Opini

Anatomi Radikalisme di Indonesia (5): Jihad Pasca-Afghanistan

Kam, 9 Agustus 2018 | 07:30 WIB

Oleh M. Kholid Syeirazi

Usai Uni Soviet menarik mundur pasukannya dari Afghanistan pada Februari 1989, terjadi fitnah perpecahan di antara mujahidin baik yang berasal dari Afghanistan maupun asing. Di internal mujahidin Afghanistan perpecahan terjadi di antara Gulbudin Hikmatyar dari Hizb Islam dengan Syeikh Ahmad Masoud dari Jama’ati Islam. Perpecahan juga terjadi di antara mujahidin asing yaitu antara Syeikh Abdullah Azzam dan Dr. Ayman al-Zawahiri terkait pilihan jihad pasca Afghanistan. Syeikh Azzam berpendapat mujahidin harus meneruskan jihad di wilayah kaum Muslimin yang diduduki kâfir harbî (kâfir ajnabî) seperti Palestina. Sementara Al-Zawahiri berpendapat mujahidin harus kembali ke tempat asal masing-masinguntuk memerangi para penguasa murtad (kâfir mahallî) yang menolak memberlakukan hukum Islam. 

Pendapat Al-Zawahiri cocok dengan misi tadrîb askarîkader-kader DI/NII. Usamah Bin Laden juga cenderung kepada pendapat Al-Zawahiri dan mendirikan al-Qaeda pada awal 1988. Al-Qaeda bertujuan membentuk Khilâfah Islâmiyah dan memfasilitasi mujahidin di negeri Muslim memerangi penguasa murtad yang menolak mendirikan negara Islam. Menurut Usamah, jihad memerangi kâfir mahallî (near enemy) lebih utama daripada jihad memerangi kâfir ajnabî (far enemy). Pikiran ini berubah pada 23 Februari 1998 ketika Usamah mulai berpikir menyerang Amerika. Atas nama World Islamic Front, Usamah bersama Ayman al-Zawahiri , Rifa’i Ahmad Taha, Syeikh Mir Hamzah, dan Fazlurrahman mengeluarkan fatwa: “Membunuh orang-orang Amerika dan sekutu-sekutunya, baik sipil maupun militer, adalah kewajiban setiap muslim yang dapat dilakukan di negara mana pun bila memungkinkan. ”

Baca juga:
Anatomi Radikalisme di Indonesia (1)
Anatomi Radikalisme di Indonesia (2): DI/NII Keluar dari Konsensus
Fatwa Usamah ditolak para ulama senior Arab Saudi murid-murid Bin Baz. Mufti ‘Am Arab Saudi, Syeikh Abdul Aziz Alu Syeikh, menyebut Al-Qaeda dan ISIS “musuh nomor satu” Islam. Sebagai balasan, Al-Qaeda mengkafirkan Kerajaan Arab Saudi. Al-Maqdisi, ideolog al-Qaeda, menulis buku “Al-Kawasyif al-Jaliyah fi Kufri al-Dawlah al-Sa’udiyah” yang menyebut Arab Saudi sebagai negeri brengsek (al-daulah al-khabîtsah) dan penipu yang mencampuradukkan hukum Allah dan hukum buatan manusia (Al-Maqdisi, ttp, 2000: 5,17). Sementara ISIS dalam portal propagandanya,Dabiq Edisi ke-13, menyebut Masjidil Haram diimami orang kafir dan merilis fatwa bunuh 17 ulama Saudi. 

Ambon dan Poso: Medan Jihad Baru

Fatwa Usamah terbit tidak lama setelah Indonesia dilanda pergolakan politik menyusul lengsernya Soeharto pada Mei 1998. Melalui KISDI, underbouw DDII yang dipimpin Ahmad Sumargono, aktivis JI terlibat mendukung Habibie, termasuk menghalau mahasiswa yang menduduki DPR/MPR dan menolak pencalonan kembali Habibie sebagai Presiden. Pilihan ini mudah dimengerti karena DDII adalah organisasi lama Sungkar sebelum masuk DI/NII. Penyusupan JI ke KISDI berjalan mulus karena Usman alias Abas—anggota laskar khos JI—adalah sopir pribadi Ahmad Sumargono. Melalui proyek politik ini, sejumlah uang dari para pendukung Habibie mengalir ke tangan JI (Solahudin, 2011: 247-48). 

Sungkar dan Ba’asyir baiat kepada Usamah setelah diundang langsung bertemu dengan jutawan Arab itu di Afghanistan pada medio 1998. Sungkar dan Ba’asyir juga mengajak para tokoh DI/NII bergabung bersama Usama memerangi Amerika Serikat, tetapi ajakan itu ditolak. Sebagian kader JI seperti Ibnu Thoyib, Ahmad Roihan, dan Thoriqudin juga menolak fatwa Usamah dengan alasan memerangi musuh dekat tetap lebih utama ketimbang musuh jauh. Sementara anggota JI yang setuju seperti Hanbali, Ali Ghufron, dan Abdul Aziz alias Imam Samudera menyambut antusias seruan Usamah. 

Baca juga:
Anatomi Radikalisme di Indonesia (3): Penetrasi Salafisme
Anatomi Radikalisme di Indonesia (4): Generasi Harbi Pohantun dan Infishal
Perdebatan dua kubu reda ketika konflik meletus antara umat Islam dan Kristen di Ambon dan Poso sekitar tahun 1999-2000. Dua kubu sepakat bahwa jihad membela kaum Muslim adalah kewajiban yang tidak bisa ditunda. Konflik komunal menyediakan kesempatan terbuka bagi kader JI terjun langsung ke medan tempur sebagai arena jihad. Dalam rangka penggalangan dana jihad, JI sekali lagi bekerja sama dengan underbuow DDII bernama KOMPAK (Komite Penanggulangan Krisis). KOMPAK dibentuk di beberapa daerah, tetapi yang paling aktif adalah Solo, dipimpin Aris Munandar, alumni Afghanistan (Angkatan IX/1991), adik kandung petinggi DDII bernama Muzayin Abdul Wahhab. Selain menggalang dana, KOMPAK membuka program tadrîb ‘askarî di Waemorat, Batubual, Kab. Buru, Maluku. Salah satu instrukturnya adalah Dr. Azhari Husein, dosen Universiti Sains Malaysia (USM), salah satu otak bom Bali 2002 yang ditembak mati polisi pada 2005 di Batu, Malang. Alumni tadrîb ‘askarî Waemorat yang menonjol adalah Abdullah Sonata, dikenal sebagai pemimpin 
Mujahidin KOMPAK. Aksinya yang paling legendaris adalah memimpin penyerbuan Markas Brimob Tantui, Ambon, pada 2006 dan berhasil merampas 900 pucuk senjata. 

Meski kemudian hubungan JI-Mujahidin KOMPAK memburuk, konflik telah menjadi ladang subur bagi JI menyebarkan paham salafi-jihadi. Bahkan H. Adnan Arsal, tokoh Islam tradisional Poso, meninggalkan mazhab Syafi’i dan menganut paham salafi-jihadi. Belakangan, meski membantah, Adnan dituding melindungi jaringan teroris MIT (Mujahidin Indonesia Timur) pimpinan Santoso alias Abu Wardah. 


Penulis adalah Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)

Tulisan ini merupakan rangkaian dari tujuh seri artikel tentang anatomi radikalisme yang akan dipublikasikan secara berkala di NU Online. Ulasannya berusaha melacak akar ideologi radikal, antara lain dengan menyinggung soal DI/NII, penetrasi salafisme, generasi Harbi Pohantun dan Infishâl, serta JI, JAT, dan JAD.