Opini

Benarkah PMII Didirikan atas Permintaan Bung Karno?

Sen, 14 November 2016 | 21:37 WIB

Oleh Dwi Winarno

Saat melintasi salah satu situs jejaring sosial, saya dibuat kaget oleh seorang sahabat yang men-share berita dari NU Online. Judulnya membuat bibir saya bergetar, “Agus Sunyoto: PMII Berdiri atas Permintaan Bung Karno kepada NU.” Setelah saya buka link berita tersebut, pernyataan dalam berita itu telah dimuat sejak dua tahun lalu.


Seketika itu juga saya terperanjat. Untunglah tidak sampai membuat saya mulas dan pusing. Masih bisa buang air dan tidur dengan normal. Maklumlah, ini di luar narasi besar sejarah berdirinya PMII. Tidak juga termuat dalam buku babonnya sejarah PMII yang ditulis oleh sahabat Fauzan Alfas (PB PMII, 2006).

Ada dua konteks yang diamati oleh mas Agus Sunyoto untuk merekonstruksi pernyataannya. Pertama, ketika PSI dan Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno, ia juga meminta NU mendirikan organisasi mahasiswa Islam yang ‘Indonesia’, lalu berdirilah PMII. Kedua, Bung Karno sangat mengapresiasi berdirinya PMII dan dibuktikan dengan hadirnya beliau dalam Kongres Pertama. Mas Agus juga memutar rekaman audio saat Bung Karno berpidato secara berapi-api di atas podium.

Berputar balik 

Saat bertandang ke kediaman Chalid Mawardi, pendiri PMII, untuk kepentingan pembuatan film dokumenter Mahbub Djunaidi akhir September 2016 lalu, sempat ia ceritakan perihal berdirinya PMII dan penunjukan Mahbub sebagai Ketua Umum PP PMII pertama. Tentu cerita ini tidak serunut sebagaimana yang ditulis oleh sahabat Fauzan Alfas. Ini parsial untuk mengambil satu momen, “Kenapa Mahbub yang tidak hadir dalam Musyawarah Mahasiswa NU tanggal 14-16 April 1960 justru terpilih sebagai Ketua Umum?”

“Pertemuan (Musyawarah Mahasiswa NU) itu yang mengusulkan saya karena saya yang mempelopori berdirinya PMII,” ujar Chalid Mawardi. Sama sekali tidak disinggung soal permintaan eksternal yang menjadi penyebabnya. Saya agak sangsi jika Chalid Mawardi sengaja mengabaikan fakta. Atau bisa juga saya yang keliru membuat asumsi dasar.

Baiklah, saya coba tarik dengan fakta lain. Melalui penyataannya, Pimpinan Pusat Masyumi menyatakan partainya bubar tanggal 13 September 1960. Hampir sebulan dari surat tertanggal 17 Agustus 1960 yang diberikan Direktur Kabinet Presiden yang meminta pembubarannya. Lalu, bagaimana mungkin ada pendapat yang bisa mengambil kesimpulan bahwa berdirinya PMII bersamaan atau sesudah pembubaran Masyumi?  

Apa benar Bung Karno suka meminta agar partai politik mendirikan underbouw atau urusan lainnya yang terkait dengan pengembangan partai? Ini barangkali ada benarnya, tapi sejauh saya memungut kepingan sejarah, hanya satu permintaan Bung Karno kepada partai yang cukup krusial bagi pendidikan politik, yakni pendirian koran-koran partai. Khusus untuk ini, pemerintah rela memberikan subsidi harga kertas koran.

Pasca pembubaran Masyumi, Bung Karno mewacanakan pembubaran HMI. Sebagai organisasi baru dengan segmentasi yang sama, mahasiswa muslim, seharusnya PMII menyambut gembira. Kata Bung Karno kepada KH Saifuddin Zuhri, Menteri Agama berlatar NU, dalam buku otobiografinya (2013, hal. 672-675), “Kalau HMI bubar, NU ‘kan untung, PMII makin besar.” 

Memang ada alasan utama yang disampaikan Bung Karno yakni, “Bahwa di mana-mana HMI melakukan tindakan anti-revolusi dan bersikap reaksioer.” Berkat sikap rasionalnya Saifuddin Zuhri, Bung Karno melunak. 

Bahwa pada gilirannya PMII berkontestasi dengan HMI dalam mempengaruhi kehidupan akademis dan politik tentu itu dilihat sebagai konsekuensi. Bak dua ikan lohan yang berebut anakan ikan mas di akuarium. Tapi menyatakan bahwa Bung Karno yang meminta pada NU agar mendirikan wadah mahasiswa seperti terdengar “Bung Karno juga yang meminta NU keluar dari Masyumi.” Tentu ini kekeliruan absolut. 

Fakta lainnya, Mahbub Djunaidi ditunjuk untuk menjadi Ketua Umum PP PMII padahal di saat yang sama ia masih menjabat posisi yang sangat strategis, Ketua Departemen Pendidikan PB HMI. Hingga selesai masa kepengurusan Mahbub tidak pernah dipecat oleh Ismail Hasan Metarium, Ketua Umum PB HMI. Sumbangsih Mahbub bagi HMI cukup besar dan pemecatannya akan menimbulkan gejolak besar. 

Soal pemecatan ini tercatat dalam bukunya sahabat Fauzan Alfas (2006), namun penulis berpegangan pada buku otobiografi  Hussein Badjerei (2003, hal. 105-107) yang menurut penulis lebih otoritatif karena sama-sama duduk dalam BPH PB HMI. Ridwan Saidi, saat saya wawancara, juga berpegang pada pendapat yang sama. Pendapat keduanya saya jadikan sebagai data primer.

Soal kenapa Mahbub lebih dekat dengan Bung Karno dibandingkan dengan Ketua Umum PB HMI, ini juga tidak serta merta bisa dimaknai sebagai Bung Karno meng-anak emas-kan PMII dan meng-anak tiri-kan HMI. Bung Karno suka sekali berdiskusi dan Mahbub dianggap cukup sepadan menjadi kawan bicara karena cerdas dan berpengetahuan luas. Ditambah pergaulan Mahbub yang melintasi banyak sekat  mengingat posisinya sebagai politisi NU sekaligus Pemred Duta Masyarakat.

Apakah Bung Karno hadir di Kongres Pertama?

Berbagai literatur yang dapat menyingkap tabir kehadiran Bung Karno di Kongres Pertama PMII tahun 1961 di Tawangmangu telah diacak-acak oleh penulis. Celakanya, tidak ditemukan satupun data sebagaimana yang disampaikan oleh mas Agus Sunyoto. Satu-satunya sumber adalah rekaman audio Bung Karno sebagai bukti.

Soal rekaman audio, penulis pernah mendengarnya. Ada beberapa kejanggalan, misalnya soal kualitas rekaman yang tergolong sangat baik. Padahal, lazimnya suara Bung Karno saat berpidato, karena menggunakan teknologi lama, kebanyakan disertai noise. Kok lagu-lagu The Beatles dari tahun 1960-an suaranya tetap terdengar bagus? Apakah mungkin Bung Karno merekam suaranya di studio lalu diperdengarkan di hadapan peserta Kongres PMII sambil berpura-pura pidato? Ini mustahil, seorang Pemimpin Besar Revolusi melakukan lip sync.

Keanehan lainnya, dalam suara dengan intonasi yang sangat berapi-api tidak ada satupun audiens yang terdengar suaranya, entah itu berupa tepuk tangan maupun teriakan. Walhasil, penulis berpendapat itu bukan suara Bung Karno. Hanya mirip dan ditujukan sebagai agitasi. Tidak adanya bukti dan saksi berarti tidak bisa dijadikan dasar bahwa Bung Karno hadir di arena Kongres saat itu, bukan?

Penulis adalah Ketua I PB PMII 2011-2014, Produser Film Dokumenter Mahbub Djunaidi.