Opini

Argumentasi Keberagaman dalam Keberagamaan

Rab, 5 Januari 2022 | 08:30 WIB

Argumentasi Keberagaman dalam Keberagamaan

Argumentasi Keberagaman dalam Keberagamaan

Keberagaman adalah keniscayaan, semua manusia menjadi bagian darinya. Bahkan, dalam diri satu orang saja bisa terdapat beberapa identitas sekaligus: sebagai bagian dari kelompok etnis, kelompok gender, kelompok ras, kelompok agama tertentu. 

 

Layaknya pelangi, keberagaman sejatinya menjadikan kehidupan sosial menjadi penuh warna. Hidup mungkin akan membosankan tanpa adanya perbedaan. Meski demikian, tidak semua orang mengerti akan hakikat keindahan keberagaman, banyak personal individu yang memaksakan keseragaman dan memaksakan kelompok lain agar sama dengan keyakinan yang diyakini kelompoknya. 

 

Secara filosofis segala ciptaan di muka bumi ini bersifat tidak tunggal. Hanya Tuhan yang esa sehingga ada kata "Tuhan Maha Esa" karena tidak ada yang tunggal menyaingi keesaan-Nya. Karena itu, keberagaman merupakan hukum alam dan sunnatullah. Dalam konteks Indonesia, negara dan bangsa memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.  Karena keberagaman adalah hukum alam, segala upaya memaksa kesegaraman hanya akan melawan hukum alam dan akan menghasilkan kekacauan, konflik, pertikaian, dan kemiskinan. 

 

Sejarah membuktikan, upaya melawan hukum alam dengan membunuh keberagaman atau menempatkan kelompok yang diyakini sebagai yang paling benar akan binasa dengan sendirinya. Seperti yang tampak pada Adolf Hitler dengan ideologi Nazinya dan Mussholini dengan Fasismenya yang hilang dan binasa dari sejarah.

 

Tidak hanya secara filosofis, secara teologis pun kitab-kitab suci berbagai agama mengabadikan fakta dan realitas keberagaman. Dalam Al-Qur’an misalnya sebagai kitab suci agama Islam dengan jelas mengungkap keniscayaan keberagaman dalam ayat-ayat yang ada. Sebagaimana QS Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi:

 

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

 

"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti"

 

Firman Allah dalam QS Al-Hujurat ayat 13 ini menegaskan bahwa keberagaman adalah fakta dan seluruh umat manusia adalah satu keturunan dari Adam dan Hawa. Dengan satu keturunan ini tentu hakikatnya semua manusia setara di sisi Allah set

 

Tidak hanya dalam Islam, dalam Perjanjian Baru maupun Perjanjian Lama sebagai pedoman hidup umat Kristiani, terdapat pula sejumlah ayat tentang keniscayaan keberagaman sebagaimana termaktub dalam Kitab Kejadian 28 ayat 3 yang berbunyi: "Moga-moga Allah Yang Mahakuasa  memberkati engkau, membuat engkau beranak cucu dan membuat engkau menjadi banyak, sehingga engkau menjadi sekumpulan bangsa-bangsa." Dengan apa yang ada dalam Kitab Kejadian ini, Alkitab menjadi dasar dan pedoman bagi umat Kristiani untuk hidup bertoleransi dengan orang-orang beragama lain. 

 

Tidak hanya dalam Islam dan Kristen, dalam buku The Religions Book karya Shulamit Ambalu terungkap seorang Sufi Hindu bernama Sri Ramakhrisna mengajarkan bahwa agama yang berbeda-beda merupakan jalan untuk mencapai realitas spritual tunggal. Maka Ramakrhisna berpandangan lebih baik membiarkan orang mengikuti agama yang mereka yakini daripada mengajak mereka berpindah dari satu agama ke agama lain. Sebuah ungkapan yang akhirnya menjadikannya dikenal dengan ajaran pluralisme agama. 

 

Selanjutnya, agama Buddha dalam buku yang sama, Shulamit Ambalu menulis bahwa sikap penganut agama Buddha dengan agama-agama lain terkait toleransi diajarkan oleh pemimpin spiritual umat Buddha bernama Dalai Lama yang menyatakan bermacam-macam agama mempunyai tujuan yang sama yakni bagaimana mengarahkan dan membuat manusia menjadi baik.

 

Oleh sebab itu, sepatutnya sikap saling menghargai menjadi dasar kedamaian bagi keseluruhan penganut agama di dunia. 

 

Lalu, adakah ajaran terkait toleransi ini dalam agama Khong Hu Cu? dalam buku Mengenal Agama Hindu, Budhha dan Kong Hu Cu karya Tony Tedjo tertulis bahwa dalam agama Khong Hu Cu terdapat anggapan bahwa semua manusia memiliki Yen, yakni keniscayaan pada diri manusia harus memiliki kebaikan, budi pekerti, cinta dan kemanusiaan. Yen juga berhubungan dengan hubungan sosial antara satu orang dengan yang lain. Seseorang dengan Yen sempurna cenderung akan mengorbankan dirinya untuk menjaga keseimbangan hubungan dengan orang lain. Dengan Yen, setiap individu pasti memiliki rasa toleransi, sikap saling menghormati dan menghargai karena dengannya maka akan tercipta keharmonisan dan kedamaian dalam realitas hubungan sosial setiap manusia. 

 

Dari penjabaran secara filosofis dan teologis terkait hakikat keberagaman dan ajaran toleransi, tampak bahwa unsur kedamaian, sikap saling menghargai, menghormati menjadi ruh yang diajarkan agama-agama di Indonesia. Lalu, kenapa masih saja konflik karena perbedaan masih saja terjadi? Maka, yang salah bukan ajaran agamanya tapi bagaimana penganut agama itu memahami ajaran yang diyakininya.

 

Nidlomatum MR, ketua Korps PMII Putri 2014-2017; pengurus PC Fatayat NU Kabupaten Bogor


Artikel ini merupakan hasil kerja sama antara NU Online dan UNDP