Opini

Benarkah Masjid Tempat yang Aman dari Wabah Penyakit?

Rab, 8 April 2020 | 08:00 WIB

Benarkah Masjid Tempat yang Aman dari Wabah Penyakit?

Seolah ada kontradiksi antara hadits dan kenyataan di lapangan. Bagaimana penjelasannya?

Tulisan ini tak hendak menyangkal betapa mulianya rumah Allah bernama masjid. Tetapi pro kontra terkait imbauan dari tokoh-tokoh ulama dunia tentang peniadaan shalat Jumat dan shalat wajib lima waktu berjamaah di masjid untuk sementara waktu terkait ancaman wabah virus Corona masih berlangsung hingga kini. Polemik ini telah menguras energi dan pikiran kedua belah pihak, baik yang pro maupun yang kontra.

 

Polemik menjadi semakin menajam ketika dari kalangan ulama yang kontra ada beberapa tokoh yang cukup berpengaruh dan memiliki banyak pengikut. Mereka terus melancarkan argumentasi penolakannya baik lewat tulisan maupun video bahwa imbauan tersebut bertentangan dengan keyakinan bahwa masjid adalah tempat yang aman dari penularan wabah penyakit. Pertanyaannya, validkah keyakinan itu?

 

Para ulama yang kontra meyakini hal itu berdasarkan pemahaman mereka atas salah satu hadits Rasulullah yang diriwayatkan dari Anas bin Malik sebagai berikuti:

 

إِذا أرَادَ الله بِقَوْمٍ عاهةً نَظَرَ إِلَى أهْلِ المَساجِدِ فَصَرَفَ عَنْهُمْ 

 

Artinya:“Apabila Allah menghendaki penyakit pada suatu kaum, maka Allah melihat ahli masjid, lalu menjauhkan penyakit itu dari mereka.”.

 

Para ulama tersebut menjadikan hadits di atas sebagai jaminan resmi dari Rasulullah bahwa masjid adalah benteng perlindungan orang beriman dari wabah penyakit sehingga shalat Jumat dan shalat wajib lima waktu berjamaah harus tetap dilakukan justru untuk menolak virus Corona yang sekarang sedang mewabah di seluruh dunia di samping perlunya ibadah-ibadah lain seperti berdzikir, berdoa, bershalawat, bermunajat, dan sebagainya.

 

Sikap tersebut tentu tidak sejalan dengan imbauan para dokter untuk melakukan social distancing sebagaimana ditaati oleh para umara dan ulama mainstream di hampir seluruh dunia termasuk Grand Syekh Al Azhar Syekh Ahmad Tayyib dalam rangka mencegah kerusakan (dar’ul mafasid), yakni hilangnya nyawa umat Islam akibat wabah virus Corona yang terbukti memang mematikan. Hingga kini jumlah orang meninggal dunia di seluruh dunia akibat virus ini telah mencapai lebih dari 82,145.

 

Kembali kepada pertanyaan penulis dalam paragraf kedua di atas, validkah keyakinan sebagian orang bahwa masjid adalah tempat yang aman dari penularan wabah penyakit. Penulis akan menjawab pertanyaan ini dengan pertama-tama merujuk kepada ayat kauniyah (fakta sosial) yang terjadi di Malaysia.

 

 

Kantor Berita Islam MINA di Malaysia lewat situsnya minanews.net edisi 14 Maret memberitakan bahwa dari sekitar 16.000 orang peserta Tabligh Akbar yang dilaksanakan pada tanggal 28 Februari di Masjid Jamek Sri Palang Kuala Lumpur, terdapat 40 orang posotif terjangkit virus Corona setelah diperiksa secara intensif. Dari 40 orang itu 3 orang di antaranya adalah WNI.

 

Kantor berita itu melalui artikelnya yang ditulis Redaktur Senior, Ali Farkhan Tsani, dengan judul “40 Peserta Tablig Akbar di Malaysia Positif Corona” memberikan analisis bahwa lingkaran penyebaran virus yang terjadi di masjid tersebut disebabkan para jamaah saling bersalaman dan bahkan berpelukan setelah berucap salam sebagai tanda keakraban dan kerinduan yang mendalam. Mereka juga ada yang makan bersama dengan satu nampan berjamaah. Di ruang masjid mereka berdesakan. Sementara sebaran virus Corona bisa terjadi tanpa diketahui sebelumnya siapa yang berpotensi membawanya.

 

Di samping ayat kauniyah di atas, penulis juga merasa perlu menunjukkan ayat qauliyah, yakni penggalan ayat di dalam Al-Qur’an untuk mendukung argumentasi bahwa masjid bukan tempat berlindung dari wabah penyakit material seperti virus Corona, sebagai berikut:

 

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلا اللهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ

 

Artinya: “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain Allah, maka merekalah yang termasuk golongan orang-orang yang selalu mendapat petunjuk (dari Allah Ta’ala)” (QS. At-Taubah: 18)

 

Terkait dengan ayat di atas, Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya tidak menjelaskan bahwa ayat yang berisi tentang orang yang memakmurkan masjid ini menujukkan adanya hubungan antara rumah Allah dengan jaminan keselamatan duniawi dari ancaman wabah penyakit seperti virus Corona, tetapi beliau menjelaskan sebagai berikut:

 

ولهذا قال: "إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ" فشهد تعالى بالإيمان لعمار المساجد كما قال الإمام أحمد ... عن أبي سعيد الخذري، أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: إذا رأيتُم الرجلَ يتعاهد المسجدَ، فاشهدوا له بالإيمانِ.

 

Artinya: “Jadi Allah menyatakan bahwa orang-orang yang memakmurkan masjid adalah orang-orang yang beriman sebagaimana dikatakan Imam Ahmad, dari Abu Sa’ud al-Khudri, sesungguhnya Rasulullah bersabda: “Jika kamu lihat seseorang terbiasa pergi ke masjid, maka saksikanlah bahwa dia orang beriman”(lihat Tafsir Al-Qur’an al’azim, Dar ibn Hazm, Beirut, Cet. I, 2000, hal 867).

 

Jadi yang dijamin oleh Rasulullah terhadap orang-orang yang senantiasa memakmurkan masjid adalah jaminan diakui oleh Allah sebagai orang beriman sehingga akan selamat dari ancaman siksa neraka kelak di akhirat. Dengan kata lain Ibnu Katsir menjelaskan bahwa keselamatan yang bersifat spiritual atau ukhrawi dijamin bagi siapa saja yang senantiasa memakmurkan masjid karena mereka dijamin sebagai orang beriman kepada Allah dan Hari Akhir.

 

Membandingkan keterangan Ibnu Katsir tentang ayat ke-18 dari Surat at-Taubah di atas dengan apa yang dipahami sebagian orang yang kotra terhadap imbauan dari tokoh-tokoh ulama dunia terhadap hadits yang diriwayatkan dari Anas Ibnu Malik di atas, kita dapat mengetahui pemahaman mereka terhadap hadits tersebut tidak cukup valid. Apalagi ayat kauniyah sebagaimana diuraikan di atas menujukkan hal sebaliknya dengan apa yang mereka yakini.

 

Jadi secara tekstual dan kontekstual meyakni berdasarkan hadits bahwa masjid adalah tempat yang aman dari pemularan wabah penyakit adalah tidak valid karena bagaimanapun ayat-ayat Allah menduduki posisi yang lebih tinggi daripada hadits. Jika demikiam halnya maka hadits yang diriwayatkan dari Anas Ibnu Malik di atas perlu ditelaah tentang statusnya apakah sahih, hasan, atau dhaif.

 

Terkait dengan hadits yang diriwayatkan dari Anas Ibnu Malik di atas Ibnu Katsir memberikan keterangan lebih lanjut pada halaman yang sama (867) dalam kitab tafsirnya dengan menukil pernyataan Imam Ad-Daruquthni dalam Al-Afrad bahwa hadits tersebut gharib (asing) sebagai berikut:

 

وقد روى الدارقطني في الأفراد ... “إذا أراد الله بقوم عاهة، نظر إلى أهل المساجد، فصرف عنهم”. ثم قال: غريب

 

Demikian pula menurut Allamah al-Munawiy hadits di atas adalah dhaif (lihat Faidhu al-Qadir Syarh al-Jami’ as-Shaghir, Darul Ma’rifah, Beirut, 1972. Cetakan ke-2, hal. 265). Sebagai hadits gharib dhaif, maka hadits di atas tidak cukup kuat sebagai landasaan hukum untuk menolak imbauan dari tokoh-tokoh ulama dunia tentang peniadaan shalat Jumat dan shalat wajib lima waktu berjamaah di masjid untuk sementara waktu selama masih ada ancaman nyata dari wabah virus Corona.

 

Dari seluruh uraian di atas penulis berkesimpulan keyakinan para ulama bahwa masjid adalah tempat yang aman dari penularan wabah penyakit adalah tidak valid karena tidak sejalan dengan fakta di lapangan dan juga tidak didukung dengan dalil yang kuat baik dari hadits maupun Al-Qur’an. Karena sifatnya yang lemah, maka keyakinan tersebut tidak lebih dari pada sekadar anggapan yang tidak bisa dipertanggun jawabkan sehingga harus disikapi secara kritis dengan tidak serta merta mempercayai dan apalagi mengikutinya.

 

 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Univeritas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.