Opini

Batas Ketinggian pada Qathiy dan Imkanur Rukyah dalam Kajian Falakiyah

Rab, 2 Maret 2022 | 18:00 WIB

Batas Ketinggian pada Qathiy dan Imkanur Rukyah dalam Kajian Falakiyah

Gambar: Zonasi terkait posisi Bulan pasca ijtimak dari sudut pandang rukyatul hilal beserta implementasinya dalam awal bulan Hijriyyah.(Sumber: LF–PBNU, 2021).

Muktamar ke–34 Nahdlatul Ulama di Lampung pada tahun 2021 merupakan salah salah satu tonggak sejarah penting dalam perkembangan ilmu falak di Indonesia. Dalam muktamar ini sebuah konsep baru terkait awal bulan Hijriyyah dirumuskan dan diputuskan, yakni konsep qath’iy al-rukyah.


Dalam konsep ini, apabila kedudukan hilal telah demikian tinggi pada tanggal 29 Hijriyyah namun tidak berhasil dilihat oleh suatu sebab, maka istikmal dapat dinafikan bilamana penetapan istikmal tersebut menyebabkan bulan Hijriyyah berikutnya terpotong menjadi 28 hari. 


Keputusan Muktamar Ke–34 NU tahun 2021 di Lampung melengkapi dasar-dasar dan rambu-rambu terkait rukyah hilal sebagai metode penetapan awal bulan dalam Kalender Hijriyyah. Dasar-dasar dan rambu-rambu tersebut telah dibahas dalam beberapa forum Muktamar dan Munas sebelumnya. Misalnya pada Muktamar Ke-27 NU tahun 1984 di Situbondo dan Muktamar Ke-30 NU tahun 1999 di Kediri. Serta pada Munas Alim Ulama NU 1983 di Situbondo dan Munas Alim Ulama NU 1987 di Kesugihan Cilacap.


Terdapat tiga keputusan Bahtsul Masail Komisi Diniyah Waqi’iyah Muktamar Ke–34 NU yang terkait kedudukan ilmu falak dalam penentuan waktu ibadah.


Pertama, konsep imkan al-rukyah yang dapat menjadi syarat bagi diterimanya laporan rukyah sepanjang berdasarkan sekurangnya pada lima metode falak yang qath’iy (yakni yang tergolong dalam sistem haqiqy tahqiqy, haqiqy tadkiky, ‘ashri dan kontemporer) yang menghasilkan simpulan serupa.


Kedua, apabila sekurangnya lima metode falak qath’iy tersebut menunjukkan bahwa hilal sudah di bawah ufuk pada tanggal 29 Hijriyyah, maka rukyah hilal tidak wajib diselenggarakan.


Dan yang ketiga, terdapat konsep qath’iy al-rukyah. Yakni apabila sekurangnya lima metode falak qath’iy menunjukkan kedudukan hilal sudah sangat tinggi pada tanggal 29 Hijriyyah namun hilal tidak terlihat walaupun sudah diselenggarakan rukyah hilal secara maksimal, maka ikmal dapat dinafikan bilamana keputusan ikmal pada saat itu menyebabkan bulan Hijriyyah berikutnya berumur hanya 28 hari. 


Bersama konsep imkan al-rukyah yang telah dikenal lebih dahulu, maka konsep qath’iy al-rukyah memberikan gambaran lebih komprehensif terhadap rukyah hilal sebagai metode penentuan awal bulan Hijriyyah yang berterima dalam Nahdlatul Ulama. Kalender Hijriyyah Nahdlatul Ulama (KHNU) ditetapkan atas dasar rukyah hilal, yang pelaksanaannya diselenggarakan secara kontinu oleh Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU). 


Silaturahmi Nasional LFNU 1427 H tahun 2006 di Semarang (Jawa Tengah) telah mengamanahkan bahwa setiap awal bulan Hijriyyah ditentukan atas dasar rukyah hilal. Keputusan itu menghilangkan ambiguitas antara rukyah dan hisab seperti sebelumnya dialami dalam khasanah penetapan awal bulan Hijriyyah. Di mana pada umumnya hanya tiga bulan saja (yakni Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah) yang ditetapkan atas dasar rukyah. Sementara sembilan bulan sisanya hanya atas dasar metode ilmu falak (hisab), sehingga menjadi ambigu. Keputusan merukyat setiap awal bulan Hijriyyah merujuk misalnya pada pendapat Sayyid Abdurrahman yang termaktub dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin


Betapa signifikannya rukyah hilal dalam konteks kebangsaan Indonesia dapat dilihat misalnya pada survei keberagamaan Islam (Alvara, 2017). Dimana 64 %, setara lebih dari 160 juta Muslim Indonesia, mendasarkan hari–hari besar Islam pada rukyah hilal. Kuantitas tersebut lebih besar dibandingkan populasi Nahdliyin saat ini, yang berkisar 90 hingga 100 juta Muslim Indonesia.


Kuantitas demikian juga terlalu besar untuk dinafikan begitu saja dalam pembentukan sebuah kebijakan di bawah proteksi modernitas. Meskipun dalam konstelasi organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama berdiri sendiri dalam memedomani rukyah hilal sebagai dasar kalender Hijriyyah sekaligus menetapkannya sebagai ibadah fardhu kifayah. 


Pembinaan sumberdaya manusia yang berkesinambungan membuat pelaksanaan rukyah hilal pada masakini telah berjalan secara kontinu dalam jaringan LFNU. Di luar jaringan LFNU, rukyah hilal kontinyu juga telah menjadi bagian dari kebijakan pemerintahan yang pelaksanaannya dipegang BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) khususnya di bawah Pusat Seismologi Teknik Gravitasi dan Tanda Waktu.


Secara akumulatif jaringan LFNU dan jaringan BMKG meliputi 40 hingga 50 titik rukyah yang aktif setiap bulannya di Indonesia. Sehingga kekhawatiran “tidak ada yang merukyat hilal di luar tiga bulan penting” sudah tak relevan lagi.


Mengapa Konsep Qath’iy Al–Rukyah Ini Penting dan Monumental?

Ada beberapa argumen. Pertama, Kalender Hijriyyah pernah mengalami situasi dimana sebulan berumur hanya 28 hari. Dalam KHNU, kejadian tersebut (hampir) dialami pada Jumadil Akhir 1438 H/2017 silam. Saat itu hilal tak terlihat dalam penetapan awal bulan Jumadil Akhir 1438 H meski kedudukannya sudah sangat tinggi (7º 08’ s.d. 8º 51’ di seluruh Indonesia berdasarkan sistem kontemporer). Maka diberlakukan istikmal. Tetapi pada 28 Jumadil akhir 1438 H kemudian telah terdapat laporan rukyah (untuk penentuan Rajab 1438 H) dan memenuhi syarat imkan al-rukyah. Agar jumlah hari minimal dalam sebulan Hijriyyah tetap 29 hari, maka istikmal dalam penetapan awal Jumadil Akhir 1438 H kemudian dinyatakan batal meskipun landasannya pada saat itu belum dirumuskan. 


Hal serupa juga dialami Kalender Hijriyyah Saudi Arabia. Yang luar biasa, hal itu terjadi pada bulan Ramadhan 1404 H/1984. Rukyah Saudi Arabia pada saat itu menyebabkan bulan Ramadhan hanya berumur 28 hari. Sehingga sebagai solusinya pemerintah Saudi Arabia mewajibkan penduduk untuk mengqadha puasa Ramadhan setelah Idul Fitri berlalu.


Selain model solusi berbasis fiqih tersebut, dibutuhkan pula model penyelesaian dari sisi ilmu falak sehingga diperoleh sebuah sistem penanggalan yang stabil. Yakni sebuah sistem penanggalan yang tetap menjadikan sebulan Hijriyyah berumur minimal 29 hari dan maksimal 30 hari serta setahun Hijriyyah berumur minimal 354 hari dan maksimal 355 hari. 


Kedua, dalam kalender Hijriyyah sesungguhnya ada ketentuan material (substansial) dan ketentuan formal (prosedural), serupa dengan faraidh. Pada kasus harta warisan, kontradiksi antara ketentuan material dan formal, atau antara satu qiyas dengan qiyas yang lain, dapat diselesaikan dengan berpedoman pada kaidah ta’arudh al-adillah.


Contoh populer dalam hal ini adalah masalah umariyyatain, di mana bagian harta waris yang diterima ayah dan ibu (di mana mereka berdua adalah laki-laki dan perempuan sederajat) tetap senilai 2 berbanding 1. Sedangkan bila dihitung secara ‘normal’, bagian yang diterima adalah kebalikannya (yakni 1 berbanding 2 ).


Muktamar Ke-34 NU tahun 2021 di Lampung memutuskan bahwa jumlah hari dalam satu bulan Hijriyyah (yang tetap bernilai 29 atau 30 hari) merupakan ketentuan material bagi Kalender Hijriyyah. Ketentuan ini tidak boleh berubah meskipun terjadi kontradiksi dengan ketentuan formalnya. Dengan keputusan tersebut maka rukyah hilal menempati kedudukan sebagai ketentuan formal, yakni sebagai metode dalam menetapkan awal bulan Hijriyyah. Inilah landasan qath’iy al-rukyah yang membedakannya dari konsep ilhaq


Dan yang ketiga, kajian ilmu falak masa kini baik yang berdasarkan pada rukyah sistematis berkesinambungan dalam jangka menengah selama bertahun-tahun (misalnya dari Sudibyo dkk, 2009) maupun yang berdasarkan pemodelan matematis jangka ratusan/ribuan tahun (misalnya dari Setyanto & Khafid, 2015 serta dari Nugraha dkk, 2019) mengindikasikan hilal adalah bagian fase bulan yang dibatasi dua parameter. Yakni parameter terbawah dan parameter teratas. Kedua parameter merupakan konsekuensi dari nilai rata-rata dan deviasi standar, entitas yang berterima secara ilmiah dan tak terelakkan dalam aktivitas pengamatan. 


Parameter terbawah telah lama kita kenal sebagai konsep imkan al-rukyah. Secara teoritis, Bulan pasca ijtimak yang telah ada di atas ufuk saat ghurub tapi berkedudukan kurang dari parameter terbawah takkan nampak saat dirukyat sejak ghurub dengan instrumen apapun.


Sebaliknya parameter teratas secara konseptual merupakan konsep qath’iy al-rukyah. Maka Bulan pasca ijtimak yang telah demikian tinggi di atas ufuk hingga melampaui parameter teratas sudah terlihat bahkan sebelum ghurub terjadi. 


Tugas berikutnya khususnya untuk LFNU adalah merumuskan secara teknis implementasi konsep qath’iy al-rukyah ke dalam kriteria Qath’iy al-Rukyah Nahdlatul Ulama (QRNU) dan konsep imkan al-rukyah ke dalam kriteria Imkan al-Rukyah Nahdlatul Ulama (IRNU). 


Berbagai faktor harus menjadi bahan pertimbangan. Mulai dari data hasil rukyah dalam jaringan LFNU sendiri. Hingga pertimbangan kemaslahatan bersama seperti telah disepakatinya kriteria baru MABIMS (Neo–MABIMS) di antara menteri-menteri agama/urusan Agama Islam dalam tingkat regional Asia tenggara. 


Implementasinya, manakala pada suatu tanggal 29 Hijriyyah posisi Bulan menurut minimal lima sistem hisab dalam kelompok haqiqy tahqiqy, haqiqy tadkiky, ‘ashri dan kontemporer masih di bawah kriteria IRNU, maka istikmal berlaku. Baik bulan masih ada di atas ufuk pada saat ghurub, apalagi sudah di bawah ufuk. Sedangkan apabila posisi bulan demikian rupa sehingga berada di antara kriteria IRNU dan QRNU, maka itsbat berlaku apabila hilal terlihat dan sebaliknya istikmal berlaku manakala hilal tidak terlihat. Dan apabila posisi bulan sudah di atas kriteria QRNU, maka itsbat berlaku meskipun hilal tak terlihat. 


Pada implementasi demikian, maka metode rukyah hilal dalam penentuan awal bulan Hijriyyah akan lebih memberikan kenyamanan dalam beribadah. Selain tetap mengikuti pendapat jumhur ulama dengan tetap berpedoman pada rukyah hilal, implementasi kriteria IRNU dan QRNU juga tetap menjadikan setiap bulan Hijriyyah mengikuti siklus pergerakan bulan. Sehingga tetap dapat menempatkan istiqbal (purnama) ke dalam kerangka ayyamul bidh, yakni di antara tanggal 13 hingga 15 Hijriyyah.


Ustadz Muh. Ma’rufin Sudibyo, pelaksana tugas Sekretaris Lembaga Falakiyah PBNU.