Opini

Dampak Pandemi Covid-19 terhadap UMKM di Indonesia

Kam, 17 September 2020 | 13:30 WIB

Dampak Pandemi Covid-19 terhadap UMKM di Indonesia

Para pedagang kaki lima di bilangan Jakarta sebelum pandemi Covid-19. (Foto ilustrasi: NU Online/Suwitno)

Semenjak Covid-19 ditetapkan berstatus pandemi, ada banyak sektor ekonomi domestik dan global yang terpengaruhi. Dampak pandemi paling terasa terjadi pada sektor usaha mokro, kecil, dan menengah (UMKM).

 

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) melaporkan bahwa pada tahun 2018, jumlah UMKM di Indonesia adalah sekitar 64.194.057 buah, dengan daya serap sebanyak 116.978.631 total angkatan kerja. Angka ini setara dengan 99% total unit usaha yang ada di Indonesia, dengan persentase serapan tenaga kerja di sektor ekonomi setara dengan 97%. Sementara 3 persen sisanya dibagi-bagi pada sektor industri besar.

 

Berbekal penelitian pendahuluan di April 2020, dengan sampel UMKM yang terdata di Kemenkop UKM, dilaporkan bahwa sejumlah 56% UMKM mengaku mengalami penurunan pada hasil omzet penjualan akibat pandemi Covid-19, 22% lainnya mengalami kesulitan dalam mendapatkan pembiayaan/kredit, 15% mengalami permasalahan dalam distribusi barang, dan 4% sisanya melaporkan kesulitan mendapatkan bahan baku mentah.

 

Dari seluruh UMKM yang terdata dalam riset ini, komposisi UMKM yang bergerak dalam industri mikro menempati angka 87.4%. Alhasil, dampak awal pandemi Covid-19 pada sektor UMKM terdeteksi pada level UMKM mikro ini.

 

Angka ini menunjukkan fakta yang lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Bank Indonesia yaitu sebesar 72,6% dan lebih rendah dari yang dilaporkan oleh LIPI yaitu sebesar 94,7%. Kedua riset terakhir dilakukan pada bulan Juni 2020, akhir Kuwartal II tahun 2020.

 

Tidak ketinggalan, riset dari JNE melaporkan angka yang hampir sama dengan yang dilaporkan oleh LIPI, yaitu 96% UMKM mengaku sebagai yang terimbas parah oleh pandemi Covid-19.

 

Perbedaan yang terjadi pada hasil riset, secara umum karena perbedaan waktu pelaksanaan riset serta metode pengukuran indikator yang dipergunakan dalam riset.

 

UMKM Sektor Apa Saja yang Terpengaruh Pandemi Covid-19?

Berbicara mengenai sektor UMKM yang terpengaruh oleh pandemi Covid-19, BI melaporkan bahwa UMKM eksportir merupakan yang paling banyak terpengaruh, yaitu sekitar 95,4% dari total eksportir. UMKM yang bergerak dalam sektor kerajinan dan pendukung pariwisata terpengaruh sebesar 89,9%. Sementara sektor yang paling kecil terimbas pandemi Covid-19 adalah sektor pertanian, yakni sebesar 41,5%.

 

Sementara itu, pada level pengusaha, data riset Kementerian Koperasi dan UKM, melaporkan UMKM yang terdiri dari pedagang besar dan pedagang eceran mengalami dampak pandemi Covid-19 yang paling tinggi (40,92%), disusul UMKM penyedia akomodasi, makanan minuman sebanyak (26,86%) dan yang paling kecil terdampak adalah industri pengolahan sebanyak (14,25%).

 

Indikasi Dampak Pandemi Covid-19 terhadap UMKM

Keterpengaruhan sektor UMKM eksportir sebagai yang paling tinggi (95.4%) dilaporkan merupakan imbas langsung dari PSBB, yang membuat ruang menuju sasaran produk mengalami kendala. Penjarakan sosial yang kemudian dikenal sebagai social distancing juga turut menjadi faktor pemicu hambatan distribusi sehingga menyebabkan terjadi penurunan omzet penjualan dari UMKM eksportir ini.

 

Fakta ini dapat diketahui secara langsung lewat record inflasi selama bulan April, yang mana masyarakat Indonesia saat itu sedang menghadapi 2 momen penting, yaitu puasa dan Idul fitri di tengah situasi PSBB mulai diterapkan. Seharusnya, dalam momen itu, terjadi angka peningkatan pada inflasi belanja.

 

Namun, yang terjadi di lapangan justru berlangsung sebaliknya, yaitu tingkat inflasi itu melemah hingga mencapai 0.17% dibanding Maret 2020. Pada bulan Maret, inflasi masih berada pada angka 0,29%.

 

Secara tidak langsung hal ini memberikan gambaran bahwa 1) telah terjadi penurunan daya beli masyarakat, atau 2) ada hambatan distribusi produk barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Hambatan terakhir dipengaruhi secara signifikan oleh efek kebijakan PSBB.

 

Sementara itu UMKM yang bergerak pada sektor kerajinan dan pendukung pariwisata, tingginya keterpengaruhan akibat Pandemi sebesar 89,9% disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1) penurunan jumlah wisatawan secara tidak langsung berpengaruh terhadap omzet penjualan, 2) kesulitan mendistribusikan barang, 3) mereka harus menutup sementara lapaknya dengan alasan memutus mata rantai penyebaran virus Corona.

 

Di atas kertas, hasil riset LIPI pada April 2020, mampu memberikan gambaran kuantitatif kondisi UMKM sektor kerajinan dan pariwisata. UMKM yang bergerak di usaha makanan dan minuman (mamin) mikro, terpengaruh sebesar 27%. UMKM yang terdiri atas usaha kecil makanan dan minuman, terpengaruh sebesar 1,77% dan UMKM yang tergolong usaha menengah, terpengaruh di angka 0,07%.

 

Sementarra pada UMKM yang bergerak di unit usaha kerajinan yang terbuat dari kayu dan rotan, angka keterpengaruhan pandemi Covid-19 terhadap usaha mikro berlangsung sebesar 17,03%. Usaha kecil di sektor kerajinan kayu dan rotan terpengaruh sebesar 1,77% dan usaha menengah sebesar 0,01%. Di satu sisi, konsumsi rumah tangga terkoreksi sebesar 0,5% hingga 0,8%.

 

Dari kedua sektor di atas, indikator keterpangaruhan masih didominasi oleh faktor: (1) turunnya omzet penjualan, (2) sulit mendapatkan modal, dan (3) sulit mengakses bahan baku industri.

 

Seberapa besar ketiga indikator dampak ini mempengaruhi UMKM?

 

Berdasarkan hasil riset dari otoritas yang berwenang, telah dilaporkan beberapa hall sebagai berikut:

 

Pertama, dampak pada omzet penjualan. Hasil riset BI melaporkan bahwa tingkat penurunan yang terjadi pada rata-rata penjualan produk UMKM adalah sebesar 50%. Penyebab terjadinya penurunan ini disampaikan oleh LIPI sebagai dipengaruhi oleh keputusan 58,8% UMKM untuk menurunkan harga produk dan jasanya untuk tujuan mempertahankan usaha sehingga keuntungan turun lebih dari 75%. Release yang sama dengan LIPI disampaikan Tim Riset JNE yang melaporkan sebanyak 75% UMKM mengalami penurunan signifikan pada penjualan.

 

Kedua, dampak pada permodalan. Menurut penjelasan Menteri Koperasi dan UKM yang disampaikan di pertengahan Agustus 2020, bahwa 40% UMKM telah gulung tikar sebagai imbas sulit mendapatkan modal kembali akibat Pandemi Covid-19. Angka ini muncul sebagai dipengaruhi 2 faktor, yaitu: a) tutup karena tidak bisa mendistribusikan produk barang atau jasa, dan b) tutup karena alasan mematuhi perintah PSBB dan penjarakan sosial.

 

Hasil riset juga melaporkan bahwa sebanyak 19.93% dari total UKM yang ada, mencoba untuk tetap bertahan di tengah pukulan Pandemi Covid-19 kendati mengalami kesulitan modal. Untuk keperluan efisiensi, mereka terpaksa melakukan PHK terhadap karyawannya sehingga jumlah produksinya juga menurun.

 

Ketiga, dampak pada distribusi. Riset dari Kemenkop UKM melaporkan bahwa sebanyak 20,01% UMKM mengaku mengalami hambatan distribusi akibat kebijakan PSBB. Ceruk penurunan akibat PSBB ini juga terjadi pada permintaan produk dan dialami oleh total 22,90% UMKM.

 

Alhasil, berdasarkan riset terakhir ini total ada kurang lebih 62,84% UMKM sebagai yang terkendala pandemi dengan indikasi keluhan terjadi pada sektor distribusi, penurunan keuntungan penjualan dan kesulitan modal.

 

40% sisanya (37,16%), merupakan angka yang dilaporkan sebagai telah gulung tikar. Ada beberapa sebab kemungkinan gulung tikar itu. Penyebab yang paling dominan, adalah dipengaruhi ketiadaan permintaan dari pasar.

 

Inilah data keterpengaruhan UMKM selama berlangsungnya pandemi Covid-19 di Indonesia yang berhasil penulis rangkum dari berbagai sumber instansi terkait.

 

Uniknya, dari kesekian sektor UMKM yang terdampak, UMKM sektor pertanian justru yang paling bertahan dengan catatan keterpengaruhan terhadap pandemi sebesar 41.5% (menurut BI).

 

Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Penulis belum mendapatkan data pastinya. Namun kuat diduga bahwa hal itu disebabkan karena sektor pertanian tidak banyak bersinggungan secara langsung dengan pandemi Covid-19. Mereka hanya bermasalah saat pemasaran produk saja. Mereka dapat bertani, namun soal harga produk, hal itu dipengaruhi oleh permintaan pasar. Selain itu, pertanian juga menempati ruang kebutuhan pokok, sehingga menjadi penyokong kebutuhan masyarakat. Masyarakat bisa menghindar dari kebutuhan lain, namun tidak bisa menghindar dari produk pertanian, sebab merupakan kebutuhan pokoknya.

 

Jika dalam rangka memenuhi permintaan ternyata ada hambatan pada wilayah jalur distribusinya, maka secara tidak langsung PSBB merupakan yang paling pertama harus dituduh telah menyebabkan sektor pertanian ini terpengaruh pandemi Covid-19. Insyaallah kita akan kupas di tulisan-tulisan mendatang.

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur