Opini

17 Oktober 2019: Selamat Datang Kewajiban Bersertifikat Halal (1)

Sab, 5 Oktober 2019 | 08:00 WIB

17 Oktober 2019: Selamat Datang Kewajiban Bersertifikat Halal (1)

Ilustrasi NU Online

Oleh Mastuki HS

 

Menjelang pemberlakuan kewajiban bersertifikat halal yang akan dimulai 17 Oktober 2019, pihak yang paling merasa kuatir dan bertanggung jawab adalah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Betapa tidak, 17 Oktober 2019 tinggal hitungan jari, tapi tanda-tanda ke arah persiapan launching kewajiban sertifikasi halal belum kelihatan dilakukan lembaga ini. Ada pihak yang pesimis mandat BPJPH mengemban tugas menyelenggarakan jaminan produk halal (JPH) sulit direalisasikan. Bahkan pihak ini terang-terangan meminta BPJPH tidak memaksakan pelaksanaan sertifikasi halal per 17 Oktober karena tidak siap baik infrastruktur, SDM, maupun suprastrukturnya. Tuntutan yang mengemuka, kalau memang BPJPH belum siap, serahkan saja penyelenggaraan JPH kepada lembaga yang selama ini berkecimpung mengurusi sertifikasi halal.

 

Benarkah BPJPH belum siap melaksanakan mandat Undang-Undang nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal? Jika 17 Oktober 2019 kewajiban bersertifikat halal belum bisa dilaksanakan, apa solusinya? Jawaban klise bisa disampaikan: bagaimana mungkin BPJPH bisa melaksanakan tugas berat ini wong perangkat regulasinya belum lengkap. Coba hitung mundur, meski UU JPH diundangkan 2014 tetapi aturan turunannya berupa Peraturan Pemerintah (PP) baru ditandatangani Presiden Jokowi pada 29 April 2019, dan diundangkan 3 Mei 2019. Sementara banyak pasal dalam UU JPH maupun PP memberi amanat untuk “diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agama (PMA)”. Meski pejabat dan staf BPJPH menyiapkan draf PMA secara paralel saat ‘menunggu’ keluarnya PP, klausul dan norma yang dirancang dalam Rancangan PMA (RPMA) amat banyak. Ada 15 pasal dalam PP dan 12 pasal di UU JPH yang langsung mengamanatkan ke PMA untuk pengaturan teknis. Akibatnya, berkali-kali PMA terpaksa bongkar pasang. Entah berapa kali rapat, kordinasi, FGD, dan pertemuan digelar untuk membahas draf atau rancangan PMA. Baik dengan kementerian/lembaga/instansi terkait maupun dengan pakar dan unit internal Kementerian Agama.

 

Dari MUI ke BPJPH

 

Penyiapan aturan teknis berupa PMA memang menjadi keniscayaan. Karena norma dan klausul dalam UU maupun PP banyak bersifat general berupa diktum umum, meski ada yang detil pengaturannya, tapi juga banyak yang perlu penjabaran agar bisa operasional. Kerjasama internasional, misalnya, di PP sudah detil pengaturannya. Namun saat menyangkut keterlibatan MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam penilaian kesesuaian (khususnya syariah) maupun mutual recognition and agreement atau dalam bahasa normanya: saling pengakuan dan keberterimaan, rumusan yang terdapat di PP tak mencukupi. Karenanya perlu elaborasi dan kejelasan. Rapat pembahasan dengan MUI menyepakati agar norma di PMA perlu secara clear menegaskan positioning MUI dalam skema penetapan kriteria kehalalan dan akreditasi lembaga halal luar negeri (LHLN).

 

BPJPH menerima banyak proposal kerjasama atau pendirian lembaga halal dari berbagai negara atau halal certification body. Ada yang ingin memperpanjang kerjasama penerimaan sertifikat halal luar negeri (SHLN) yang sudah berjalan selama ini dengan MUI. Ada inisiatif untuk melakukan MoU baru dengan BPJPH. Banyak perwakilan negara yang datang ke BPJPH menanyakan bagaimana mekanisme dan prosedur penerimaan sertifikat halal dari negara mereka ke Indonesia. Mengacu pada norma di PP maupun UU tak cukup jelas bagaimana mekanisme kerjasama dimaksud dilakukan. Karena jaminan produk halal akan beralih ke BPJPH sebagai representasi negara, pastilah ada pelibatan otoritas kementerian yang bertanggung jawab dalam urusan luar negeri, yakni Kemlu. Maka kordinasi dengan Kemlu mutlak dilakukan.

 

Pengaturan di PMA tak cukup hanya itu. Ketika melibatkan halal certification body, realitasnya ada negara yang tak memiliki lembaga halal di negara asalnya (disingkat: LANA). Kalaupun ada LANA, tak otomatis lembaga halal di suatu negara memiliki kesamaan kriteria penetapan halal seperti berlaku di Indonesia (MUI sebagai lembaga otoritas fatwa penetapan kehalalan produk dan LPH yang bertugas pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk). Kini tambah ada unsur pemerintah yang pelaksanaannya berada di BPJPH. Kian kompleks kondisinya. Padahal dalam klausul “pengakuan dan keberterimaan” sertifikat halal luar negeri maupun penilaian hasil kesesuaian (akreditasi), ada lembaga penilaian kesesuaian di Indonesia yang diberi mandat tugas itu, dalam hal ini KAN (Komite Akreditasi Nasional). Jadi, sebelum melakukan MoU, dua negara yang akan melakukan kerjasama di bidang halal perlu memiliki ketentuan yang sama; kriteria penetapan kehalalan produk yang disepakati; status dan kesiapan lembaga halalnya; dan tak kalah penting: dimulai dari G to G cooperation yang dalam hal ini otoritas Kemlu.

 

Itu gambaran konkrit betapa merumuskan kerjasama di bidang halal dengan LHLN tak semudah yang dibayangkan. Krusial. Banyak pihak yang terlibat dengan otoritas masing-masing. Maka dari itu, perumusan ke dalam norma PMA membutuhkan waktu dan diskusi berkali-kali sampai pada norma yang disetujui antar-pihak. Dan disini uniknya PMA halal ini. Mengatur satu materi hukum dengan atau harus melibatkan banyak kementerian/instansi terkait. Pemandangan seperti itu sudah dimulai saat meng-goal-kan UU maupun PP JPH beberapa tahun lalu. Saat pembahasan RPMA, hal yang sama tak kalah rumitnya.

 

Salah satu yang berubah dari mekanisme penyelenggaraan jaminan produk halal dibanding sebelumnya adalah proses sertifikasi halal. Jika sebelumnya prosesnya berada di Majelis Ulama Indonesia (MUI), karenanya relatif mudah kordinasinya dalam satu payung lembaga. Dengan lahirnya BPJPH, proses sertifikasi ditangani beberapa lembaga: BPJPH, LPH, dan MUI plus kementerian terkait. Pendaftaran produk dari pelaku usaha harus melalui BPJPH. Setelah pemeriksaan dokumen kelengkapan, berkas diserahkan ke LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) untuk diperiksa atau uji laboratorium. Hasil pemeriksaan/pengujian yang sudah diverifikasi BPJPH selanjutnya diajukan ke MUI untuk mendapatkan penetapan kehalalan produk melalui sidang fatwa. Barulah jika dinyatakan halal oleh MUI, BPJPH mengeluarkan serfifikat halal. Mbulet gak tuh? Terkesan berbelit-belit, tapi itulah prosedur dan mekanisme baru yang harus ditempuh pelaku usaha. Dalam perumusan di PMA, tatacara sertifikasi halal ini menguras energi tersendiri. 

 

Belum lagi mekanisme pembayarannya. Sebagai Satker PK-BLU (Pengelola Keuangan Badan Layanan Umum), BPJPH tak dapat menetapkan biaya layanan sendiri. Melainkan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Tarif yang akan dijadikan patokan dalam pengenaan biaya layanan yang banyak: sertifikasi halal, akreditasi LPH, registrasi SHLN, registrasi auditor halal, uji kompetensi, pendidikan dan pelatihan penyelia halal, dan lain-lain. Kordinasi penetapan tarif layanan dengan Kemenkeu tak kalah peliknya. Menyangkut besarannya maupun komponen dan rinciannya. Menggunakan standar fix cost-kah atau variabel cost (rentang biaya). Satu harga untuk semua atau menggunakan range? Sementara jenis produk dan variannya begitu banyak.

 

Ada produk yang bahannya sederhana, terdiri tiga atau lima bahan. Di sisi lain ada bahan yang titik kritisnya sampai bertingkat A-B-C-D. No risk, low risk sampai high risk. Dalam menentukan definisi produk, jenis produk, kelompok produk, dan varian seperti itu, debatnya gak ketulungan. Apalagi kategori pelaku usaha atau perusahaan juga berlevel-level: besar, menengah, kecil, mikro, bahkan super mikro. Apakah perusahaan besar akan dikenakan tarif yang sama atau berbeda dengan pedagang kaki lima. Sebagai produk, keduanya sama-sama dikenakan kewajiban bersertifikat halal. Kalau dibedakan, apa ukuran dan kriterianya? Debat ini terjadi beberapa kali sampai Sekretariat Wapres yang konsen tentang jaminan produk halal “turun tangan” dengan mengundang stakeholders halal (pelaku usaha, asosiasi, perusahaan) maupun kementerian dan instansi terkait seperti Kemenkeu, Kemenko PMK, BPJPH, MUI, dan LPPOM-MUI untuk bisa mencapai kata sepakat mengenai besaran biaya atau tarif. 

 

Penetapan tarif memang krusial karena menyangkut kepentingan pelaku usaha yang berbeda-beda. Bagi perusahaan besar dan menengah barangkali tarif tidak menjadi masalah. Namun tidak demikian bagi usaha kecil dan mikro. Dari 20-an juta usaha mikro dan kecil diestimasikan separuh lebih terkena kewajiban bersertifikat halal. Meski PP dan PMA ini menoleransi adanya “penahapan” dalam pelaksanaan kewajiban bersertifikat halal, misalnya produk makanan dan minuman diberi waktu antara 17 Oktober 2019 sampai 2024 (5 tahun). Grass period atau tenggat waktu ini tak serta merta bisa dimanfaatkan dengan baik dan tepat waktu oleh pelaku usaha kecil dan mikro. Salah satunya ya soal biaya. “Wong untuk membiayai produksi saja sudah ngos-ngosan, kok masih harus mensertifikasi produk”, begitu kira-kira argumennya.

 

Keluar dari kerumitan ini, PP sebenarnya memberi way out : “Dalam hal pelaku usaha merupakan usaha mikro dan kecil, biaya sertifikasi halal dapat difasilitasi oleh pihak lain: pemerintah pusat melalui APBN, pemda melalui APBD, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, atau komunitas” (PP Pasal 62). Ketika merumuskan secara operasional nomenklatur “fasilitasi” ini, tim RPMA bergelut dengan argumen bagaimana mekanisme fasilitasi itu diberlakukan untuk pengurusan sertifikasi halal. Apakah gratis atau membayar, berapa besarnya. Meliputi apa saja. Bagaimana mekanismenya. Kalau hendak melibatkan Kementerian Koperasi dan UKM atau Pemerintah Daerah, bagaimana peran mereka masing-masing.

 

Beberapa asosiasi usaha makanan dan minuman (mamin) mengusulkan agar pemerintah mensubsidi alias menggratiskan pengurusan sertifikat halal untuk usaha mikro dan kecil. Implikasi dari usulan ini serius. Pertama, kalau usulan ini diterima, bagaimana perolehan pemasukan BPJPH sebagai PK-BLU yang harus mengurusi administrasi dan kebutuhan operasional lainnya? Kedua, kalau sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro digratiskan, siapa yang menanggung biaya operasional LPH dalam memeriksa atau menguji produk, dan MUI yang melaksanakan sidang fatwa. Ketiga, makna fasilitasi yang diberikan pihak-pihak di atas perlu pengaturan. Siapa yang menetapkan. Keempat, kalau subsidi diberlakukan, siapa yang berhak menerima. Berapa banyak pelaku usaha. Bagaimana pelaksanaannya. Dan seterusnya. Artinya, penormaan dalam PMA mengatur pekerjaan yang dilakukan oleh lembaga lain. Dan itu perlu kordinasi dan konsolidasi, MoU atau nota kesepahaman agar pelaksanaannya tak salah sasaran.

 

Elemen penting sertifikasi halal adalah LPH. Sebulan sebelum pemberlakuan kewajiban sertifikat halal, tak satupun LPH yang berhasil didirikan oleh BPJPH. Padahal banyak ormas keagamaan, yayasan atau perkumpulan, perguruan tinggi negeri, unit di kementerian/lembaga, dan juga pesantren yang sudah mengajukan proposal ke BPJPH. Numpuk di meja. Tak bisa dieksekusi. Kenapa? Karena perangkat regulasinya tak mencukupi. Dan itu ada di rumusan PMA yang secara operasional mengatur tata cara pendirian LPH. Jadi, meskipun kebutuhan adanya LPH amat mendesak, BPJPH belum bisa mengeluarkan surat keterangan akreditasi LPH. Lagi-lagi, dalam pemeriksaan keabsahan dokumen dan visitasi lapangan atas pengajuan LPH, BPJPH melibatkan MUI untuk memastikan kelaikan dan kelayakan proposal, terutama dari aspek kesesuaian syariah/halal terpenuhi. Poin ini tidak diatur eksplisit di PP, namun penting dinormakan secara implisit di PMA.

 

Salah satu persyaratan pendirian LPH harus memiliki minimal 3 (tiga) orang auditor halal. Masalahnya, auditor halal ini harus terlebih dahulu mengikuti diklat (pendidikan dan pelatihan) dan uji kompetensi yang diselenggarakan MUI (PP, Pasal 22). Sebagai ilustrasi, kalau di tiap propinsi akan berdiri 3 (tiga) LPH, kebutuhan auditor halal yang harus terpenuhi minimal 300 orang. Untuk melatih dan menguji kompetensi auditor sesuai persyaratan regulasi, perlu waktu dan biaya, juga kecepatan menyiapkan diklat dan uji kompetensi. Meski sudah ada SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) yang disepakati BPJPH dan MUI, pelaksanaan uji kompetensi tak serta merta dapat direalisasikan dalam waktu cepat. Apa implikasinya? Persyaratan pendirian LPH akan terkendala. Padahal LPH adalah homebase para auditor halal. Rancangan PMA mengatur detil tatacara pengangkatan, pemberhentian, pengajuan, registrasi, diklat, dan uji kompetensi auditor halal.

 

Penulis adalah Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, BPJPH