Gus Taqiyuddin.


Nyai Zubaidah juga mengikuti kegiatan pengajian Muslimat NU dan Persaudaraan Haji Muslimat. Namun, aktivitas utamanya tetaplah mengajar di madrasah dan membina santri.


Keaktifan Kiai Nashrullah di Nahdlatul Ulama, hingga terakhir menjadi Katib Syuriyah PWNU Jawa Timur pada masa Rais Syuriyah KH Imron Hamzah, perjuangan merintis Pesantren As-Sa'idiyah dan SP/Madrasah I'dadiyah, tidak bisa dilepaskan dari kemampuan Nyai Zubaidah mengatur urusan rumah tangga.


Sosok teladan
Nyai Zubaidah berwatak penyabar, rela berkorban, suka mengalah, memprioritaskan orang lain (itsar). Senyumnya memancarkan sinar keteduhan dan aura menyejukkan bagi para santrinya. Sosoknya yang demikian tentu menjadi teladan bersama.


Tiap kali keadaan menuntut untuk mengorbankan harta demi perjuangan, Nyai Zubaidah selalu merelakan. Kiai Nashrullah selalu menguatkan dan memantapkan hati Nyai Zubaidah dengan perkataan ‘Orang yang berniat baik, pastilah Allah akan memudahkan urusannya’.  

Perkataan ini sesuai dengan Firman Allah: walladziina  jaahaduu fiinaa lanahditannahum subulanaa. Orang yang berjuang di jalan Allah, pasti Allah tunjukkan jalannya.


Keistimewaan Nyai  Zubaidah yaitu selalu mengimami jamaah di asrama putri As-Sa'idiyah, menjadi inspirasi bagi para santriwati untuk meneladaninya. Ia juga Istiqamah melaksanakan shalat dhuha, membaca Al-Qur'an dan berjama'ah setiap hari. 


Pemuliaan terhadap tamu (ikramud dhuyuf) adalah sifat yang kental dimiliki Nyai Zubaidah. Tiap menjelang idul Fitri, bersama beberapa santri yang tidak pulang, Nyai Zubaidah memasak sendiri kue hidangan hari raya. 


Nyai Zubaidah sangat memperhatikan suguhan untuk tamunya. Mengisi sendiri toples di meja tamu. Membungkus plastik satu per satu kue yang dihidangkan agar tetap layak dan tidak melempem. Tamu yang menginap, selalu dipastikan terjamin makanannya. Kamar tamu yang layak dibangunnya di lantai atas ndalem As-Sa'idiyah.
 

“Beliau sering mengutip sabda Rasulullah, khoirul a'mmali adwamuhaa, wa in qalla. Sebaik-baik amal adalah yang ajeg dilaksanakan, walaupun sedikit,” tutup Gus Taqiyuddin.


Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Musthofa Asrori