Opini SERIAL ILMU NAHWU

Aliran Kufah

Sen, 16 Juni 2014 | 12:00 WIB

Syafiq Hasyim
Setelah kita sedikit menjelajah Aliran Basrah yang berakhir pada kodifikasi Imam Sibawayhi dengan Al-Kitabnya, maka saat saatnya sekarang beralih pada ulasan mengenai aliran Kufah. Tokoh dari aliran ini juga banyak, namun beberapa tokoh mainstream yang disebutkan di sini.
<>
Tokoh-tokoh itu adalah Abu Ja’far Ar-Rawa’isi, Abu Muslim Muʿad Al-Harra’, keduanya adalah tonggak, sementara pengikutnya adalah ‘Ali b. Hamza al-Kisa’i dan berakhir kesempurnaan aliran ini di tangan Abu Zakariya Yaḥya b. Ziyad al-Farra’.Tokoh terakhir ini sebanding dengan Imam Sibawayhi pada aliran Basrah.

Mengapa kedua aliran ini sangat begitu penting di dalam perkembangan ilmu tata bahasa Arab, salah satu jawabnya adalah karena sejarah keseluruhan diskursus, perdebatan, dan teori-teori tentang Nahwu berikutnya berasal dari perbedaan yang terjadi pada kedua aliran tersebut (Abduh ar-Rajiḥi, Durus fil-Madhahib an-Naḥwiyya, h. 109).

Secara historis, aliran Kufah pada mulanya adalah mengamalkan teori-teori yang sudah dibangun oleh aliran Basrah karena kemunculannya yang datang kemudian setelah aliran Basrah. Namun lambat lain, aliran Kufah menemukan cara mereka sendiri –manhaj—yang berbeda dengan aliran Basrah.

Dalam sejarah Islam, Kufah sendiri merupakan salah satu tempat imigrasi (hijrah) kalangan sahabat Rasulullah. Ilmu-ilmu keislaman muncul di sini, namun yang terbesar adalah ilmu qira’ah (bacaan). Ada tiga aliran qira’ah, dari tujuh aliran (qira’ah sabʿah) yang mainstream, muncul dari kawasan ini: bacaan Imam ʿAṣim, bacaan Imam Ḥamzah dan Al-Kisa’i.

Perlu diketahui di sini bahwa ilmu qira’ah adalah ilmu tentang membaca Al-Qur’an yang didasarkan pada riwayat –sejarah pembacaan yang diterima dari Nabi–, talaqqi (pertemuan langsung, dalam tradisi pesantren Jawa disebut sorogan) baik dengan Rasul, Sahabat maupun guru-guru. Karenanya dalam tradisi bacaan yang tujuh ini seseorang tidak bisa ditolerir jika melantunkan pembacaan menurut model salah satu bacaan yang tujuh jika tanpa disertai proses pertemuan langsung dengan guru tersebut dan mendapatkan ijazah (izin) untuk melantunkannya.

Pasti kita ingat qari’ terkenal kita, Haji Mu’ammar ZA dan Khumaidi yang melantunkan beberapa ayat Al-Qur’an dengan contoh-contoh imalah yang indah. Kedua pembaca Al-Qur’an berani melantunkannya karena keduanya sudah mendapatkan ijazah. Konsep ini didasarkan pada argumen bahwa karena ilmu qira’ah ini adalah ilmu cara membaca Al-Qur’an yang didasarkan pada cara baca yang nyata (kongkrit), artinya bersumber pada Rasulullah.

Qira’ah bukan berdasar pada manṭiq (logika), ijtihad (penggalian), dan ta’wil (penafsiran), namun berdasar pada riwayat dan talaqqi. Ini merupakan metode paling valid dalam proses transmisi tekstual (naqliyyah) kebahasaan.

Lalu dimana hubungannnya dengan aliran Kufah ini?

Ternyata, tradisi qira’ah Kufah lebih banyak terbentuk dari proses aqliyah kebahasaan yang banyak didasarkan pada pertimbangan argumen-argumen Nahwiyyah (Abduh Ar-Raajihi, Duruus, h. 90). Atas fenomena di atas, para peneliti dan sejarahwan ilmu Nahwu menyatakan bahwa aliran Kufah memperluas fungsi dan makna riwayat dalam tradisi ilmu Qira’ah dengan cara mengambil satu contoh sebuah bacaan tertentu untuk diteoretisasikan pada kasus-kasus yang lain atau menjadikannya kaidah umum.

Hal ini berbeda dengan karakter aliran Basrah yang justru banyak membangun contoh-contoh sementara kaidah yang dibangun hanya satu. Mungkin secara simplistik bisa saya katakan: aliran Kufah melahirkan banyak teori nahwu dari satu contoh saja –generalisasi–, sementra aliran Basrah membangun satu teori nahwu dari banyak contoh (ibid.).

Contoh perbedaan keduanya lagi misalnya, aliran Basrah dari sejarah kemunculan sampai perkembangannya pada masa kini, arenanya lebih banyak terfokus pada Nahw Al-ʿArabi (kasus Arab), bahkan terlihat kecenderungan adanya ta’assub kearaban dari sebagian pengkaji Nahwu aliran Basrah.

Sementara apa yang dilakukan oleh aliran Kufah adalah realisme bahasa Arab (waqʿi al-lugha) itu sendiri. Aliran Kufah mengkaji bahasa Arab dari materi-materi kebahasaan yang prinsip-prinsip empiris artinya melalui jalan pengamatan atas model yang berulang-ulang (taqririyyah). Hal ini berbeda dengan aliran Basrah yang cenderung lebih berdasar pada model filosofis.

Contoh dari hal ini misalnya adalah sebuah kejadian dimana suatu saat Al-Kisaa’i ditanya di forumnya Yunus –tokoh aliran Basrah mengapa aliran Kufah membaca “la aḍribanna ayyihim”, mengapa tidak “la aḍribanna ayyahim.” (lihat kalimat yang saya tebalkan). Al-Kisaa’i menjawab: “ayyun hakadha khuliqat” (demikianlah kata ayyun diciptakan). (Lihat kisah ini pada Jalaluddin Abduraḥman As-Suyuṭi dalam Al-Mazhar fi Ulum al-Lugha wa Anwa’iha, vol. 2, h. 373).

Menurut Abduh Ar-Rajiḥi, “hakadha khuliqat” merupakan contoh bagaimana inti dari pandangan empirisisme bahasa aliran Basrah. Artinya, Al-Kisaa’i di sini tidak menjelaskan alasan-alasan filosofis mengapa ayyihim tidak dibaca naṣab bi al-fatḥ, akan tetapi malah dibaca bi al-kasra (jer). Satu contoh perbedaan lagi adalah tentang kemungkinan adanya jumlah yang menjadi faʿiljumlah terdiri dari dua: fiʿliyya artinya susunan kalimat yang terdiri dari fiʿil dan faʿil dan ismiyyah susunan kalimat yang terdiri dari mubtada’ dan khabar—dimana aliran Basrah menolaknya dengan tegas dengan rasionalisasi filosofis kearaban mereka.

Sebagai contoh tentang kontoversi di sini adalah “tsumma bada lahum min ba’di ma ra’awul ayat layasjununnahu”, letak perbedaan kedua aliran ini adalah pada jawaban atas pertanyaan “dimana letak faʿil (pelaku) kata bada? Aliran Basrah menjawab bahwa faʿil kata kerja lampau ini adalah kata ganti tertutupi (mustatir) yang diperkirakan berupa (huwa: dia).

Pertanyaan berikutnya: kemana kata ganti mustatir ini kembali? Aliran Basrah menyatakan bahwa kata ganti mustatir ini kembali kepada masdar (kata dasar) yang disimpulkan dari kata kerja badaa’. Kira-kira rasionalisasi ketatabahasannya adalah “tsumma bada lahum bada’un huwa….” Lalu mereka mendudukan “layasjununnahu” sebagai jumlah tafsiriyya (penjelas) atas kata ganti mustatir yang kembali pada kata dasar al-bida’.

Dipandang dari perspektif aliran Kufah, cara pembacaan aliran Basrah lebih sebagai model imaginasi bahasa (khayyal) karena secara realitas al-bidal di sini adalah tidak nyata, sesuatu yang dibayangkan yang di dalam ilmu Nahwu sering diungkapkan dengan istilah taqddiruhu/ha. Di pesantren kita seringkali mendengar istilah ini, namun sayangnya para guru tidak pernah menjelaskan mengapa istilah ini seringkali muncul dan atas dasar apa. Semoga penjelasan kecil ini bermakna bagi saudara-saudara santri dan kiai-kiai di pondok.

Lalu bagaimana cara aliran Kufah mendudukan “tsumma bada lahum min ba’di ma ra’wu al-ayat layasjununnahu”?

Dengan sangat ringkas dan jelas aliran Kufah menyatakan bahwa “layasjununnahu” –ini jumlah fiʿliyya–adalah faʿil dari kata bada. Pandangan aliran Kufah ini jelas bahwa bagi mereka pemberlakuan jumlah sebagai fa’il yang ditolak oleh madzhab Basrah adalah fenomena yang benar dan biasa dalam bahasa Arab.

Satu contoh lagi, Kalangan Kufah menyatakan bahwa mafʿul itu menjadi naṣab karena adanya fiʿil dan faʿil sebelumnya, maka aliran Basrah cukup dengan fiʿil, kedudukan nasab pada maf’ul bisa terjadi. Contohnya: zaydan akramtuhu. Nasab pada kata zaydan menurut aliran Basrah karena ada fiʿil yang ditakdirkan sebelum zaydun, maka menurut kubu Kufah, nasab pada zaydun justru karena ada fiʿil dan faʿil yang jelas meskipun jatuh setelah zaydan.

Meskipun perbedaan kedua madzhab ilmu Nahwu ini sering dicitrakan berbeda oleh kalangan peneliti ilmu ini, namun ternyata banyak juga kesamaan dari kedua kubu ini. Misalnya, pandangan bahwa ḍarf (keterangan tempat atau waktu) dan jer majrur bisa merafa’kan isim di belakang keduanya ketika kedudukan kalimahny menjadi mubtada’, ternyata pandangan ini juga disepakati oleh Al-Mubarrad, tokoh aliran Kufah. Sudah barang tentu, titik temu mereka masih banyak lagi, namun saya tidak akan menjelaskan satu per satu mengingat diskusi ini memang sangat luas dan panjang sekali.


Bahasan serial ilmu nahwu ini merupakan bagian ketujuh. Silakan diikuti pembahasan selanjutnya yang dikupas Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman, Syafiq Hasyim. Belum lama ini ia meraih gelar Dr. Phil dari BGSMCS, FU, Berlin, Jerman.